Bab 06 -Setitik Nila-

2.6K 189 1
                                    

Kesempurnaan bagi manusia adalah sesuatu yang semu.


Dari balik kaca jendela ruangannya, Bian menatap gedung-gedung bertingkat di sekitar gedung perkantoran miliknya. Lima lantai teratas digunakan oleh perusahaannya, sedangkan yang lain disewakan pada beberapa perusahaan lain, restoran serta minimarket.

Ruangan Marissa berada di lantai empat belas. Cukup jauh darinya. Mereka sepakat untuk saling menghargai secara profesional.

Beberapa minggu telah berlalu, kadang perasaannya kembali goyah bahkan terkadang air matanya sering menetes tanpa sebab.
Meskipun begitu, Bian percaya, cinta yang mereka miliki terlalu mustahil untuk dicurigai pun mencurigai.

Ia mengembalikan fokusnya saat mendengar pintu ruangannya diketuk.

"Masuk," ucapnya sembari kembali duduk di kursinya.

Tya memasuki ruangan dengan air wajah terlihat cemas.

"Ada apa?" selidik Bian.

"Pak Samuel ada di luar. Memaksa untuk ketemu Bapak. Saya sudah katakan kalau hari ini Bapak enggak bisa terima tamu tanpa janji sebelumnya,” sesal Tya, “sepertinya, Bapak Samuel marah sekali, Pak,” tambahnya.

Sejenak Bian terdiam, walau sesungguhnya, ia tahu tujuan Samuel datang dengan perasaan kesal.

"Tya, apa Ibu Marissa ada di ruangannya?" tanya Bian pelan.

"Sepertinya sedang keluar kantor, Pak. Tadi, Apa saya harus pastikan?" tanyanya.

"Enggak perlu,” Bian sedikit lega karena Marissa sudah pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin. Baguslah, mereka tidak akan bertemu. "Biarkan dia masuk," pintanya yang dijawab anggukan kepala oleh Tya.

Bian merapikan kemejanya sekaligus mempersiapkan diri untuk menjawab setiap keluhan Samuel.

"Selamat siang!" sapa Samuel setelah dipersilakan masuk oleh Tya.

Bian mengangguk sebagai isyarat agar Tya meninggalkan mereka berdua.

"Duduk dulu, Mas, mau minum apa?" tanya Bian.
Tanpa sadar Samuel mengentakkan tangan di atas meja kerja Bian. "Apa maksudmu? Pagi ini, seseorang yang mengatakan perwakilan dari kantormu datang untuk mengambil alih tugas Marissa!"

Bian menahan gejolak dadanya dengan cara tersenyum. "Apa dalam kontrak tertera kondisi seperti itu dilarang?" tanyanya yang memancing emosi Samuel.

"Semua perundingan akan sulit dilakukan bila harus mengulang semua kebiasaan kerja antara aku dan Marissa!" balasnya.

"Kebiasaan kerja? Apakah ada hal seperti itu untuk seorang profesional sepertimu?" cibirnya.

Kali ini Samuel tidak bisa membalas Bian. Ia berusaha menghindari tatapan elang Bian. Lelaki itu memang lebih muda darinya. Namun, sudah berulang kali ia tidak pernah bisa memenangkan perdebatan sengit di antara mereka.

"Memang ada alasan personal mengapa aku lakukan itu. Sebelumnya, aku minta maaf," sesal Bian, "sekarang, Marissa enggak bisa lagi sering-sering berkunjung ke proyek Cianjur, sementara atau mungkin selamanya dia hanya akan bisa kerja di kantor saja," tambahnya lagi.

"Ada apa? Apa dia sedang sakit?" tanya Samuel tanpa mampu menyembunyikan rasa cemas.

Bian memaksakan diri untuk tertawa. Berharap rasa canggung ini sedikit berkurang. "Bapak Suheri adalah seorang negosiator andal. Dia bisa membantumu menyelesaikan masalah pembebasan lahan yang seharusnya berbulan-bulan lalu selesai. Jadi, enggak perlu mengkhawatirkan hal selain pekerjaan." lanjut Bian coba membujuk hatinya untuk diam.

"Apa yang terjadi pada Marissa? Apa dia tahu kalau tugasnya diambil alih orang lain? Dia bukanlah seseorang yang membiarkan hal itu terjadi!” desak Samuel meminta penjelasan.

