Bab 13 -Mengartikan Cinta-

1.8K 167 0
                                    

Saat engkau melukai aku, maka rasa kecewaku sebanding dengan rasa cintaku untukmu.


"Aku minta maaf atas yang kemarin, Mbak,” pinta Erika. Marissa menegakkan kepala, Erika terlihat sungguh-sungguh menyesali kejadian itu. "Mas Bian benar, seharusnya aku bisa jaga martabatku juga suami, malahan aku hampir mencelakai putriku sendiri,” sesal Erika.

Marissa menghela napas. "Aku minta maaf, hanya saja bukan kapasitas aku untuk beberkan masa lalu kami. Aku juga enggak mau mengingat kejadian buruk antara kami," timpal Marissa.

"Ya, terlebih, kita enggak terlalu dekat. Maaf ya, Mbak, seharusnya aku bisa tanya baik-baik,” sesal Erika.

“Masalah ini, aku harap kamu mau percaya sama aku. Kami sudah enggak ada hubungan lagi. Semua sudah berakhir tepat setelah Samuel enggak hadir di hari pernikahan kami,” lanjut Marissa.

“Mas Samuel sudah mengakui semuanya, dia masih mencintai, Mbak dengan begitu hebatnya," aku Erika.

Debaran jantung Marissa makin kuat. Diam-diam sedikit menggigit bibir dalamnya. Mengutuk Samuel berulang kali. Ia tidak pernah habis pikir, mengapa pria itu begitu keras kepala?

“Erika, percayalah, aku enggak pernah memikirkan dia lagi! Semua sudah selesai ketika dia meninggalkanku di pesta pernikahan kami," ulang Marissa.

"Ya, Mbak. Enggak seharusnya aku dengar ucapan Mbak Natalia. Seharusnya aku bisa berpikir jernih, tapi nyatanya ... aku hanya takut,” Erika menunduk, bulir bening menetes dari pelupuk mata.

"Erika, apa saja yang Samuel katakan padamu?" Seketika Marissa takut akan rahasia yang disimpan, bahkan Nastiti tahu akan masalah ini.

"Dia tetap akan menceraikan aku, lalu kembali meraih cintanya pada Mbak Marissa," tutur Erika sembari terisak.

"Gila! Dia sudah memiliki kamu juga anak! Aku enggak akan pernah kembali padanya!" umpat Marissa.

Tangis Erika kian tak terbendung. Marisa bangkit lalu memeluknya erat-erat. "Aku enggak tahu harus bagaimana, Mbak. Mas Samuel tetap pada pendiriannya, bahkan setelah anak kami lahir, dia tetap meminta maaf karena akan menceraikan aku, Mbak," lirih Erika.

"Aku ... tentu enggak akan kembali padanya, enggak akan pernah kembali pada dia!" Tegas Marissa.

"Iya, aku cuma enggak tahu apa yang harus aku lakukan untuk membuat Mas Samuelengurungkam niatnya, dia enggak mau mendengarkan aku. Mbak. Tolong aku! Bantu aku mendapatkan cintanya!" mohon Erika.

“Apa yang harus aku lakukan, Erika? Samuel enggak akan dengar semua ucapan aku,” sergah Marissa.

“Mbak, dia pasti mau dengar, dia sangat mencintai Mbak. Aku yakin, Mas Samuel pasti nurut sama, Mbak,” mohonnya.

Marissa diam saat mendengar permintaan bodoh Erika. Apa yang bisa dijanjikan? Ia juga tidak pernah mengenali pria itu lagi. Pria itu sudah menghancurkan semuanya. Dia bahkan tidak pantas menerima cinta dari perempuan mana pun!

Bila saja diberikan kesempatan, Marissa ingin menjerit-jerit. Memaki Samuel! Mengatakan bahwa pria itu lebih cocok untuk mati dan membusuk di neraka.

***

Bagian yang paling disukai Bian dari rumah sakit adalah ruang perawatan bayi. Ia akan menyempatkan diri untuk diam sejenak, mengamati wajah-wajah mungil yang terlelap.

"Dia kecil sekali," lirih Bian.

"Ya, tetapi harus bersyukur karena beratnya enggak kurang dari dua kilo, wajahnya mirip sekali denganku," timpal Samuel.

Mereka berdua berdiri saling bersisian tepat di depan jendela besar ruang perawatan bayi.

Tampak seorang bayi perempuan tidur seperti malaikat di dalam hangatnya inkubator, terlelap walaupun masih dibantu alat pernapasan.

Bian masih memiliki akal sehat. Bila ia berada di posisi Samuel. Ah, bila ia berada di posisi Samuel, tentu saja ia tidak akan pernah melepaskan Marissa. Sedari awal! Tidak akan pernah! Ia pasti memiliki cara untuk bisa bersama dengannya.

"Kenapa harus melepaskan semua kebahagiaan ini demi sesuatu yang semu?" tanya Bian.

Samuel menatap Bian, ia memang tidak pernah salah menilai. Satu keputusannya telah mengubah jalan takdir. Mempertemukan Bian dengan Marissa adalah hal terbodoh yang pernah dilakukan.

"Menurutmu? Apa salah mengejar wanita yang kita cintai?" Samuel tidak mau menawar egonya lagi.

Bian sedikit tertawa. "Tentu saja enggak salah. Selama apa yang dikejar enggak menyakiti cinta yang lain. Mempertahankan sesuatu yang enggak pernah dimiliki, itu konyol namanya," sindir Bian.

"Bukankah sudah terlalu lama aku meminjamkan dia padamu? Apa salah aku mengambilnya kembali?" cibir Samuel.

“Istriku bukan barang sewaan.” Bian coba untuk tidak terbakar emosi. Pria yang ada di sampingnya telah menghina seorang wanita yang selama ini selalu ia agungkan. Bedebah! "Kenapa kamu menilai Marissa serendah itu?" tanyanya lagi.
Kini mereka saling beradu pandang, tidak mau menurunkan emosi dengan tangan yang sudah mengepal. Keduanya tidak akan mundur.

Samuel teguh akan pendiriannya. Semuanya baru saja dimulai. Ia sudah kehilangan tahun-tahun indah karena merelakan hal yang sepatutnya tidak diberikan pada orang lain.

Tatapan, senyum, tawa, sentuhan. Semua yang telah Marissa berikan pada Bian. Saat ini, detik ini, akan direbutnya kembali. Marissa akan jatuh pada pelukannya. Suka atau tidak. Hal itu pasti terjadi.

"Mau sampai kapan kamu menggenggam dia? Bian, aku akan mengatakan satu rahasia yang selaini, sepertinya Marissa sembunyikan,” lanjut Samuel.

Bian menarik kerah kemeja Samuel. Otot di seluruh wajahnya sudah menegang. Tangannya siap menghancurkan apa saja. Tidak ada kalimat yang terdengar, hanya suara gemeletuk gigi saling beradu.

“Istriku tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku!” murkanya.

"Malam itu, dia menikmati setiap detiknya,” bisik Samuel, “istrimu bercinta denganku,”

Satu hantaman di pipi kanan Samuel membuatnya jatuh tersungkur. Bian tidak bisa lagi menahan dirinya. Ia menindih tubuh Samuel, membabi-buta memukuli pria yang tidak membalasnya sama sekali.

Samuel yang sudah babak belur bahkan masih mampu tersenyum sebelum pada akhirnya tidak sadarkan diri.

Beberapa orang di sekitar mereka menarik tubuh Bian yang masih mencoba menarik Samuel. Ia hilang kendali, menjerit kencang, mengeluarkan kalimat kotor yang selama ini tidak pernah diucapkan.

Arisetya juga Nastiti berlari tergopoh-gopoh setelah mendengar jeritan Bian. Mereka diam mematung—menatap Bian yang susah payah berusaha untuk ditenangkan, sementara Samuel diberikan pertolongan oleh beberapa perawat.
Ini buruk sekali.

***

Marissa menarik paksa kunci mobil dari saku batik Bian. Ia tahu betul dalam keadaan emosi, suaminya bisa menggila di atas aspal.
Setibanya di rumah. Bian terlebih dahulu keluar dari mobil. Tidak ada ucapan salam. Bian melemparkan tasnya ke kursi ruang tamu. Menghempaskan tubuhnya di kursi malas dekat tangga.

Marissa muncul dengan wajah yang sama masam. Ia melepaskan tas lalu duduk di sofa kemudian memanggil asisten rumah tangga. Ia harus minum air dingin, termasuk Bian.

Seorang wanita paruh baya muncul dari arah dapur. "Iya, Nyonya, ada apa?" tanyanya pelan.

"Tolong bawakan dua gelas air es, cepat ya, Mbok!" pinta Marissa.

Wanita bernama Siti itu mengangguk. Sudah hampir dua minggu ia bekerja di rumah Bian. Rekomendasi dari Lusi. Berbadan sedikit tambun, tetapi cekatan dalam menerima setiap perintah.

