Menjadi orang tua adalah pencapaian terbesar dengan tanggung jawab seumur hidup.
Bahkan Bian tidak mampu untuk sekadar melengkungkan senyuman terindah. Tangannya malah gemetar, matanya ikut berkaca-kaca.
Marissa yang melihat reaksi suaminya berpikir itu adalah rasa bahagia yang tak mampu untuk Rakabian Soejamoko ungkapkan secara gamblang dalam susunan kata-kata.
Perlahan ia menjalin jemari Bian yang terasa dingin, kali ini suaminya itu menoleh serta bisa membalas senyumannya.
Penantian selama hampir lima belas tahun. Setiap suka duka, cibiran, sekaligus pertanyaan semua orang yang seharusnya mendukung, kini seakan dijawab oleh Sang Maha Kuasa.
Keajaiban ini terasa seperti fatamorgana. Sulit dipercaya. Linangan air mata juga rasa sesak ikut mengimpit dada. Terasa begitu nyata. Luapan kebahagiaan ini terasa semu sekaligus menimbulkan rasa pedih di benak Bian.
"Usianya sekitar sepuluh sampai sebelas minggu, dia sehat sekali," ungkap Mieke sembari menggerak-gerakkan transduser di perut Marissa.
"Apa—ini ... maksudku, berita ini benar?" tanya Bian lagi seraya menatap gambar calon buah hatinya di layar monitor.
Perlahan Mieke menepuk lembut lengan Bian kemudian berkata, "Saya sudah katakan, enggak ada yang mustahil untuk Allah, bila sudah berkehendak, maka apa pun pasti terjadi. Selamat, Pak Bian,"
Lagi-lagi, Marissa tidak sanggup menahan tangis kebahagiaan. Matanya turut menangkap isak yang coba ditahan Bian.
Benarkah? batin Bian.
Berkali-kali Bian berusaha menepis keraguan. Janin itu, anaknya. Mungkinkah? Benarkah?
***
Ekor mata Bian melirik Marissa yang sesekali mengusap perut. Ia kesulitan memfokuskan tatapan pada jalan, bahkan kemudi mobilnya terasa lebih berat.
Baginya, kejadian hari ini masih terasa bagaikan mimpi belaka. Jauh dalam hati, dirinya terus bertanya-tanya, apa yang harus dilakukan? Mengapa kebahagiaan ini terasa menyakitkan?
Bian mencengkeram erat kemudi Honda kesayangannya lalu berkata, “Kita ... rahasiakan dulu masalah kehamilan ini,”
Marissa berharap yang baru saja didengarnya salah. Kedua alisnya bertaut kemudian melipat tangan di dada. “Apa, Mas? Bagaimana mungkin berita bahagia ini dirahasiakan?” protesnya.
“Ya, kita rahasiakan dulu hal ini dari keluarga, terutama ibu dan bunda Anissa,” ulang Bian.
“Loh, kenapa? Mereka pasti bahagia sekali mendengar ini semua, kehamilan ini yang ditunggu semuanya!” marah Marissa.
"Sayang, tunggu sampai aku bisa menjelaskan semuanya," lanjutnya lagi.
Bian mengerti akan amarah Marissa. Tentu, ia juga ingin meneriakkan berita bahagia ini ke seluruh penjuru dunia. Namun, ada hal yang harus dipastikan dahulu. Meluruskan satu ganjalan dalam hati.
Bian menepikan mobilnya kemudian menatap Marissa, sorot matanya seakan menandakan suatu kebimbangan. “Kamu dengar sendiri penjelasan Dokter Mieke, ‘kan? Kehamilan ini tetap punya risiko yang tinggi, mungkin aku terdengar jahat, tetapi bagiku kamu adalah prioritas utama!” ungkapnya mencari alasan.
Marissa memukul pelan lengan suaminya. “Jangan bicara seolah aku enggak punya harapan untuk melahirkan anak ini, Mas! Anak ini akan lahir! Dia adalah prioritas utama! Aku lebih baik mati bila terjadi sesuatu padanya!” raung Marissa.