"Marissa akan merelakan semua posisinya karena dia sedang hamil,” ungkap Bian, "apa kali ini jawabanku memuaskanmu?" sindirnya.

"Hamil?" gumam Samuel.

***

Marissa baru saja menutup pintu mobil, tetapi entah dari mana datangnya, Samuel tiba-tiba menarik paksa tangannya.

"Kamu hamil?" tanyanya terengah-engah, "jawab aku, Marissa!!" paksanya.

"Iya! Apaan, sih, lepas! Sakit!" Marissa menepis tangan Samuel. Apa-apaan ini! Kenapa lelaki ini bertingkah aneh?

"Anak Bian? Apa dia anak Bian?"

Marissa terkesiap mendengar pertanyaan Samuel, sampai-sampai tasnya terlepas begitu saja dari genggaman dan dalam sekejap mata tangannya berayun menyambar pipi lelaki yang pernah menjadi pujaan hati.

Lusi dengan cekatan meraih tas Marissa, tangannya ikut gemetar. Ia mengalihkan pandangan ke arah pos  satpam kemudian melirik pipi Samuel yang memerah. Lelaki itu hanya diam, seakan tidak merasakan sakit.

"Kamu sudah gila!" maki Marissa.

Gigi Samuel terdengar saling bergemeretak. Namun, perlakuan Marissa malah membuatnya makin beringas. Tanpa sadar Samuel mendesak Marissa untuk mundur, merapatkan tubuh ke mobil.

"Jawab! Aku harus tahu!!" sentak Samuel.
Satu perasaan aneh menghinggapi hati Samuel ketika ia dengan jelas menangkap sinyal keraguan dalam binar mata Marissa.

Marissa mendorong Samuel sekuat tenaga. "Ini anak Bian! Apa yang kamu pikirkan? Dengar, hentikan omong kosong ini! Apa kamu sudah gila?” marah Marissa kemudian hendak pergi.

"Aku enggak akan melupakan apa yang terjadi di antara kita!" teriak Samuel.

Jantung Samuel juga Marissa berdentum hebat. Dada mereka naik turun menahan luapan amarah. Marissa kembali mendekati Samuel.

“Enggak ada kita! Enggak akan pernah ada kita!” murka Marissa.

“Kamu enggak bisa berkelit! Kali ini aku enggak bisa diam saja! Aku akan mengatakan pada Bian tentang kejadian di malam itu! Dengarkan itu!” ancamnya sembari berlalu pergi.

Jantung Marissa seakan merosot hingga ke perut. Secepat kilat ia mencengkeram lengan Lusi.

“Ibu?” panggilnya yang kemudian memegangi tangan Marissa yang tiba-tiba pucat kesi.

Sejenak Marissa tertegun, lalu menatap Lusi lekat-lekat sembari berusaha mengerti akan kejadian tadi. Samuel, dia sudah gila dan ancamannya ... apakah, sungguh-sungguh?

“Bu, Ibu enggak kenapa-kenapa?” tanya Lusi yang cemas menatap bulir-bulir peluh di dahi Marissa.
Tiba-tiba saja Marissa mencengkeram lebih erat tangan Lusi. Kali ini ia merasa perutnya nyeri seperti diremas-remas.

"Ibu?" lirih Lusi yang kemudian memapah Marissa.

Lusi membantu Marissa duduk di salah satu sofa lobi kantor. Tergesa-gesa ia berlari menuju meja resepsionis, menghubungi Tya dan tidak lama kemudian Bian juga Tya tiba di lobi.

"Marissa, ada apa?" tanya Bian yang duduk setengah bersimpuh di hadapan Marissa.

"Mas?" jawab Marissa setengah menatap wajah Bian. “Mas.”

Napas Marissa mulai terdengar berat dan terlihat tidak beraturan. Bian semakin panik karena tiba-tiba saja istrinya menangis.

"Kamu kenapa? Ada apa?" tanyanya lagi kemudian menempelkan telapak tangan di kening Marissa.

"Mas, aku mau pulang, Mas," lirihnya.

Bian tidak langsung menjawab. Tangisan istrinya mulai terdengar semakin memilukan. Apa yang terjadi? Apa terjadi sesuatu dengan kandungan Marissa?

