Kita tidak dapat mengubah masa depan. Namun, masa lalu adalah cermin untuk masa depan.
Apa pun yang sudah hancur, walaupun bisa diperbaiki tidak akan pernah bisa terasa sama. Meskipun begitu, Bian tetap coba meniti setiap serpihan hati, melipat rahasia serta membiasakan diri menahan kegetiran.
Hari, minggu, juga bulan berlalu. Baik Marissa dan Bukan bersikap seolah tidak ada duri di antara mereka. Mereka enggan melangkah dengan kaki kotor juga tidak sudi membersihkannya.
Bian berusaha menikmati perannya dalam memanjakan istri yang sedang mengandung benih buah hati mereka.
Ya, dia adalah anakku. Keajaiban yang sedang dikandung Marissa adalah miliknya. Itu adalah jawaban dari semua doa.
Itu yang terus Bian gumamkan.
***
Marissa memberikan piring yang dibasuhnya pada Nastiti. "Alhamdulillah, selesai," ucap Marissa.
Malam ini, untuk pertama kali setelah beberapa bulan berlalu. Bian juga Marissa mau makan malam bersama dengan keluarga Soejarmoko juga ibunda Marissa.
Kehangatan yang mulai terajut, perlahan mengikis jarak antara Bian dan Marissa.
Diam-diam Bian mengamati wajah istrinya yang ikut tertawa dalam setiap candaan Arisetya. Ia tidak tahu apakah wajah itu mampu sepenuhnya melenyapkan semua rasa takut?
Bian meletakkan segelas susu hangat di meja, kemudian duduk di samping Marissa lalu mengelus lembut perut istrinya dengan perhatian.
"Minggu depan acara tujuh bulanan sudah siap?" tanya Asmarini lalu membuka kulkas, dengan sigap Nastiti membantunya mengeluarkan puding buah.
"Alhamdulillah, sudah, Bu," jawab Bian.
"Anak-anak panti asuhan diundang, 'kan?" tanya Asmarini sambil sibuk memotong puding.
"Iya, nanti ibu-ibu dari pengajian Bunda Anissa juga datang," tambah Bian.
"Alhamdulillah, insya allah berkah, banyak yang mendoakan. Semoga lancar sampai persalinan, semuanya sehat." Marissa tersenyum lega saat semua orang mengamini doa Anissa.
Setangkup kebahagiaan yang terpancar dari wajah Bian menambah desir impian Marissa. Hati Marissa diam-diam berdoa. Berharap itu tidak akan berakhir.
Sepulang dari rumah Asmarini dan mengantarkan Anissa pulang, mereka singgah ke sebuah minimarket.
Bian merengut kesal sembari mendorong troli. "Kamu itu, kurang-kurangin aktivitas, kek. Tadi seharian di rumah Ibu, ini mau pulang malah mau ke swalayan dulu. Kamu bisa kasih list belanjaannya ke Mbok Siti, suruh dia yang belanja!" omel Bian.
Marissa menggelung rambut kemudian bergelayut manja di lengan Bian, mengunci omelan dengan cara yang tidak bisa Bian lawan.
"Sekalian capek, Mas. Lagian aku cuma beli tisu sama piring plastik kecil, gitu. Habis ini pulang, enggak main lagi," timpalnya sembari mengacungkan kelingkingnya.
"Besok pagi kita ada meeting, loh. Harus bangun lebih pagi," tambah Bian yang kemudian menatap barang-barang dalam troli. Ia tahu dengan benar Marissa bukan hanya ingin membeli tisu. "Yakin ini, aja?" tanya Bian.
Marissa terdiam sejenak. "Kayaknya nanti aku mau bikin puding buah kaya bikinan ibu, boleh?"
Bian memijit kening. "Rak makanan ada di ujung sana! Kamu tunggu di sini, aku yang cari! Kaki kamu nanti bengkak lagi kalau kelamaan jalan!" omel Bian sembari pergi meninggalkan Marissa.
Marissa mengelus lembut perutnya. "Ayah sayang banget sama kita, De," gumamnya.
Ia berjalan menyusuri rak peralatan dapur. Rasanya teringat kembali saat memilih perabotan rumah tangga di awal pernikahan.
"Mbak Marissa?"
Marissa sempat ragu untuk menoleh. Ia mengenali suara itu.
"Mbak?" panggilnya lagi.
Marissa tidak punya pilihan. Ia tidak mampu menutupi keterkejutannya karena melihat kondisi Erika yang jauh berbeda dari beberapa bulan lalu.
"Erika?" gumam Marissa.
Erika segera memeluk Marissa erat, seakan sedang menumpahkan semua kerisauan. "Udah lama banget enggak ketemu. Hampir tiga bulan, apa kabar, Mbak?" tanyanya antusias.
"Alhamdulillah, baik." Marissa menelan penasaran saat menatap Erika lebih jelas.
Wanita muda ini amat kerepotan. Tangan kanan menggenggam erat kereta bayi sementara tangan kirinya menjinjing keranjang belanja berisi popok juga keperluan lainnya. Rasa cemas itu kembali datang. Satu perasaan yang terlupakan. Kemungkinan itu membuatnya kembali merinding ketakutan.
"Kamu sendirian?" Pertanyaan yang dilontarkan Marissa mengubah ekspresi Erika. "Maaf, maksudku, Samuel enggak antar?"
Erika menggeleng pelan, Marissa menggigit bibir, kemudian menyesal saat bulir bening merebak di ujung mata Erika.
"Sejak dari rumah sakit, dia enggak pulang ke rumah. Paling hanya seminggu sekali lihat Abhy," lirih Erika.
"Abhy?" Marissa merunduk, sedikit menyingkap kelambu yang menutupi kereta bayi. "Masya Allah, cantiknya, sudah besar, siapa namanya?" tanya Marissa.
"Abhy Benetta Herman," jawab Erika tersenyum bangga.
"Cantiknya, halo, Abhy," sapa Marissa.
"Marissa!!" panggil Bian. Tergesa-gesa ia mendorong troli belanja lalu menarik tangan Marissa. "Aku sudah selesai, ayo pulang!!" perintahnya panik.
"Malam, Mas," sapa Erika.
Bian hanya mengangguk pelan, tidak bisa sembunyikan rasa kesal. "Ayo!" ulangnya lagi.
"Iya. Erika, aku duluan, ya? Dah, Abhy," pamit Marissa.
Di pelataran parkir, Bian memasukkan tas belanjaan ke dalam bagasi kemudian masuk ke mobil lalu membantu Marissa memasang sabuk. Sebelum menyalakan mesin mobil, ia sempat melirik Marissa yang terdiam.
Setibanya di rumah, Marissa membawa tas kerja Bian, sedangkan Bian menjinjing tas belanjaan.
![](https://img.wattpad.com/cover/224932735-288-k517979.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandaran Hati (End)
Romance"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu! Mari kita bercerai!" ****** Tahun ini pasangan Marissa dan Bian merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ke-15. Satu saja yang mereka inginkan, yaitu kehadiran si buah hati. Mengungkapkan sebuah rahasia di ten...