Tidak akan ada kebahagiaan di atas penderitaan cinta yang terluka.
Keduanya terdiam. Binar cinta yang memang hanya seperti pelita kecil, perlahan padam.
Berbagai cara dilakukan Samuel untuk menenangkan Erika, tetapi nyatanya tangis Erika makin tidak terbendung. Dua hari yang lalu ia memutuskan untuk mengakhiri biduk rumah tangga mereka.
Kiamat bagi Erika. Di tengah kebahagiaan menanti kelahiran putri pertama, harus dihadapkan dalam persoalan konyol.
Walaupun Erika merengek-rengek hingga bersujud di kaki Samuel.. Hal itu tidak akan mengubah keputusan Samuel. Mereka tetap akan bercerai usai Erika melahirkan.
Samuel menatap tajam Erika, meraih tangannya lalu berteriak, “Oke, baik! Apa yang kamu inginkan?”
Erika menyeka air mata. Balas menghunjam Samuel. Kali ini ia bertanya dalam hati, pernahkah pria itu, sekali saja coba mencintai dirinya.
"Apa yang harus aku katakan pada orangtuaku, Mas? Kamu enggak tahu apa yang aku korbankan demi bisa menikah denganmu! Betapa sulitnya perjuanganku meyakinkan mereka untuk melepaskan putrinya pada seorang duda dua kali bercerai. Seorang pria yang memiliki rentang usia hampir dua puluh tahun lebih tua dari putrinya! Kamu tahu, berat bagi orangtuaku untuk menyerahkan aku padamu!!" cecar Erika.
"Lalu aku harus apa?" bentak Samuel.
Erika diam. Ia tahu dengan pasti. Pria yang ada di hadapannya tidak pernah jatuh cinta, tidak pernah ingin memiliki ia seperti layaknya seorang yang diliputi kegembiraan bertemu dengan belahan jiwa.
“Aku ... minta maaf,” lirih Samuel.
Erika menampik tangan Samuel. "Aku kecewa! Mas, sebentar lagi anak kita lahir, aku enggak mau membesarkan anak ini sendirian. Apa kamu sudah gila? Aku mohon, pikirkan lagi, kita enggak bisa bercerai!" desak Erika.
"Aku akan bertanggung jawab atas anak kita, selamanya dia adalah anakku, tapi aku enggak bisa lagi menjadi suamimu, maafkan aku. Semoga, kamu mengerti, kamu harus melepaskan aku,” Samuel menyeka air mata Erika. Sungguh dalam hatinya berharap ada percikan cinta yang akan meletup, tetapi apa daya, ia tidak sanggup.
"Kenapa? KENAPA!?" jerit Erika.
"Karena aku hanya mencintai Marissa!! Hanya dia saja!" aku Samuel.
Erika mundur beberapa langkah. Pengakuan Samuel seakan terus terdengar berulang-ulang. Kali ini ia melihat binar cinta dan rasa takut kehilangan di mata Samuel. Namun, itu bukanlah untuknya, bukan untuk ia yang berstatus istri sah Samuel.
"Aku memang menceraikan kedua mantan istriku karena Marissa! Iya! Aku enggak bisa melupakan cintaku untuk dia! Aku sudah berusaha, tapi enggak bisa,” lanjutnya lagi.
Tangis Erika terhenti. Bola matanya bergerak-gerak menatap Samuel yang benar-benar yakin dengan ucapannya. Samuel menghela napas. Kali ini, benar-benar mengacaukan semuanya.
"Kamu enggak harus mengerti, apa yang Natalia katakan padamu adalah bohong! Marissa enggak pernah mencampuri urusanku. Erika, mari hentikan. Aku enggak bisa terus bersamamu,” mohon Samuel lagi.
Erika bahkan tidak punya kekuatan untuk menimpali ucapan suaminya. Sungguh, benarkah? Sedalam itu perasaan suaminya untuk wanita lain?
"Awalnya aku mengira, melalu kamu, aku bisa seutuhnya menggantikan Marissa, tapi nyatanya kamu enggak bisa menjadi Marissa. Dia, satu-satunya yang aku cintai," tambahnya.
Erika menahan kakinya yang sudah gemetar. Bicara apa dia? Mengapa?
“Mas,” Erika menatap jauh ke dalam mata Samuel. Sepasang mata yang membuatnya mabuk kepayang.
“Aku enggak bisa membayangkan kamu lagi sebagai dia, kamu berhak mendapatkan pria yang lebih baik,” aku Samuel.
"Apa, Mas? Jadi, selama ini kamu membayangkan aku adalah Mbak Marissa? Saat menyentuhku?" tanya Erika pelan.
Anggukan kepala Samuel membuat Erika lepas kendali, bertubi-tubi memukul dada Samuel sembari menangis tergugu. Kali ini dirinya merasa kotor. Suaminya tidak lebih dari seorang pria berengsek!
"Kamu jahat, Mas! Kamu keterlaluan!!" pekik Erika.
"Pukul aku, pukul sepuasmu!! Salahkan aku! Aku yang salah! Jangan salahkan Marissa! Aku yang salah karena enggak sanggup hidup tanpa dia!!" ungkap Samuel.
Erika jatuh terduduk, mulai menjerit sekencang-kencangnya. Meratapi nasib yang tidak bisa dimungkiri. Samuel tidak pernah mencintai dirinya. Tidak pernah berusaha untuk membuka hati pada wanita selain Marissa.
***
Sinar mentari menerpa wajah sendunya. Sesaat ia meboleh. Ranjang tempatnya bercinta dengan Samuel, kini terlihat menjijikkan. Namun, ia tidak ingin anaknya kehilangan ayah.
Erika memoles lipstik tipis-tipis, sesekali ia masih menyeka air mata seraya terus menyisir rambut panjangnya, kemudian menyematkan jepit hitam di sisi kanan.
Hari ini, ia akan kembali menemui Marissa untuk meminta maaf. Tidak ada gunanya ia menabuh genderang perang dengan Marissa.
Erika bukan wanita bodoh yang mau hidup tanpa balasan cinta dari seorang suami. Namun, Ia tidak mau bayinya lahir tanpa ayah.
Selesai bersolek, ia mencoba bangkit dari kursi, tetapi entah mengapa perutnya terasa lebih kencang. Seketika Erika menunduk, matanya terpaku pada genangan air bercampur bercak darah di kakinya.
Baru kali ini dirinya digigit rasa takut luar biasa. Erika menjerit sekencang-kencangnya, meneriakkan nama Samuel berulang-ulang.
Tergopoh-gopoh Samuel berlari menaiki tangga, wajahnya berubah pucat kala mendapati Erika menahan sakit sembari terus mengusap perut.
***
"Sudah pembukaan dua, Pak," jelas dokter yang memeriksa Erika.
"Tapi kandungannya baru tiga puluh dua minggu,” ucap Samuel.
"Ini bisa saja terjadi pada ibu dengan kondisi kelelahan atau stres. Biasanya, bayi yang dilahirkan pada usia kandungan tiga puluh dua minggu mampu bertahan walaupun tampak lebih kurus. Biasanya sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tapi tetap memiliki risiko tinggi keterlambatan perkembangan belajar juga perilaku kelak,” jelasnya lagi.
"Jadi, saya harus bagaimana, Dok?" tanya Samuel pasrah, sementara hatinya kembali berkecamuk dalam rasa takut luar biasa.
"Untuk sementara Ibu Erika kita observasi dahulu, mudah-mudahan saja masih bisa melahirkan secara normal. Saya khawatir sulit melakukan operasi kalau tekanan darahnya tinggi, ditambah lagi Ibu Erika memiliki riwayat kesehatan yang enggak begitu baik. Ini berisiko tinggi untuk kematian bayi juga ibu, Pak," tambahnya.
Samuel terdiam lalu keluar dari ruang dokter, berjalan pelan menuju kamar perawatan. Ditatapnya sang istri terbaring lemah, terpasang selang infus juga alat bantu pernapasan.
Ia duduk di sampingnya, meraih tangan mungil Erika. Banyak yang ingin diutarakan, tetapi hilang tertelan keegoisan.
Rasa hangat itu menjalar di jemari. Erika membuka matanya. Sulit menjelaskan perasaan yang menghinggapi hatinya. Samuel tampak murung, menunduk seakan menyesali semua perbuatannya. Hati Erika kembali merasa besar.
"Maafkan aku, maaf aku enggak bisa mencintai selain Marissa, maafkan aku," gumam Samuel pelan.
Meleleh air matanya. Pengharapannya kembali pupus. Pria itu bersikeras meminta cinta wanita lain. Harga dirinya sebagai istri hilang. Namun, ia enggan untuk menarik tangan dari genggaman pria yang mungkin tidak bisa lagi ditemui.
Apa harus memilih berpura-pura saja? Diam saja? Menikmati semuanya sementara waktu saja. Ia ingin berjuang, sungguh ingin. Demi anaknya, anak yang dilahirkan dalam keadaan yatim.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandaran Hati (End)
Romance"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu! Mari kita bercerai!" ****** Tahun ini pasangan Marissa dan Bian merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ke-15. Satu saja yang mereka inginkan, yaitu kehadiran si buah hati. Mengungkapkan sebuah rahasia di ten...