“Marissa,”
“Kamu kenapa? Kamu jahat, Mas!” geramnya.
“Aku minta maaf,” mohonnya, “aku enggak bermaksud membuatmu sedih,” lanjutnya kala melihat bulir air mata mengalir di pipi Marissa. Dengan tangan gemetar ia mengusap pelan perut Marissa. “Aku bahagia, aku berharap kalian baik-baik saja, sungguh,” tambahnya seraya memaksakan diri untuk tersenyum.
Sekali lagi Marissa menghambur ke dada suaminya. “Semua akan baik-baik saja, Mas,” lirihnya.
Bian hanya mempu mengangguk serta mengusap kepala istrinya. Ia akan coba untuk tidak lagi bertanya. Kecurigaan serta rasa takutnya hanyalah kecemasannya belaka.
Oleh karena itu, diam-diam Bian mulai membangun beberapa langkah untuk melindungi Marissa serta janinnya. Ia memerintahkan penyusunan ulang agenda kerja. Menyingkirkan beberapa kegiatan yang terasa berat sekaligus memulai satu penyelidikan yang sebenarnya lebih baik diacuhkan. Sesuatu yang akan sulit untuk diakhiri dan dirasa bisa mengakhiri semua perjuangan.
Sekretarisnya, termasuk sekretaris Marissa sudah duduk di hadapannya. Selaku presiden direktur, Bian memiliki kewenangan untuk mengatur ulang beberapa kebijakan. Sebenarnya, ia benci melakukan hal yang bersifat personal. Namun, kali ini Bian terpaksa mendobrak batas toleransi kata profesionalisme untuk kepentingan pribadi.
“Maaf, Pak, kalau boleh saya tahu, memangnya ada apa, Pak?” tanya Lusi sembari mencatat semua yang dititahkan Bian.
“Tolong berikan secara rinci pada saya. Tya, bila memang memungkinkan, tolong bantu Lusi ubah semua agenda rapat. Usahakan, jadwal rapat enggak penuh di sore hari. Permintaan kolega untuk pertemuan di waktu malam atau hari libur dikondisikan juga. Bila memungkinkan, mulai hari ini saya dan Ibu Marissa hanya akan bekerja sesuai jam kantor, dari pukul delapan pagi hingga lima sore. Tolong, minta Pak Herman datang setelah ini," titah Bian pada sekretarisnya.
“Maaf, Pak, kalau boleh saya tahu apa, ada apa ya, Pak?” tanya Tya, tidak bisa menahan rasa penasaran.
“Ibu Marissa, hamil," ungkap Bian. Kedua wanita itu hampir melonjak kegirangan serta bertubi-tubi mengucapkan kalimat selamat. "Terima kasih, untuk sementara ini, tolong rahasiakan dahulu pada semuanya. Bila ada yang bertanya, cukup katakan enggak tahu,” tambahnya.
"Baik, Pak, baik!" jawab Lusi dan Tya serempak.
"Lusi, tolong bantu Ibu Marissa untuk memilih asisten rumah tangga termasuk sopir pribadi, nanti minta tolong Tya kalau dirasa cukup sibuk," titahnya lagi.
Tya dan Lusi serempak mengangguk.
"Lusi, tolong berikan detail kunjungan kerja Ibu Marissa sekitar dua sampai tiga bulan lalu, saya harus mempelajari apa saja yang dia lakukan. Tolong rahasiakan permintaan ini. Dia bisa sangat marah kalau tahu kalau semua pekerjaannya saya handle. Mulai saat ini, dia hanya bekerja untuk tanda tangan saja, mengerti?" perintahnya lagi.
"Baik, Pak!" jawab Lusi.
Selesai pertemuan itu, Lusi bergegas menuju ruangan Marissa. Hatinya ikut diliputi kegembiraan. Sudah hampir sepuluh tahun ia bekerja sebagai sekretaris Marissa, hal yang dirasa sangat wajar bila ikut berbahagia mendengar berita kehamilan ini.
"Masuk,” ujar Marissa saat mendengar suara ketukan.
Lusi sedikit berlari lalu duduk di kursi tanpa diminta oleh Marissa.
"Ada apa? Kamu sepertinya bahagia sekali?" goda Marissa.
"Ibu, tadi Pak Raka panggil saya," tuturnya.
"Ya, saya tahu," jawabnya enteng.
"Ibu, mau asisten rumah tangga yang seperti apa?" tanyanya seraya membuka buku agenda.
"Kamu tahu selera saya, ‘kan? Terima kasih, Lusi, sudah mau membantu," tuturnya seraya menggenggam lembut tangan Lusi.
Tanpa sadar Lusi menunduk, air mata kebahagiaan merembes dari pelupuk mata. Marissa segera bangkit untuk memeluk dia yang sudah dianggap lebih dari sekadar asisten.
Lusi mengatakan betapa ikut berbahagia serta berjanji akan menjaga Marissa. Marissa balas menepuk pelan punggung Lusi, merasa sangat bersyukur karena dikelilingi orang-orang yang tulus.
Akhirnya Marissa bisa mencicipi kenikmatan luar biasa yang ditunggu selama menjalani biduk rumah tangga bersama Bian.
Sayangnya, kebahagiaan yang dinikmati Marissa berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Bian. Ia menatap kosong lembaran-lembaran kertas dokumen. Berbagai pertanyaan aneh kembali mengusik kebahagiaan sekaligus kesempurnaan biduk rumah tangganya.
Dengan cekatan ia menekan layar ponsel, berkali-kali coba merangkai kalimat lalu mengirimnya pada seseorang. Sekali lagi ia menggigit pelan bibir ketika mendapatkan balasan dengan satu kata, yaitu baiklah.
Cepat-cepat ia menghapus pesan itu kala mendengar pintu ruangannya diketuk.
“Masuk,” ucapnya.
Marissa yang muncul dari balik pintu bergegas melengkungkan senyum terbaiknya. Bian bergegas mendekat kemudian menarik kursi agar istrinya bisa duduk dengan nyaman. Baru kali ini ia merasa cemas berlebihan.
“Kalau ada perlu, panggil aku, kamu enggak perlu datang ke sini,” marahnya.
Marissa meletakkan beberapa amplop seukuran kertas A4 di meja Rakabian.
"Laporan? Kenapa enggak minta Lusi saja yang antar?" Ia coba menjaga intonasi suaranya agar tidak meninggi.
"Sayang, aku mau ketemu kamu, itu enggak bisa diwakilkan oleh Lusi!" elak Marissa.
"Ya, kamu bisa minta aku yang ke ruangan kamu!” balasnya.
Marissa kembali mendekati suaminya kemudian meraih tangan Bian. "Kamu ... persis seperti apa yang aku bayangkan. Menggemaskan sekali!" godanya.
“Kamu bahagia?”
Pertanyaan Bian dijawab anggukan kepala oleh Marissa. Perlahan, Bian mendekap erat tubuh mungil istrinya serta mendaratkan dagu di pundak kirinya.
Tanganya tiba-tiba gemetar. Sesuatu ikut seakan menusuk-nusuk batinnya bahkan sekarang logikanya ikut meronta.
Satu desir juga bisikan menggelitik di ujung telinga Bian, seakan memaksa untuk diungkapkan. Kali ini ia memalingkan wajahnya karena entah mengapa wajah bahagia istrinya menjadi bayang yang terasa sangat menyakiti hati.
Belahan jiwa yang diperjuangkan dengan susah payah, rasanya seakan sedang menertawakan harga diri yang dijunjung setinggi langit. Bian berusaha memejamkan mata, tangannya sudah terkepal. Perasaan ini, rasa ini, sebuah rahasia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandaran Hati (End)
Romance"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu! Mari kita bercerai!" ****** Tahun ini pasangan Marissa dan Bian merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ke-15. Satu saja yang mereka inginkan, yaitu kehadiran si buah hati. Mengungkapkan sebuah rahasia di ten...