Marissa memijat pelan keningnya lalu mengikat rambut dengan asal. "Mas!" panggil Marissa saat melihat Bian hendak menaiki tangga. "Mas!!"" ulang Marissa.

Bian menghentikan langkahnya, tetapi enggan untuk menatap wajah Marissa. Ia takut kalau kembali lepas kendali. Api itu masih membakar hatinya. Sungguh takut tidak akan ada lagi yang bisa diselamatkan.

Semoga Marissa bisa melepaskannya. Ia perlu mengambil air wudu. Berdoa, semoga tetap diberikan kesabaran seluas samudera. Anak itu adalah miliknya! Hanya miliknya!

"Mas! Kenapa bisa lepas kontrol kaya tadi! Kamu enggak sepantasnya memukuli Samuel! Itu keterlaluan!" marah Marissa.

Satu percikan itu kembali membakar hebat hati Bian. Ia membalikkan tubuh, tersenyum jengkel lalu menatap Marissa yang juga tidak mau mengalah.

"Seperti apa yang pantas? Seperti apa yang enggak keterlaluan?" sindir Bian.

Marissa bangkit dari kursinya. Berjalan tanpa ragu mendekati Bian. Ia hanya khawatir kalau Bian akan melakukan kesalahan yang tidak perlu dilakukan.

"Mas, apa pun yang Samuel katakan enggak mungkin aku bisa berpaling dari kamu!!" seru Marissa.

Tidak mungkin berpaling?

Bian sepenuhnya sudah terbakar. Hati dan logikanya menuntut hal yang sama. Mari akhiri! Minta penjelasan! Bertanyalah! Jangan menunggu! Akhiri! Sekarang! Bian!

"Apa yang kamu sembunyikan dariku?" tanyanya, “kamu tahu apa yang Samuel katakan padaku?” tanyanya yang kemudian membalikkan tubuh untuk menatap istrinya.

Marissa diam dan mulai gelisah. Ia mundur beberapa langkah. Sorot mata Bian terlalu mengerikan serta berusaha membakar apa yang ditatapnya.

Kini Bian berjalan mendekati Marissa. Tanpa keraguan. Ia tak tahan lagi.

"Dia, mengatakan kalau kalian sudah bercinta. Sekarang, katakan, Marissa, apa pembelaanmu?”

“Mas,”

“KATAKAN MARISSA!!" jerit Bian.

"Mas," Bibir Marissa gemetar kala menatap Bian memejamkan mata sedangkan air matanya mulai mengalir. Ini, kali pertama ia melihat Bian menangis.

"Apa? Apa yang terjadi pada kalian? KENAPA MALAM ITU KAMU MABUK, HAH!!" Usaha Bian untuk meredam semuanya ... hancur dalam sekejap mata.

"Mas, dengarkan aku, Mas, dengar aku dulu," mohon Marissa sembari mulai terisak.
Bian mengibaskan tangan Marissa dari lengannya. Kini ia khawatir tidak sanggup lagi menyimpan sakit.

"Mas, aku minta maaf, aku tahu itu salah, Mas, kamu harus dengarkan aku!" mohon Marissa putus asa.

"Apa? Apa yang harus aku dengarkan? Apa aku harus diam saat istriku sendiri dilecehkan? Katakan padaku! Apa yang terjadi? Aku mencoba untuk menutup mata, hati, telinga demi cinta juga harga diriku sebagai seorang suami! Nyatanya aku tetap enggak bisa berhenti memikirkan ini!" cecar Bian.

"Mas, enggak ada yang terjadi! Aku, mabuk dan dia hanya mengantarkan aku ke kamar, lalu—"

"Astagfirullah! Nyonya!!" pekik Siti

Baki yang berada di genggaman Siti terlepas kala ia melihat Bian menampar Marissa hingga jatuh tersungkur.

Bian berjongkok di hadapan Marissa. "Aku anggap itu adalah pengakuanmu.” murka Bian lalu pergi menaiki anak tangga meninggalkan Marissa yang menangis tergugu.

Tangannya gemetar hebat saat meraba pipi. Rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh, perlahan mulai membakarnya. Seketika ia merasa gamang.

***

"Nyonya, makan dulu, dari kemarin sore belum makan, kasihan adik bayi,” bujuk Siti.

Marissa menggeleng pelan, jangankan untuk makan, bila bisa ingin rasanya ia mati saja. Suaminya belum juga kembali. Apa yang harus ia lakukan? Samuel pasti sudah membeberkan semuanya. Bian menghajarnya karena sesuru yang wajar. Tidak sepantasnya Marissa membela Samuel.

Dan yang terburuk adalah Bian mempercayai semuanya. Apa yang harus dilakukan? Bagaimana cara menenangkan Bian?

Pertanyaan-pertanyaan itu, pada siapa Marissa harus bertanya? Pada Bian? Jangankan untuk bertanya, kali ini, menatap mata Bian pun, sungguh tidak akan sanggup untuk dilakukan.

"Nya, Mbok bawain teh manis hangat ya?" bujuknya lagi. Marissa menatap Siti kemudian menggeleng pelan. “Sedikit saja, Nya,” bujuknya lagi.

Marissa kembali menggeleng. Apa sebaiknya ia pulang saja? Bila hal itu dilakukan, maka ia bisa saja kehilangan Bian untuk selamanya. Itu tidak boleh terjadi. Ia sangat mencintai Bian.

"Tunggu sebentar, tunggu, ya, Nyonya,” Siti tergopoh-gopoh pergi meninggalkan Marissa. Ia harus memastikan ada yang bisa Marissa telan.

Marissa kembali meraih ponselnya. Rasanya sudah ratusan pesan dikirimkan pada Bian. Tidak ada yang dibalas. Bahkan rasanya Bian tidak sudi menjawab panggilan telepon Marissa.

Kamu di mana, Mas, batinnya.

Marissa sedikit meringis menahan nyeri di perut. Sejak kemarin rasa kaku semakin sering menjalar di perut bagian bawahnya. Hatinya tidak bisa berbohong, amat mengkhawatirkan kandungannya. Belum lagi rasa terbakar yang membuat ulu hatinya berdenyut-denyut. Ia yakin kalau asam lambungnya juga sudah naik.

Ia melirik sebotol minyak angin di atas meja rias. Tangannya menggapai dan akhirnya berusaha bangkit dari peraduan.

Sejenak Marissa tertegun serta sedikit merunduk. Kepalanya seakan dihantam sesuatu.
Marissa kembali menegakkan kepalanya, tetapi kali ini pandangan mata berpendar, barang-barang di sekitar Marissa serasa ikut berputar, berkali-kali ia mengerjapkan mata, tangannya menggapai apa saja yang bisa dijadikan tempat bersandar.

Tanpa sadar ia menarik ujung kursi, keringat dingin membanjiri kening. Hatinya meneriakkan nama Bian berulang-ulang ketika pandangannya sudah sekelam malam. Marissa menyerah, jatuh tertelungkup di samping tempat tidur.

"Nyonya, ini teh manis hangatnya," ucap Siti, "Nya, ke mana dia?" tanyanya sendiri sembari meletakkan baki di nakas. "Di toilet kali, ya?" tebaknya sembari berjalan memutar.  "Astagfirullah, Nyonya!!" Siti membalikkan tubuh dingin Marissa, air matanya merebak di ujung mata ketika Marissa tidak juga kunjung bangun.
Siti meletakkan kembali kepala Marissa, bergegas menuruni anak tangga sembari berteriak meminta tolong kemudian berlari ke pintu depan, berharap ada tetangga atau siapa pun  yang melintas.

"Tuan? Alhamdulillah! Alhamdulillah!!" ulangnya saat melihat mobil Bian memasuki pelataran rumah. Ia segera berlari menghampiri Bian. "Tuan, tolong Nyonya Marissa, Tuan, tolong! Tolong!" Bian ikut panik mendapati asisten rumah tangganya menangis tanpa henti.

"Ada apa? Kenapa? Marissa? Kenapa Marissa?" Bian mengguncang-guncangkan tubuh gempal Siti.

"Nyonya pingsan, Tuan, tolong!"

Bian berlari memasuki rumah. Ia menangis sejadi-jadinya ketika melihat Marissa tergeletak di samping meja rias. Hanyut dalam berbagai rasa penyesalan juga bimbang.

Berkali-kali ia menepuk-nepuk pipi Marissa. Memeluknya erat. Berjanji tidak akan menyakitinya lagi. Dunia Bian serasa runtuh ketika Marissa tidak kunjung bangun. Seketika ia bersumpah, bila memang bayi itu bukan miliknya, maka biarlah! Asalkan Marissa bisa tetap bersama dengannya.

Ia akan rela kehilangan semua martabat, harga diri untuk Marissa. Cinta dan seluruh hidupnya berada di tangan Marissa. Kini Bian menjerit-jerit. Berkompromi dengan Sang Pencipta. Jangan sampai ia tidak bisa melibat wajah Marissa lagi.

Sandaran Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang