Pernikahan adalah awal dari sebuah kisah cinta sebenarnya.
11 Mei 2019
"Kamu mau makan sekarang?"
Pertanyaan Bian—suaminya membuyarkan lamunan. Tidak ada pilihan selain menatap wajah si Tambatan Hati kemudian membalas senyumannya.
Perlahan Marissa menggeleng kemudian mengalihkan pandangan pada indahnya bentangan kain bergelombang warna merah muda yang berpadu hiasan bunga aneka warna, alunan merdu musik juga hiruk-pikuk semua orang. Mereka larut dalam kebahagiaan pesta pernikahan.
Pesta ini jauh berbeda dengan pernikahannya dahulu. Mungkin karena adik iparnya menyetujui jodoh pilihan sang bunda. Salah satu gadis segudang prestasi cemerlang ditambah paras cantik jelita, serta galur keturunan tanpa cela. Boleh dikatakan akan menambah rentetan kebahagiaan sekaligus sempurnanya silsilah keluarga Soejarmoko.
Wajar rasanya bila pesta ini diselenggarakan sangat meriah, berkelas, penuh kehadiran orang penting seantero negeri.
Kenyataan ini menampar hati Marissa. Ada satu ketakutan yang seharusnya tidak tumbuh dalam hatinya.
Jalinan hangat tangan Bian di jemari membuatnya bisa melepaskan napas.
“Ada apa? Kamu mau makan sekarang?” tanya Bian.
Lagi-lagi Marissa menggeleng. Ditatapnya lekat-lekat wajah suaminya.
Dia, Rakabian Soejamoko. Sang penerus takhta Soejamoko Grup. Putra sulung pasangan Asmarini dengan Yusuf Soejamoko.
Rakabian yang dengan berani memutuskan menikahi gadis yang tidak memiliki nama belakang keluarga yang dianggap mumpuni. Pilihannya jatuh pada seorang gadis yang jauh lebih tua lima tahun darinya.
Rakabian menabrak semua aturan. Mengenyahkan stereotip mengenai cinta untuk kesetaraan derajat dan lainnya. Berteriak lantang bahwa ia mencintai gadis itu kemudian menikah di usianya yang baru saja menginjak seperempat abad.
"Ada apa?" tanyanya lagi.
Tangan hangat Bian menyentuh lembut pipi istrinya. Dialah, Marissa Aprilia Yuswandari, satu-satunya nama yang terpatri di lubuk terdalam hati.
"Enggak apa-apa, Mas. Hanya ikut berbahagia saja melihat Aris," jawab Marissa dengan harapan agar Bian berhenti menanyakan hal yang sulit dijelaskan. Sekali lagi Marissa meneguk sirop hambar hanya untuk sekadar membasahi bibir.
"Ada yang kamu khawatirkan?" tanya Bian lagi agak sedikit mendesak Marissa.
Kali ini pertanyaan suaminya kembali mengusik ketenangan hati. Memang sulit untuk menyembunyikan satu kegelisahan.
Marissa menunduk, coba untuk menahan getir juga berbagai alasan lain. Dari awal pertemuan dengan Bian, memutuskan untuk menikah hingga detik ini, ada saja yang membuatnya terus dibayangi rasa takut sekaligus cemas berlebihan.
Kali ini Bian merangkul pundak Marissa dengan paksa kemudiam mengeluarkan ponsel keluaran teranyar. "Senyum!" paksanya.
"Aku malas!" tolak Marissa sembari memalingkan wajah.
Kecupan kecil di pipi Marissa membuatnya tersipu. Kali ini ia memandang wajah suaminya lantas setuju untuk berswafoto serta turut mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap iri keromantisan mereka.
"Aduh, udah kaya pengantin baru aja, nih,” goda salah satu kerabat Bian yang tiba-tiba duduk di samping Marissa, beliau meletakkan sepiring penuh kue manis. "Dari Mbakyu Rini, katanya lihat kamu dari tadi diam saja,” tambahnya lagi sembari membetulkan jepit bertatahkan berlian yang terselip manis di antara lekuk sanggul rambutnya.
Ibu mertuanya, yaitu Asmarini Hendarto memang begitu perhatian serta menyayangi Marissa layaknya seorang putri yang terlahir dari rahimnya sendiri.
Pernikahan putranya dengan Marissa yang ditentang oleh sebagian besar keluarga tidak menghalangi Asmarini untuk merangkul Marissa. Ia begitu memahami akan sifat welas asih juga bijaksana yang diturunkan oleh almarhum suaminya pada sang putra sulung. Sepeninggal Yusuf Soejarmoko—suaminya, tanpa ragu ia juga menunjuk Rakabian menjadi pemimpin baik dalam keluarga maupun kerajaan bisnis Seojarmoko Grup.
Bian menepuk pelan pundak Marissa. “Sebentar, ya? Mas ke sana dulu,” pamitnya kemudian bergabung dengan kedua mempelai untuk menyambut para undangan yang hadir.
Marissa merasa menjadi wanita yang paling beruntung ketika mendengar bisikan para tamu undangan yang memuji ketampanan sekaligus kewibawaan suaminya.
Rakabian Soejarmoko, ah, pria itu memang tampan. Memiliki garis wajah tegas dengan tulang hidungnya yang tinggi, serta tatapan matanya bisa meneduhkan hati para gadis.
"Bian, tahun ini sudah kepala empat, masih saja kelihatan seperti kepala dua, ya?"
Marissa kembali melayangkan pandang pada kerabat suaminya yang ternyata masih duduk manis sambil sibuk bersolek di balik cermin kecil.
"Kata orang, sih, kalau belum punya anak, ya begitu. Masih saja kelihatan awet muda, kamu juga awet muda, loh, Marissa," pujinya sembari menatap Marissa lekat-lekat.
Dalam hati, Marissa meminta dirinya sendiri untuk tidak mendengarkan ocehan Narti. Ia mencoba alihkan pandangan pada kue manis yang tersaji di piring.
"Kata orang, kalau menikahi wanita yang lebih tua, biasanya si suami yang akan kelihatan lebih tua, kalian jadi seumuran gitu keliatannya. Ya mitos yang kadang ternyata fakta!" tambahnya lagi.
Marissa kembali meletakkan sendok kecil berisi potongan kue. Sedikit menarik napas, serta mempersiapkan diri mendengar lanjutan pembicaraan ini. Ia menatap ragu wanita berusia lebih dari setengah abad yang memang memiliki kemampuan mencibir dengan sangat sempurna. Namun, tidak baik bila Marissa mengusirnya.
"Kamu, enggak niat buat ambil program kehamilan atau apa gitu?" Baik, kali ini ucapannya membuat Marissa sepenuhnya kehilangan selera. "Seharusnya, kamu berhenti kerja, fokus saja di rumah, siapa tahu bisa hamil, gitu," tambahnya.
Jantung Marissa seakan berhenti sesaat serta darah seakan menghilang dari wajahnya. Tanpa sadar ia menggigit pelan bibir sekaligus mengumpat dalam hati.
“Apa, sih yang kalian cari? Kok kayaknya ngoyo banget cari uang!” Dalam sekejap Marissa berdiri."Eh, mau ke mana?" tanyanya lagi.
"Toilet!" jawab Marissa sembari menyambar tasnya.
Rasanya sudah kenyang betul dengan semua komentar orang-orang. Mereka selalu mencoba ikut campur dalam urusan yang sebetulnya tidak perlu dicampuri.
Jodoh, rezeki, maut, itu adalah ketetapan Tuhan. Diberikan sesuai porsi yang tidak akan pernah tertukar.
Marissa mematut diri di depan cermin, merapikan kerutan pada gaun merah muda lembut berleher rendah serta merapikan sedikit tatanan rambutnya.
Tubuhnya mungil, berpinggang ramping. Rambutnya yang ikal kemerahan dibiarkan tetap terurai sesuai permintaan Bian. Hanya ada jepit kecil bermutiara terselip di antara surai indah itu.
Marissa kembali sedikit menebalkan perona bibirnya kemudian kembali menatap bayang diri dalam cermin. Tidak tampak kalau ia adalah wanita berusia hampir empat puluh lima tahun. Parasnya menarik, kebugarannya terjaga.
Sekali lagi ia menepuk-nepuk pipi, berdeham pelan kemudian melengkungkan senyuman terbaik guna melenyapkan semua tudingan yang baru saja didengar seraya bergegas meninggalkan toilet.
Sepasang bola mata yang tampak kesal menghunjamnya dengan cepat.
“Semua ucapan Bibi Narti enggak perlu kamu tanggapi serius," ujar Bian yang menangkap kegelisahan istrinya.
“Mas, aku—“
Bian menjawil ujung hidung Marissa. "Kamu menggemaskan sekali! Ayo, kita kembali ke pesta," ajaknya kemudian meraih tangan Marissa tanpa mau mendengar keluhan istrinya lagi.
Marissa terpaksa setuju walaupun, hatinya mengajak untuk pergi saja dari sini karena nanti akan ada kerabat lain yang menanyakan perihal keturunan padanya atau Rakabian, itu sangat menyakitkan.
Tatapan Marissa tiba-tiba membeku kala melihat pasangan yang baru saja berbelok menuju toilet. Jantungnya ikut berdentum lebih cepat, bahkan ia menyeka bulir peluh yang tiba-tiba muncul.
"Wah, Mas Samuel, apa kabar?" tanya Rakabian sembari menyambut uluran tangan seorang pria yang sudah berdiri di hadapan mereka.
Marissa balas menjabat tangan Samuel guna meredam semua yang pernah terjadi seolah tidak pernah ada duri. Setuju untuk mengubur semua. Munafik!
"Aku kira kalian sudah pulang,” tutur Samuel, matanya sesekali mencuri pandang guna menikmati kemolekan tubuh Marissa.
"Ah, kita menunggu sampai pesta selesai, Ibu bisa ngamuk kalau kami pulang sebelum acara selesai," ungkap Bian sembari tertawa kecil. "Erika, apa kabar?" tanyanya lagi pada sosok wanita cantik berusia dua puluhan dengan perut membuncit yang menggelayuti mesra lengan Samuel.
"Baik, akhirnya bisa ketemu Mbak Marissa di sini, apa kabar?" tanya Erika sedangkan uluran tangannya disambut hambar oleh Marissa.
"Baik, maaf, waktu itu aku enggak bisa datang ke pesta pernikahan kalian," jawab Marissa sekenanya.
"Iyalah, kamu pasti sudah bosan datang ke pesta pernikahan aku, ‘kan?" tebak Samuel mengingat bahwa pernikahannya dengan Erika adalah pernikahan yang ketiga baginya.
Bian tertawa sembari menepuk keras pundak Samuel sedangkan Marissa memilih diam seribu bahasa.
"Sudah, ya, kita ketemu lagi di dalam, ayo, Sayang,” ajak Bian.
Marissa merangkul lengan suaminya kemudian segera melangkah pergi walaupun sesekali tetap menengok ke belakang guna menatap punggung pria yang tanpa sengaja diinginkan beberapa bulan lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandaran Hati (End)
Romance"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu! Mari kita bercerai!" ****** Tahun ini pasangan Marissa dan Bian merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ke-15. Satu saja yang mereka inginkan, yaitu kehadiran si buah hati. Mengungkapkan sebuah rahasia di ten...