Menunggu datangnya buah hati lebih menegangkan dibandingkan menunggu datangnya jodoh.
Marissa menyeka noda bedak di lengan kemeja dengan tisu basah yang diberikan Lusi. Dalam hati, ia berkali-kali merutuki sikap Samuel. Belum lagi sikap berlebihan dari suaminya.
Hari masih terlalu dini untuk menjadi lebih buruk, ditambah lagi tumpukan kertas di penjuru meja. Pemandangan itu seakan menambah miris kenyataan bahwa beberapa waktu belakangan, ia memang sedang tidak fokus.
Pintu ruangannya diketuk beberapa kali. Walau malas, tetapi ia tetap mempersilakan orang itu untuk masuk. Marissa mencoba menenangkan hati ketika Bian yang muncul dari balik daun pintu lantas duduk di kursi yang saling berhadapan di pojok ruangan.
Seharusnya Bian sedang mengadakan pertemuan bersama para dewan direksi, tetapi mengapa ia ada di sini, menatap istrinya yang kebingungan.
Marissa ragu untuk mendekati seorang pria yang sedang cemburu buta, tetapi tidak pantas bila membiarkan Bian duduk sendirian saja.
"Masih mau bahas Samuel?" Pertanyaan Marissa lantas membuyarkan kalimat yang ingin disampaikan Bian.
Bian tersenyum hambar kamudian mengalihkan pandangan pada bunga plastik di atas meja. Ia mengusap debu di kelopak warna merah.
"Tadinya bukan itu yang mau dibicarakan, tetapi sepertinya kamu ingin bahas hal ini terus, baiklah kalau begitu, mari kita lanjutkan,” tantang Bian.
Mata Marissa membulat. “Astagfirullah, Mas, kamu kenapa, sih? Toh, dari awal aku sudah bilang sama kamu, jangan libatkan aku dalam proyek di Cianjur kalau pemenang kontraktor kita Jaya Konstruksi!" pungkas Marissa.
Pandangan Bian berubah makin tajam seperti hendak menerkam Marissa. Sulit sekali menepis kenyataan mantan calon suami dari istrinya adalah sahabat sekaligus rekanan bisnis.
"Aku enggak membahas masalah kinerjamu di perusahaan. Kalian pasti bisa profesional," elak Bian.
Marissa tidak mau menurunkan intensitas ketegangannya, ia duduk di bantalan pegangan kursi lalu melipat tangan di depan dada. "Lalu? Ini maksudnya apa? Kamu tahu sendiri, ‘kan, kalau Samuel itu kadang suka begitu, lupa kalau kebiasaannya itu—"
"Kebiasaan? Ya, kalian memang sudah terbiasa saling membiasakan diri,” potong Rakabian.
Mendapati suaminya enggan menurunkan ego, sejenak Marissa menghela napas panjang. Kalau seperti ini, rasanya lebih mudah memberikan penghiburan pada seorang balita yang sedang merajuk.
Bian melengkungkan senyum lalu mendongakkan kepala agar bisa menatap Marissa. Diusap lembut penuh penghayatan pipi sang istri. “Kenyataannya adalah memang Samuel hampir menikahimu. Dia memang punya tempat spesial dan aku enggak seharusnya cemburu, bukan?" tambahnya. Marissa mengibaskan tangan suaminya dengan kasar. "Nanti malam kita makan di luar, kamu mau makan apa?” bujuknya berusaha mengurangi ketegangan dengan Marissa.
"Aku sudah ada janji dengan Dokter Mieke!" timpal Marissa.
"Ada apa?" tanyanya curiga, "aku sudah katakan kita bisa punya anak tanpa program bayi tabung atau semacamnya," lanjut Bian.
Kini Marissa balas menghunjam Bian. "Tahun ini usiaku empat puluh lima tahun. Sudah beberapa tahun belakangan siklus menstruasiku aneh, aku mau konsultasi ke Dokter Mieke. Mungkin aku sudah memasuki tahap menopause, Mas!” jelas Marissa.
"Kamu serius soal menopause?" tanya Bian tanpa mampu menutupi kekecewaan.
Marissa mengangguk sedih, tiba-tiba saja Bian bangkit lalu mendekapnya erat. Dengan penuh kasih sayang, ia mengelus pucuk kepala serta mengecup lembut pipi Marissa.
"Kamu enggak perlu memikirkan hal yang aneh-aneh, aku akan tetap mencintai kamu, ada atau enggak ada anak,” ucapnya dengan lembut.
Marissa hanya mengulum senyum. Ucapan Bian belum bisa mengobati rasa rindu memeluk buah hati. Bian memang tidak pernah mempersoalkan masalah keturunan. Mereka tidak pernah saling menyalahkan, hanya tetap berdoa juga berusaha sebaik mungkin. Namun, sayang, hubungan pernikahan bukan hanya tentang suami istri saja. Ada banyak yang menunggu lahirnya penerus keluarga Soejarmoko dari Rakabian.
Sore itu, Marissa tetap melakukan kegiatan sesuai dengan rencana. Setelah memakan sepotong roti sebagai pengganti jatah makan siang yang sangat terlambat, ia segera meluncur ke sebuah rumah sakit ibu dan anak di bilangan Pondok Indah. Mudah-mudahan hari ini tidak menjadi lebih buruk.
Marissa segera memasuki ruangan dokter ketika namanya disebut. Sudah ratusan kali ia berkonsultasi di tempat yang sama. Namun, rasanya kali ini ada aroma aneh yang menyelubungi ruangan dokter.
Matanya bergerak mengamati aneka poster; gambar pertumbuhan janin, berbagai alat kontrasepsi juga ilustrasi bagian dalam alat reproduksi kewanitaan.
Seorang wanita bertubuh mungil yang duduk di kursi dokter membaca dengan teliti berkas pemeriksaan yang diberikan oleh seorang perawat muda di sebelahnya, lalu menatap Marissa. Ia hanya bisa memberikan senyuman ketika menangkap kegelisahan dari Marissa.
Wanita itu bernama Mieke Saraswati. Beliau adalah seorang dokter spesialis kandungan yang menangani pasangan Marissa dan Rakabian sejak awal pernikahan.
Beberapa tahun belakangan, hubungan antara Marissa dan Mieke memang sangat dekat. Terkadang mereka bertemu di akhir minggu untuk sekadar minum kopi atau pergi menonton film bersama anak perempuan Mieke.
"Ya, aku sudah katakan, sepertinya dua atau tiga bulan belakangan, aku belum datang bulan. Apa aku memang sudah memasuki masa menopause?" lirih Marissa membuka topik pembicaraan, “apa bisa memberikan obat atau suplemen?” tambahnya.
Mieke sedikit tersenyum. "Apa kamu hanya curiga hal itu saja?" tanyanya berusaha menghibur, "bagaimana dengan pola tidur juga makan? Apa ada yang berubah?" tambahnya.
Marissa menggeleng dengan cepat. "Semua masih sama, aku rasa begitu," jawabnya, "lagi pula, apa yang bisa aku curigai selain menopause?" gumamnya sembari menunduk.
"Kalau Allah sudah berkehendak, apa lagi yang manusia bisa katakan? Kita periksa dulu, ya?” ujar Mieke.
Ucapan Mieke berhasil membesarkan hati Marissa. Ia mengikuti langkah kaki asisten Mieke.
Pemeriksaan awal telah dijalani, yaitu pengukuran tekanan darah dan denyut jantung kemudian perawat itu sedikit menyingkap kemeja serta melonggarkan celana Marissa. Mieke yang sudah duduk di sampingnya, memutar beberapa tombol pada layar lalu meraih botol berisi gel.
"Baiklah, kita cek dahulu, ya?" ucap Mieke lalu mengoleskan gel dingin di bawah perut Marissa.
Marissa menarik napas panjang ketika transduser menekan lembut perut. Nyalinya menciut, tangannya ikut gemetar. Takut bila divonis aneh juga pemikiran lainnya.
Mieke menekan lembut transduser sambil sesekali menggerakkannya ke kiri dan kanan. Senyumnya menghilang kala menatap gambaran hasil pantulan getaran transduser. Ia menekan lebih kencang lalu menggerakkan kembali transduser juga memencet beberapa tombol di samping monitor.
"Kalau sudah menopause bagian dalam rahim tampak berbeda, ya?" celoteh Marissa saat ikut melihat gambar pada layar monitor.
Marissa berusaha menenangkan diri ketika menatap raut wajah serius Mieke serta perawat muda itu. Dalam hati tidak putus memanjatkan doa. Terus bergumam jangan memberikan hal sulit yang tidak sanggup untuk dipikul.
***
Menjelang pukul tujuh malam, Marissa sudah tiba di rumah. Jantungnya masih berdebar kencang. Setengah berlari menuju kamar mandi di lantai dua, ia menggenggam erat sebuah bungkusan plastik dari rumah sakit.
Tanpa sadar Marissa membanting pintu kamar mandi kemudian mencelupkan semua ujung dari belasan tes pack dalam wadah kaca berisi air urinenya. Kedua pelupuk matanya tiba-tiba basah. Bulir bening berlomba mengalir di pipi. Hasilnya sama. Semuanya sama.
Dua garis penanda kehamilan.
Marissa kembali merogoh tasnya, mencari selembar kertas yang diberikan Mieke berikut potret pertama calon buah hati.
Setangkup kebahagiaan bercampur haru, perlahan menyelubungi hati. Dengan cepat, ia membuang urine dalam wadah kaca, lalu membuka keran wastafel. Ia bergegas membasuh wajah lalu menepuk-nepuk pipi ketika mendengar suara ketukan dari pintu.
Bian menatap heran Marissa yang salah tingkah kemudian melonggarkan tali dasi lalu bertanya apa Marissa sudah makan malam?
Marissa hanya tersenyum simpul kemudian berusaha mencegah Bian masuk lebih dalam dengan cara sedikit mendorong tubuh suaminya.
“Aku mau cuci muka dulu,” protes Bian.
“Aku lapar sekali, Mas, ayo, kita makan,” elak Marissa.
Ia dengan baik menggiring suaminya keluar dari kamar serta memintanya duduk manis di ruang makan. Jantung Marissa berdebar hebat, ia mulai memikirkan beberapa kalimat yang akan disampaikan. Tidak tahan menanti bagaimana reaksi Bian ketika mendengar bahwa sebentar lagi dia akan menjadi seorang ayah.
“Kamu diam saja di situ, aku masak dulu,” pintanya.
“Enggak perlu masak, pesan saja. Kata kamu lapar sekali, 'kan?” ujar Bian.
Marissa menggeleng. “Sebentar, Mas,” tolaknya.
Marissa mengeluarkan ikan gurami yang telah dilumuri garam juga perasan lemon kemudian menaburkan tepung dengan teliti ke setiap bagian ikan lalu menggorengnya. Sementara di wajan yang lain, ia juga sedang menumis kangkung. Di sebelahnya ada pemanggang yang bekerja memanaskan adonan bolu cokelat. Satu loyang puding buah kesukaan Bian sedang didinginkan dalam lemari pendingin. Sempurna.
"Kamu masak banyak sekali," ujar Bian sambil memperhatikan Marissa yang masih sibuk menggoreng.
"Ya, aku sedang bahagia sekali!” timpalnya dengan pipi bersemu kemerahan.
Bian tersenyum. "Sini, aku bantu," tawarnya.
"Ah, enggak perlu, kamu duduk manis saja di sana, oke?" tolak Marissa.
Bian tidak banyak mendebat ucapan istrinya. Ia kembali duduk manis sambil sesekali memperhatikan gerak-gerik menggemaskan Marissa.
Wanita itu tampak sangat cantik bila pipinya bersemu seperti itu, pikir Bian.
Ia tidak pernah menyesali perjuangan berat untuk mendapatkan Marissa. Di saat semua meminta menjauhi Marissa, tetapi ia tetap bersikukuh kalau wanita itu adalah satu-satunya yang akan menemani hingga akhir hayat.
Marissa meletakkan sajian terakhir di meja makan. Ia meraih piring kosong lalu menyendok nasi kemudian meletakkannya di hadapan Bian lalu menuangkan air dalam gelas. Ia menikmati dengan baik ketika melayani suaminya.
Kedua alis Bian bertaut, ekor matanya menatap Marissa dengan curiga. Istrinya itu tidak kunjung berkata apa pun.
"Kita makan dulu, oke?" Marissa melengkungkan senyum. Sedikit puas melihat Bian tampak jengkel.
Bian kembali duduk. Sudah beberapa waktu belakangan Marissa tidak pernah terlihat secerah ini. Berita itu pasti sangat menyenangkan. Jadi, sebaiknya Bian tidak banyak protes dan segera menandaskan makanan yang sudah terhidang.
Sesekali mereka bersenda gurau juga tidak sungkan untuk saling menyuapi. Bahkan, setelah selesai bersantap, keduanya kompak membereskan meja makan.
Bian mengekor di belakang Marissa dengan membawa piring serta gelas-gelas kotor.
"Jadi, apa berita baiknya?" tanya Bian seraya meletakkan piring terakhir yang sudah Marissa basuh ke rak.
"Enggak sabar sekali, Mas,” goda Marissa kemudian melepaskan celemek abu-abu.
"Iyalah, ada apa?" balas Bian.
Marissa mengalungkan lengannya di leher Bian, masih menimang-nimang kalimat apa yang harus diucapkan.
"Sepertinya aku harus mempertimbangkan tawaranmu, Sayang,” ucapnya.
Bian kembali menautkan alis kemudian berusaha mengingat tawaran apa yang pernah ditolak Marissa.
“Apa?” tanyanya."Mas, mari kita cari asisten rumah tangga lalu kalau diperlukan, kita juga cari sopir pribadi untukku, bagaimana? Mungkin Lusi bisa membantu mencari kandidat terbaik untuk kita," saran Marissa.
Bian menatap lekat-lekat wajah istrinya. "Oh, soal itu, baiklah, ada apa memangnya? Tumben. Biasanya kamu selalu bilang, 'aku masih bisa mengurus kamu dan rumah sendirian,'" ejeknya.
Marissa tiba-tiba saja mendekap Bian, serta berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. "Mas, kata Dokter Mieke—“
"Eh, ada apa? Bagaimana hasil pemeriksaan sore tadi? Apa ada yang serius?" tanyanya cemas memotong kalimat Marissa kemudian melepaskan dekapan erat dari pinggangnya.
Bulir-bulir air mata Marissa membuat tengkuknya membeku, refleks ia mencengkeram bahu Marissa. "Apa yang dia katakan? Ayolah, jangan bercanda!" lanjutnya yang mulai kesal.
"Katanya 'Alhamdulillah! Marissa! Kamu hamil!' Begitu, Mas,” jawab Marissa dalam derai air mata.
Bian melepaskan cengkeramannya. Sejenak ia terdiam sembari coba mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari bibir istrinya.
Tangannya mulai gemetar kala Marissa kembali mendekap erat tubuhnya dengan derai air mata yang jatuh tak tertahankan.
"Aku hamil, Mas. Aku hamil!" ucapnya berulang-ulang.
Sejenak Bian kembali memejamkan mata kemudian melepaskan dekapan istrinya. Ia masih belum bisa berkomentar. Sekali lagi tampak menarik napas dalam.
“Mas?” panggil Marissa.
Dunia seakan berputar-putar, Bian mencengkeram sisi wastafel cuci piring. Sesekali memejamkan mata, bibirnya mulai gemetar.
Marissa mengeluarkan hasil pemeriksaannya dari saku kemeja. "Ini bayi kita, sudah sepuluh minggu, Mas.”
Dengan gemetar tangan Bian meraih sebuah kertas yang memperlihatkan hasil ultrasonografi janin dalam rahim Marissa. Kini ia menatap wajah Marissa, entah harus bagaimana, ikut menangis bahagia atau yang lain.
"Marissa, ini ... aku—sungguh." Bian tidak mampu untuk berkata lagi.
Sekali lagi Marissa menghamburkan tubuhnya ke dada Bian. Kebahagiaan serta suka cita ini membuatnya terus memanjatkan puji syukur. Beban berat itu sedikit terangkat. Penantian panjang, perjuangan serta doa yang tidak pernah putus diminta akhirnya terjawab.
Malam itu keduanya menangis dalam dekapan kebahagiaan. Sekali lagi mereguk indah harapan yang menjadi nyata, menyusun setiap kepingan mimpi. Mensyukuri hal yang dianggap mustahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandaran Hati (End)
Romance"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu! Mari kita bercerai!" ****** Tahun ini pasangan Marissa dan Bian merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ke-15. Satu saja yang mereka inginkan, yaitu kehadiran si buah hati. Mengungkapkan sebuah rahasia di ten...