“Mas, ayo, pulang, Mas,” pintanya lagi dengan suara parau.

Bian mengusap air mata Marissa. "Iya. Tya, tolong cancel semua meeting hari ini!" titah Bian yang dibalas cepat oleh Tya.

***

Lusi menata bantalan kecil agar Marissa duduk nyaman di mobil kemudian perlahan membantu Marissa duduk. Ia mundur selangkah untuk memberi ruang agar Bian bisa memasangkan sabuk pengaman kemudian menutup pintu mobil.

“Pak, apa perlu saya temani ke rumah sakit?” tanya Lusi cemas.

Bian dengan cepat menatap Lusi. "Ada apa? Apa terjadi sesuatu? Bukankah kalian baru kembali dari rumah sakit?" cecarnya.

Lusi mematung. Bagaimana mungkin ia bisa menceritakan hal tadi.

"Ada apa?" desak Bian.

"Tadi, tadi Pak Samuel, di parkiran, dia ngomong hal aneh sama Bu Marissa,” tutur Lusi, tidak bisa berbohong setelah mendapatkan tatapan intimidasi Bian.

"Samuel? Apa yang dia katakan? Marissa sampai syok sekali! Ada apa Lusi?" tanyanya lagi.

"Itu, itu, Pak Samuel ...." ucapnya yang kini kebingungan.

"Apa Lusi? Katakan!" paksa Bian.

"Mereka bertengkar, Pak," lanjut Lusi berharap Bian akan berhenti bertanya.

"Bertengkar? Ada apa? Marissa bukan tipikal orang yang cepat emosi. Ada apa?" desaknya belum puas.

"Pak Samuel bertanya apakah ... apa bayi yang dikandung Bu Marissa, itu. Apa ... dia ....”

“Jangan berbelit-belit! Katakan!” sentak Bian.

“Apa, apa dia anak Bapak Raka atau bukan," lirih Lusi terbata.

Bak disambar petir, Bian yang tiba-tiba kehilangan tenaga segera menyandarkan tubuh ke mobil serta memaksakan diri untuk menatap Marissa.

Mengapa Samuel mengatakan hal itu? Apakah ... apa Marissa berselingkuh? Tidak! Itu tidak mungkin!

***

Marissa duduk sendirian di tepian tempat tidur. Semua ingatan itu melesat dengan cepat. Rasa sakit teramat dalam kembali mengganggu batinnya.

Dengan tangan gemetar ia menyentuh perutnya sendiri, air matanya kembali merebak di ujung mata. Isak tangis tidak tertahankan kembali tumpah ruah, beranak sungai ketika ia mengingat semuanya.

Waktu itu tepat tiga bulan yang lalu, Bian mendadak demam sehingga tidak bisa menghadiri undangan salah satu kolega yang mengadakan pesta ulang tahun di sebuah hotel mewah daerah Puncak, Bogor.

Dengan mempertimbangkan bahwa kolega tersebut adalah salah satu aset penting, Bian memutuskan untuk meminta Marissa agar menggantikan posisinya sebagai tamu undangan. Terlebih, Arisetya juga tidak bisa menghadiri pesta tersebut karena sedang di luar kota.

Setelah perbincangan yang cukup alot, akhirnya Marissa menyetujui permintaan Bian kemudian pergi dengan lengkungan senyum juga lambaian tangan suaminya.

Setibanya di hotel, Marissa segera mandi kemudian sedikit bersolek serta mengganti  pakaian dengan yang terbaik sebagai citra perwakilan dari Soejarmoko Grup.

Awalnya semua berjalan sesuai acara, sampai si Tuan Rumah mengangkat gelas wine, serta meminta para tetamu untuk ikut bersulang.

Marisa ragu, selain dilarang agama, ia pernah punya pengalaman buruk bila berurusan dengan minuman beralkohol. Seteguk saja bisa membuatnya hilang kesadaran dan menurut Bian, ia bisa menjadi seperti orang lain. Namun, bagi si Tuan Rumah menolak ajakan ini sama saja sebagai penghinaan.

Bibirnya menyentuh sisi gelas berisi wine. Rasa asam-pahit menyeruak di seluruh. rongga mulut, Marissa kembali coba tersenyum serta menikmati setiap canda tawa tanpa memperhatikan sepasang mata yang mengamatinya.

Menjelang tengah malam Marissa kembali ke kamar, pandangannya mulai berputar-putar. Sesekali ia terdiam sambil mengerjapkan mata, kadang terjatuh, juga mulai meracau, memanggil nama Bian berulang-ulang.

Tangan kekar tiba-tiba saja merangkul pinggulnya. Marissa menoleh lalu tersenyum.
"Eh, Mas Bian?" lirihnya.

"Kamu mabuk!"

"Ah, iya, sedikit," ujar Marissa sembari menggelayut manja di leher pria yang dilihatnya sebagai Rakabian Soejarmoko.

"Ayo, kembali ke kamarmu," ajaknya.

Mereka berjalan terseok-seok menuju kamar Marissa. Perlahan pria itu membantu Marissa berbaring di tempat tidur, membuka satu per satu sepatu juga perhiasan yang Marissa kenakan kemudian menyelimuti tubuhnya.

"Bangun tidur nanti, minum ini," ucapnya sembari menaruh sebotol minuman di atas nakas. "Aku pergi dulu,” lanjutnya.

Tiba-tiba saja Marissa menarik tangan pria itu. "Mau ke mana?" tanyanya setengah terpejam.

"Aku—"

“Aku kangen kamu, Mas,” celotehnya sembari mengecup pipi pria itu.

"Aku pergi, dulu," ujarnya lagi sembari berusaha melepaskan dekapan Marissa.

"Mas Bian! Ih!!" Marissa menarik tubuh pria itu hingga keduanya terjerembap di kasur. Jemari lentiknya menyusuri leher pria itu, tersenyum menggoda, lalu memainkan ujung hidungnya. “Mas, cium aku,” pintanya.

Sinar matahari menyapa pagi dengan penuh keceriaan. Marissa membuka mata, kepalanya berdenyut hebat. Tangannya meraih sebotol air yang berada di atas nakas. Untuk sesaat ia terdiam, coba berpikir mengapa bisa tertidur tanpa berpakaian.

Suara deras air dari kamar mandi membuatnya melonjak kaget, secepat ia menutupi diri dengan selimut kemudian memandangi kenop kamar mandi yang bergerak lalu terbuka.

"Samuel!?" teriaknya. Samuel  di ambang pintu hanya mengenakan handuk juga tidak kalah terkejut, "ap-apa ... apa yang kamu lakukan di kamarku!!" murkanya.

"Marissa?” lirihnya.

"Apa yang kamu lakukan? Apa—apa yang kita lakukan?" jeritnya ketika tersadar dengan kondisi dirinya sendiri.

"Aku, aku bisa jelaskan!" sergah Samuel.
Tamparan keras mendarat di pipi Samuel, lantas mendorong tubuh Samuel, kemudian berlari—mengunci diri di kamar mandi. Suara jerit tangisnya terdengar jelas.

"Marissa, buka pintunya," pinta Samuel putus asa.

Berkali-kali Marissa menggosok seluruh bagian tubuh yang terlihat sangat menjijikkan. Berulang kali juga menampar diri sendiri, berharap ini hanya mimpi, berharap bisa terjaga. Wajah Bian melintas dengan cepat, setiap senyuman mengiris sanubari.

"Marissa, tolong buka pintunya, aku minta maaf!" Sudah hampir sepuluh menit Samuel mengetuk dengan kasar pintu kamar mandi, tidak ada balasan—hanya terdengar suara keran air yang terbuka. "Marissa, kita bicarakan ini! Kita sama-sama mabuk! Marissa, tolong!” bujuknya lagi.


"Marissa?" Guncangan di bahunya membuyarkan lamunan. Perlahan Bian meletakkan gelas berisi air teh manis hangat di atas nakas kemudian menatap cemas istrinya.

"Mas," gumam Marissa sembari menahan pedih yang teramat dalam.

"Ada apa? Kenapa? Marissa?" tanyanya.
Marissa diam, ia hanya bisa memeluk Bian kemudian menangis tersedu-sedu.

Entah mengapa Bian memilih diam. Rasanya aneh. Sungguh. Akan tetapi, menanyakan hal ini pada Marissa, mungkin saja kembali menggoreskan luka di atas luka yang masih basah. Bian sungguh tidak bisa mengerti, juga tidak mau mencoba mengerti.

Sandaran Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang