Pada hakikatnya kesempurnaan hanyalah milik Allah S.W.T
Harapannya untuk bisa berdamai dengan ancaman Samuel sepertinya hanya angan belaka. Marissa sudah tergulung badai tak kasat mata. Marissa sadar, bila Bian mengetahui masalah ini, maka rumah tangganya bisa ....
Bayang menakutkan itu bahkan hadir dalam setiap mimpi. Tekanan batin ditambah pengaruh dari kehamilan trimester kedua, membuat kondisi Marissa merosot tajam.
Mieke sudah datang untuk memeriksa kondisinya. Bahkan kemarin Marissa sempat dibujuk, agar mau dirawat lebih intensif di rumah sakit.
Marissa mendesah pelan. Ia menatap pintu kamar yang terbuka serta memperhatikan suaminya yang dengan hati-hati meletakkan segelas susu di meja.“Minum dulu susunya, mumpung masih hangat,” bujuk Bian.
"Kamu berangkat kerja saja, Mas,” tutur Marissa ketika Bian duduk di tepian ranjang.
Bian menghela napas. "Enggak, tadi aku sudah minta Tya untuk antar dokumen ke rumah," tolaknya.
"Aku sudah lebih baik, tadi juga bisa makan bubur, ‘kan?" tambahnya lagi.
Bian memandangi Marissa, dibelai lembut penuh kehangatan pipi istrinya. Ia turut merasakan kesakitan istrinya. Sejenak Bian tertegun karena ucapan Lusi kembali teringat.
“Marissa,” lirih Bian sembari membelai rambut istrinya, "sekarang, katakan padaku. Jujur, apa yang sedang kamu pikirkan? Asam lambung kamu naik karena stres.” Marissa memutar pandangannya, tetapi sekali lagi Bian membimbing ujung dagu Marissa untuk kembali menatapnya. “Ayolah Marissa, katakan, ada apa?" desak Bian.
Marissa menampik tangan Bian. "Aku enggak apa-apa, Mas, sungguh," timpalnya berusaha mencuri kesempatan menolak tatapan Bian.
Bian kembali membimbing Marissa untuk menatap wajahnya, dengan lembut ia menarik ujung dagu Marissa.
"Lusi mengatakan kalau kemarin kamu sempat bertengkar dengan Samuel, ada apa?" Bian tidak tahan lagi. Meskipun Marissa menolak, ia akan bersikukuh meminta penjelasan.
"Apa yang Lusi katakan padamu?" Sikap Marissa yang malah balik bertanya mengguratkan tanda tanya besar.
"Apa perlu aku meminta Samuel datang untuk menjelaskan semua padaku?" tantang Bian.
"Mas, enggak ada apa-apa, dia hanya berkata hal yang—"
"Dia katakan kalau anak ini bukan anakku!" potong Bian.
Napas Marissa tercekat, tubuhnya gemetaran. Bahkan, ia tak sanggup mengalihkan pandangan dari Bian.
"Apa ... kamu meragukan aku?" lirih Marissa.
Bian menyeka air mata Marissa. "Tentu enggak, tapi Samuel punya alasan. Ayolah, Sayang, katakan padaku, ada apa?" tuturnya dengan nada yang lebih pelan.
"Aku sudah katakan! Aku enggak tahu, jangan bahas ini!" sentaknya sembari menahan isak.
Sebelum hilang kesabaran, Bian memilih bangkit kemudian berkata, "Setelah kamu pulih, kita harus tetap membahas hal ini. Sebentar, aku ambilkan buah dulu.”
Selepas menutup pintu, Bian menyandarkan tubuhnya di dinding. Terlihat jelas bahwa istrinya sedang menyembunyikan sesuatu. Beberapa kejadian aneh mulai terpikirkan kembali, salah satunya sikap Marissa yang tiba-tiba murung setelah kembali dari pesta beberapa bulan lalu.
Perlahan ia turun menuju dapur, kemudian meneguk segelas air dingin lalu menatap kosong ke satu titik.
Suara denting bel membuyarkan lamunan. Bian bergegas membuka pintu depan kemudian menyambut kedatangan Asmarini dan Nastiti.
Mereka bergegas menuju kamar Marissa kemudian Asmarini duduk di samping Marissa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandaran Hati (End)
Romansa"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu! Mari kita bercerai!" ****** Tahun ini pasangan Marissa dan Bian merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ke-15. Satu saja yang mereka inginkan, yaitu kehadiran si buah hati. Mengungkapkan sebuah rahasia di ten...