Bab 19 -Rahasia-

2.8K 187 1
                                        

Jangan pernah mencintai terlalu dalam.


Dengan tergugu menahan pedih teramat dalam, Marissa menceritakan semua aib yang disimpan sendirian kepada Asmarini, Arisetya, Nastiti, bahkan ibu kandungnya, Anissa. Tidak ada pembelaan juga penghakiman untuknya. Semua menahan diri dalam air mata. Terlebih Asmarini yang terus beristigfar dalam setiap helaan napas. Sungguh, tidak pernah terbayang musibah ini terjadi dalam rumah tangga putranya.

Anissa menyelimuti Marissa. Hampir pukul sebelas malam, Bian belum juga kembali. Perlahan ia menuruni anak tangga, bergabung dengan Arisetya, Nastiti juga besannya duduk di ruang tamu.

Anggapan bahwa tangisan Bian adalah ungkapan kebahagiaan seketika sirna.

Beban itu juga seketika menaungi pundak Asmarini. Sejenak ia memejamkan mata untuk bisa berpikir jernih. Keyakinan itu tetap tidak goyah, yang dikandung Marissa adalah cucunya—anak Bian.

Ia meminta Arisetya, Nastiti termasuk Anissa untuk ikut pulang. Percaya akan sifat Bian yang penuh kasih sayang. Mereka butuh waktu untuk berdua saja.

Musibah ini sanggup diselesaikan dengan baik. Yakin, pasti bisa terselesaikan tanpa perceraian yang dibenci Allah. Nauzubillah.

Jauh dalam kegelapan, pria itu terdiam. Cinta yang selama ini dipegang teguh ternyata tidak lebih dari sebuah kebohongan. Ini menyakitkan, cinta indah yang digenggamnya hanya sebatas ilusi. Alas yang dipijak hanya berupa lapisan es tipis. Jurang itu telah menelan semuanya.

Seluruh jiwa dan raganya seakan terjatuh dalam lubang tanpa dasar. Tidak ada, tidak akan pernah ada yang bisa menariknya dari lubang hitam itu. Kini ia memejamkan mata, tetapi jawaban itu tetap tidak berubah. Keyakinan itu tetap sama. Bayi itu bukan miliknya dan ia tidak bisa hidup dengan kenyataan itu.

***

Azan subuh sudah berkumandang. Marissa mengambil air wudu, menunaikan kewajiban pada Yang Maha Esa. Menengadahkan kedua telapak tangan.

“Ya Robbi, jangan timpakan semua amarah Mas Bian pada bayi ini. Jangan berikan kami cobaan yang enggak sanggup untuk dihadapi. Ya, Allah, hanya Engkau yang Maha Mengetahui, hamba mohon pertolongan-Mu,” lirih Marissa.

Suara deru mobil makin mendekat, Marissa bergegas melipat mukena. Setengah berlari menuruni anak tangga lalu membuka pintu depan.
Bian terkejut mendapati istrinya membuka pintu dengan terengah-engah. Sungguh, ia belum bisa menatap mata itu hingga akhirnya memilih membuang pandangan dan melewatinya begitu saja.

"Mas, Mas Bian, tunggu, Mas!" mohon Marissa.
Bian menutup pintu kamar mandi, untuk pertama kalinya dalam rumah tangga mereka, mengunci pintu itu. Mengabaikan Marissa yang terus mengetuk-ngetuk. Air hangat yang membasahi tubuhnya tidak jua mampu menyegarkan hati.
Setelah itu, Marissa hanya bisa menatap Bian menunaikan salat subuh. Berharap setelah itu akan lebih tenang. Namun, nyatanya Bian bergegas menuju kamar tamu, lalu mengunci diri di sana.

"Mas, buka, aku mohon, Mas!" bujuk Marissa sembari mengetuk pintu. Tidak ada jawaban, hening.

***

Mentari pagi kembali menyapa hari dengan bersihnya langit biru yang indah. Marissa sudah sibuk mempersiapkan sarapan untuk Bian. Nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi, segelas kopi hitam.

Bian keluar dari kamar tamu, masih mengenakan koko juga sarung. Sekilas menatap Marissa yang sudah tersenyum, tetapi sekali lagi ia bergegas naik ke kamar.

Marissa mengigit bibir kemudian duduk menunggu suaminya turun. Sesuai dugaan, Bian turun mengenakan kemeja biru muda, dasi warna senada juga celana katun warna hitam.

"Mas, kamu kerja? Hari ini kita cuti, ‘kan?" tanya Marissa.

Bian benar-benar mengabaikan istrinya. Ia meraih gelas, lalu menuangkan jus jeruk dari kulkas kemudian meneguknya hingga tandas.

"Mas?"

"Mbok, tolong siapkan roti selai kacang," perintahnya pada Siti yang sedari tadi mencuci piring—ketakutan setelah kejadian semalam.

"Iya, Tuan," jawabnya.

"Enggak usah, Mbok. Biar aku saja," pungkas Marissa.

"Mbok!! Buatkan saya roti!" sentak Bian.

"I–iya, Tuan,"

Dengan terpaksa Marissa hanya mampu melihat asisten rumah tangganya melayani Bian. Ia sudah memikirkan semuanya. Rasa cinta itu tidak mungkin pernah akan  menghilang dari hati Bian. Walaupun, ia tahu telah menyakiti terlalu dalam, tetapi Bian tidak akan pernah sanggup berpisah dari dirinya termasuk janin ini.

"Mas," Marissa duduk di samping Bian. "Mas, anak kita ....”

Bian berhenti mengunyah. Ia meletakkan kembali potongan roti lalu minum sedikit air. Marissa salah menilai. Hatinya telah mengeras dan tidak sanggup untuk dilelehkan lagi.

"Mbok, saya berangkat kerja, enggak perlu masak makan malam, saya makan di luar,” ucapnya.

"Ba–baik, Tuan," jawabnya terbata.

"Mas!! Ini anakmu!!" jerit Marissa.

Marisaa tidak rela berpisah dengan cara keji seperti ini, sungguh tidak mau. Anak ini, tidak bersalah! Bian tidak boleh menghukumnya sebelum Marissa bisa membuktikan anak ini adalah benar anak kandung Bian.

Haruskah kita berakhir? Sampai sini saja? Enggak, Mas, batin Marissa.

Bian menatap Marissa kemudian mendekatinya, "Dia bukan anakku, enggak akan pernah menjadi anakku. Dia bukan darah dagingku. Dia anakmu. Bukan anakku, bukan kita, tetapi kamu dan Samuel!" tegas Bian.

"Mas, aku tahu, aku salah. Aku enggak akan pernah bisa dimaafkan. Semua ini memang salah aku, tetapi ... anak ini enggak berdosa, Mas," bela Marissa.

"Aku sudah katakan padamu, bila ingin tetap bersamaku, gugurkan kandunganmu atau berikan dia pada orang lain! Aku enggak peduli!" tegas Bian, “aku enggak minta banyak sama kamu. Lepaskan anak itu atau aku!” tambahnya.

"Mas," Air mata Marissa tidak tertahankan lagi. "Dia anakmu, aku memang sekali melakukannya dengan Samuel di bawah kesadaranku, aku sedang mabuk, Mas!" sanggah Marissa.

"Dan kamu sadar betul saat minum wine itu, ‘kan?" marah Bian.

"Anak ini tetap saja bisa menjadi darah dagingmu, Mas. Kita tunggu sampai aku melahirkan untuk tes DNA," seru Marissa.

"Enggak perlu karena hasilnya akan tetap sama! Dia bukan anakku!" sangkal Bian.

Marissa mengusap air matanya dengan kasar. Janin dalam kandungannya ikut menendang. Ia balas menatap Bian.

"Kenapa begitu yakin? Kamu boleh benci aku, bunuh aku bila perlu, tapi anak ini enggak berdosa! Anak ini enggak tahu apa-apa! Aku enggak mungkin membuangnya ke panti, apalagi membunuhnya! Setiap saat aku bisa merasakan dia hidup, tumbuh dalam rahimku, aku enggak bisa melakukannya!" debat Marissa.

"Kalau begitu, kita bercerai! Aku akan segera mengurus semuanya!" tandas Bian.

“Mas! Kalau hasil tes DNA mengatakan anak ini bukan anakmu ... aku siap bercerai. Aku siap menerima hukuman itu. Berikan aku sedikit keadilan, Mas.” mohon Marissa.

Marissa telah merobek kembali bagian hati Bian yang masih tersisa. Kali ini, Bian sungguh tidak bisa lagi menahan semuanya. Termasuk sebuah rahasia juga rasa bersalah yang selama ini disimpan sendirian.

Bian tertawa sinis. "Keadilan? Kamu meminta keadilan padaku? Baiklah, akan aku berikan keadilan itu, ikut aku!" Bian menarik tangan Marissa yang terus meronta.

Namun, amarah seluruhnya sudah menguasai Bian. Marissa hanya mampu mengelus perutnya. Sesekali menatap Bian yang fokus menyetir dengan lebih cepat.

"Mas, kita mau ngapain ke sini! Mas!" Marissa coba memberontak. Namun, Bian dengan baik mencengkeram erat tangan Marissa.

"Duduk!!" titah Bian pada Marissa lalu bergegas menuju tempat pendaftaran. "Selamat pagi, apa Dokter Mieke Saraswati sudah tiba?" tanya Bian.

"Baru saja tiba, tolong ambil nomor antreannya dahulu, Pak," tutur seorang gadis memakai seragam warna merah muda.

"Terima kasih," jawab Bian lalu kembali menarik tangan Marissa menuju ruangan Mieke tanpa memedulikan seruan petugas rumah sakit.

Mieke baru saja hendak mengenakan jas putih sungguh terkejut ketika Bian menerobos masuk.

"Astagfirullah, ada apa?" tanya Mieke kaget, terlebih melihat Marissa menangis tersedu-sedu.

"Duduk!" titah Bian.

"Ada apa ini?" ulang Mieke.

Sesungguhnya Bian tidak mau menatap air mata Marissa. Dalam masalah ini, ia juga ingin dapat keadilan.

"Sekarang, akan aku berikan keadilan itu padamu juga alasan kenapa aku sangat yakin kalau bayi yang kamu kandung bukanlah anakku!!" sentak Bian.

Jantung Mieke berdentum lebih cepat. Tidak menyangka kalau hari ini tiba begitu cepat dan perkiraannya salah. Bian sangat marah.

"Pak Bian, tenangkan dirimu. Tenang, kasihan Marissa juga bayi yang dikandungnya," lirih Mieke.

Bian tertawa, kedua matanya terasa panas. "Lalu bagaimana denganku? Apa aku enggak pantas untuk mendapatkan keadilan untukku sendiri? Seenggaknya Marissa harus tahu kalau aku bukanlah seseorang tanpa tanggung jawab!" serunya setengah terisak.

Mieke terdiam, ia coba menenangkan diri sendiri. Bagaimanapun semalam mereka terlihat baik-baik saja atau apa mungkin hanya mencoba baik-baik saja?

"Mas, aku enggak mau menggugurkan anak ini, Mas! Jangan paksa Dokter Mieke membantumu melakukan perbuatan dosa!" raung Marissa.

"Astagfirullah!" gumam Mieke.

"Sekarang, Dokter Mieke akan jelaskan semuanya! Alasan aku begitu yakin kalau dia bukan anakku!" tambah Bian.

"Sabar, saya sudah katakan kita pastikan setelah Marissa melahirkan, sabar dahulu! Jangan gegabah seperti ini!" debat Mieke.

"Beri tahu padanya! Ayo, katakan padanya!" desak Bian.

"Pak Bian! Kondisi Marissa sudah enggak memungkinkan!" ucap Mieke menatap Marissa yang pusat kesi.

"Baik, biar aku yang mengatakannya. Marissa, aku ... aku infertil!!" ungkapnya.

Napas Marissa tercekat, seakan ada seutas tali yang membelit kerongkongannya.

"Ya! Aku mandul! Aku enggak mungkin memiliki anak! Kamu dengar itu! Aku mandul! AKU MANDUL!!" jerit Bian berulang-ulang.

Marissa mengatupkan mulut, menahan jerit tangis dengan bibir yang gemetar.

"Kamu dengar itu? Aku sudah mengatakannya, anak itu enggak mungkin milikku!" lirih Bian.

"Pak, saya sudah katakan, ada beberapa kasus yang menyatakan kalau tetap bisa punya keturunan setelah divonis infertil, enggak ada yang mustahil bagi Allah!" sergah Mieke, "kita hanya harus memastikannya lagi lewat tes DNA setelah Marissa melahirkan," tambahnya.

"Untuk apa? Menyakiti aku lebih dalam lagi? Aku ... enggak sanggup," lirih Bian lalu pergi.

"Mas!! Mas Bian!!" panggil Marissa.

"Biarkan, biarkan dia sendiri dahulu, tenangkan dirimu dulu, Marissa," bujuk Mieke sembari memeluknya erat-erat.

***

Marissa berjalan gontai  dengan perasaan hampa, bodoh, kesal, marah, sedih, juga lainnya. Penjelasan Mieke masih mengawang-awang di pikirannya.

“Bian divonis mengidap varikokel. Penyakit ini mirip seperti varises pada kaki, hanya saja pembengkakan terjadi pada pembuluh darah skrotum atau kantung zakar. Awalnya Bian mengabaikan rasa tidak nyaman yang kemudian menghilang pada saat ia baru saja menikah denganmu, tapi, kelamaan muncul benjolan yang jelas terasa bila diraba,” Marissa menyandarkan dirinya di dinding ketika ucapan Mieke teringat kembali.

“Berbagai cara pengobatan sudah Bian coba. Melalui jalur operasi, termasuk terapi juga melakukan berbagai tes kesuburan, tetapi hasilnya tetap sama, yaitu infertil. Bian enggak  mau mematikan harapan Marissa, juga semangatku. Aku sudah katakan padanya, kehamilan tetap bisa terjadi meskipun pasien dinyatakan infertil, Bian enggak mau kamu ikut merasakan penderitaannya berjuang selama bertahun-tahun mengikuti terapi kesuburan baik secara medis ataupun tradisional.”
Walaupun tidak sanggup menahan tangis, Marissa tetap memaksa dirinya terus berjalan tanpa memedulikan semua yang menatapnya.

Sekarang, ia memahami semua sikap aneh Bian selama masa kehamilannya. Terkadang Bian terlihat sangat bahagia dan tak jarang tampak sedih, marah tanpa sebab juga yang lainnya.
Keadilan? Rasa kasihan? Ia merasa malu sudah meminta itu pada Bian. Mieke juga mengatakan kalau pernah menyarankan Bian untuk melakukan tes DNA secara diam-diam, tetapi Bian selalu menolak demi alasan keselamatan Marissa juga janin yang dikandungnya. Cinta Bian pada bayi itu tidak diragukan lagi.

Namun, itu tidak bisa menjadi alasan ia mengikuti kemauan Bian. Bagaimanapun, Marissa tidak bisa membiarkan anaknya merasakan dinginnya tidur tanpa pelukan orangtua. Tidak bisa. Marissa tetap yakin, anak ini adalah milik Bian. Firasatnya mengatakan hal itu berulang-ulang. Ia akan memberikan waktu untuk Bian menenangkan hati

Sandaran Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang