Bab 09 -Bukan cinta biasa-

1.6K 155 0
                                    

Takut terluka adalah salah satu alasan untuk tidak melepaskan yang dicintai.


"Pak, saran saya berhentilah memikirkan hal yang enggak perlu,” tutur Mieke pada Bian yang duduk termenung di hadapannya. "Saya berbicara di sini bukan sebagai dokter, tapi teman. Tentu, bila Bapak enggak keberatan,” tambahnya lagi.

Bian mengangguk pelan, bagaimanapun ia butuh seseorang untuk membicarakan pemikiran 'gila' yang selama ini membelenggu.

"Pak, kandungan Ibu Marissa sangat sehat, meskipun begitu kehamilan pada wanita yang sudah berusia di atas empat puluh tahun penuh dengan risiko. Kita sudah pernah membahas hal ini sebelumnya." Mieke berusaha keras agar tidak terdengar menggurui Bian.

"Iya, saya juga memikirkan hal ini, saya takut terjadi sesuatu pada Marissa," timpal Bian.

"Mari sudahi semuanya lalu nikmati doa yang selama ini dipanjatkan. Kecurigaan termasuk rasa takut lebih baik ditepis. Saya mengerti apa yang dirasakan oleh Pak Bian, tetapi kesehatan mental kalian berdua sangat penting untuk mendukung perkembangan janin yang dikandung Ibu Marissa," lanjutnya lagi.

"Saya juga ingin melakukan itu, tetapi ada hal yang enggak bisa dibohongi,” timpal Bian.

"Apa selama ini Bapak sudah jujur padanya?" Bian menatap wajah lembut Mieke. "Pak, Ibu Marissa sangat mencintai Bapak, enggak mungkin ada hal lain yang—"

"Bagaimana kalau itu benar terjadi?" potong Bian.

"Bagaimana kalau dugaan Bapak benar terjadi?" Bian terenyak mendengar kalimat itu meluncur dari Mieke. "Ya, apabila itu benar adanya, apabila semua kecurigaan Bapak, benar adanya, apa yang akan Bapak lakukan? Melepaskan istri Bapak?" tambahnya.

Bian menunduk, tentu saja ia tidak bisa melakukan itu. Cinta ini teramat dalam bersemi untuk Marissa seorang. Pertanyaan akankah bisa menjalani hari-harinya tanpa memandang Marissa, tentu saja itu tidak akan pernah bisa dilakukan. Jawabannya masih sama. Tidak bisa hidup tanpa dia.

***

Tangan Lusi masih gemetar hebat, tetapi tidak ada yang dilakukan selain menatap Marissa. Semua pengakuan Marissa membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Selama ini, ia selalu menduga bahwa Samuel masih menginginkan Marissa  dan dugaan itu terbukti benar.

"Bu, sebaiknya jujur saja sama Pak Raka." Lusi bingung memilih kata yang tepat untuk situasi ini. Marissa menggeleng dengan cepat, air matanya kembali bercucuran. "Pak Raka adalah seseorang yang sangat bijaksana, dia pasti bisa memahami situasi Ibu saat itu," tambahnya lagi.

"Lusi, Bian sangat mencintai aku, dia sangat mencintai aku karenanya ini akan sangat menyakiti dia! Aku enggak tahu, apakah bayi ini miliknya atau Samuel?" lirih Marissa.

Lusi seakan tersengat aliran listrik saat kalimat itu terucap dari bibir Marissa. Kali ini ia hanya bisa terdiam, benar-benar diam.

"Marissa, kamu sudah pulang?" tanya Bian, "eh, Lusi?" tutur Bian sembari meletakkan amplop cokelat kecil di atas meja. "Sayang, kamu habis nangis?" duganya sembari menarik ujung dagu Marissa.

"Ah, enggak, Pak, tadi kita habis nonton drama Korea, sedih ceritanya, beneran, deh!" sangkal Lusi, berharap Bian percaya.

Bian menautkan alisnya. "Tumben kamu mau nonton yang begituan," timpal Bian mengamati tingkah gugup Lusi. "Kamu makan malam di sini, ya? Lusi?" tawar Bian.

"Terima kasih, Pak, saya sudah ditunggu sama anak-anak. Ibu Marissa, aku pulang dulu!" jawab Lusi cepat sambil menyambar tasnya kemudian bergegas pergi dari sana.

Bian duduk di samping Marissa, dengan lembut merengkuh pinggangnya, perlahan menyadarkan dagu di bahu Marissa, seakan-akan sedang membagikan kerisauan.

Perlakuan Bian serta ancaman Samuel membuat Marissa semakin bimbang. Namun, lebih baik ia mengatakan hal ini langsung pada Bian. Tentu saja, Bian akan bertambah murka bila mengetahui hal ini dari orang lain.

"Mas," lirih Marissa.

"Ya, ada apa?" Dengan lembut kini Bian menatap istrinya.

"Ada hal penting yang harus kita bicarakan," gumam Marissa.

Rasa itu kembali menghancurkan perasaan, getir juga ketakutan menyergap Bian dengan sempurna. Mata istrinya berkaca, seakan membenarkan apa yang selama ini ia khawatirkan. Lalu, sudah siapkah ia mendengarnya?

Bian tiba-tiba bangkit, kembali meraih amplop kecil yang ia letakkan. "Aku mandi dulu, kita bicarakan masalah ini setelah makan malam," ujarnya tanpa sanggup menoleh pada Marissa.

Bukan kelegaan saat punggung Bian menjauh. Namun, Marissa takut punggung itu tidak akan kembali lagi padanya.

***

Mereka menikmati hidangan tanpa sanggup bercanda mesra seperti yang selama ini terjaga. Marissa terkesan hanya mengaduk-aduk makanan dan Bian berharap makanan di piringnya tidak akan habis disantap. Jadi, ia masih punya banyak waktu untuk mempersiapkan hati.

"Aku sudah menemukan asisten rumah tangga, besok dia mulai bekerja," ujar Marissa yang dijawab anggukan saja. "Mas, ada hal penting yang ingin aku utarakan.”

Kini Bian meletakkan sendok juga garpunya kemudian menatap Marissa dengan harapan wanita itu bisa menutup mulut.

"Ada apa? Serius sekali. Kita bicara nanti, setelah makan malam,” ujarnya berusaha memutus percakapan.

"Anak yang aku kandung, apa ... kamu menginginkan dia?" lirih Marissa.

Bian tertegun. Jantungnya berdentum hebat. Pertanyaan macam apa itu? Kenapa istrinya mengatakan hal itu?

"Apa yang kamu bicarakan? Tentu saja, dia anakku. Aku menantikan dia selama ini,” tuturnya berusaha mengendurkan gejolak dalam dada.

"Mas, ada sesuatu—”

Bian bangkit, tanpa sadar menggebrak meja. "Cukup, pembicaraan ini selesai!" potongnya kemudian melangkah pergi.

***

Sudah lama rasanya ia tidak menatap langit malam seperti orang bodoh. Bulan tampak hanya separuh, satu dua bintang mengukir langit. Kelam malam bagaikan dirinya yang kehilangan harapan. Walaupun belum ada ucapan yang terlontar dari Marissa. Namun, semua yang ditakutkan selama ini seakan membenarkan kecurigaannya.

Apa yang terjadi? Marissa tidak mungkin berselingkuh, batin Bian.

Bila dugaannya benar ... ia tidak sanggup untuk menjalani hidup tanpa Marissa.

Bian kembali memejamkan mata, berharap keajaiban yang dikandung Marissa adalah bukti kasih sayang Allah dan cinta suci istrinya. Janin itu wujud nyata setiap doa, persis seperti yang diucapkan Mieke.

"Mas." Tepukan lembut di bahunya membuyarkan lamunan. Marissa meletakkan teh jahe di meja.
"Minum, Mas. Dingin," lirihnya.

Sulit rasanya untuk membayangkan bila hidup tanpa wajah istrinya. Biarlah anak itu diyakini seperti apa yang seharusnya diyakini. Walaupun terluka, tetapi apa yang ditanyakan Mieke tetap dalam satu jawaban. Ia tidak bisa melepaskan Marissa. Tidak mau.

Bian menggenggam erat tangan Marissa serta berbisik, “Aku mencintaimu, juga anak kita.”

Sandaran Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang