Bab 16 -Takut-

1.6K 137 0
                                    

Ada masa di mana seseorang berhasrat melangkah maju, tetapi enggan meninggalkan masa lalu.



Sudah hampir lima menit Erika memohon pada petugas keamanan gedung untuk diizinkan masuk. Namun, ia mengerti perlakuan 'wajar' yang diterima. Kejadian waktu itu akhirnya mempersulit dirinya untuk menemui Marissa.

Bukan tanpa alasan bersikap nekat seperti ini (lagi). Ia sudah putus asa, upaya lain juga sudah dilakukan. Ia sudah berusaha membujuk Nastiti untuk memberikan nomor telepon Marissa. Wajar juga bila Nastiti menolak. Padahal, sungguh kali ini Erika hanya ingin meminta saran saja (mungkin).

"Pak, saya sungguh cuma sebentar saja. Kalau enggak, saya boleh telepon beliau saja, sebentar saja, Pak," bujuk Erika.

"Maaf, Bu. Kita cuma diberikan mandat seperti itu, mohon pengertiannya," tutur seorang pemuda berbadan tegap yang tampak gagah dengan seragam hitam.

Erika terdiam sejenak sampai tiba-tiba terkejut karena wajah pemuda berubah tegang lalu sedikit membungkuk sebagai tanda memberi hormat.

"Mas Bian?" lirih Erika.

Bian tidak mampu sembunyikan rasa terkejutnya. Senyum tipis terpaksa diberikan untuk wanita itu.


"Ada apa?" tanyanya datar.

"Mas, tolong izinkan aku masuk untuk menemui Mbak Marissa," mohon Erika.

Mata Bian membulat, tanpa pikir panjang ia segera mengusap layar ponselnya untuk menghubungi seseorang. "Halo, Sayang. Ya, aku sudah di kantor. Bisa turun sebentar ke lobi? Ada Erika di sini. Iya, cepatlah,"

Erika tersenyum puas seraya bersyukur dalam hati.

***

"Abhy sama siapa?" tanya Marissa sembari mengaduk jus jeruk di hadapannya.

"Neneknya, maaf, Mbak aku ganggu," lirih Erika.

"Enggak, kok. Kamu sudah makan? Mau pesan sesuatu?" tawar Marissa.

Bian mengamati mereka berdua yang sedari tadi berbincang. Kali ini, ia akan menuntaskan urusan istrinya dengan Erika.

"Apa kalian bisa berhenti berbasa-basi enggak jelas? Katakan saja, anggap aku enggak ada di sini," sindir Bian sembari menatap layar ponselnya.

Marissa tersenyum kikuk kemudian menatap sinis suaminya yang hanya mampu membalas dengan tatapan tak peduli.

Sekali lagi Erika menahan diri, berpikir perlakuan ini wajar saja. "Mbak, seperti yang aku katakan di rumah sakit. Aku mau Mas Samuel kembali pulang," lirihnya.

Bian berdeham, suasana semakin kikuk. Perkataan yang ingin diucapkan kembali ditelan Marissa. Percakapan ini akan alot. Bian sungguh tidak mau melepaskan istrinya.

"Mbak, aku takut kehilangan dia. Apa yang akan aku katakan pada orangtuaku, Mbak?" tambahnya.

"Hidupmu enggak akan pernah bahagia bila terus memikirkan perasaan orang lain, termasuk orang tua," lanjut Bian.

"Mas, berikan kami ruang untuk berbicara!" pinta Marissa.

"Silakan, anggap saja aku enggak ada," timpal Bian.

"Mas!" protes Marissa lagi.

"Apa? Toh, nanti juga kamu bakal cerita sama aku, 'kan?" debat Bian.

"Enggak apa-apa, Mbak, aku mengerti perasaan Mas Bian, kok," ujar Erika.

"Kalau kamu mengerti, seharusnya kamu enggak akan pernah muncul lagi di kehidupan kami," sindir Bian, "Kamu tahu kejadian di rumah sakit, 'kan? Samuel memintaku meninggalkan istriku! Apa kamu bisa menghargai perasaanku? Dia sudah gila! Untuk apa kamu mengharapkan dia lagi?" tambah Bian.

Erika menunduk pilu, sungguh merasa sangat hina. Namun, tekadnya telah bulat. Ia tidak mau kehilangan Samuel. Ia merasa suaminya hanya sedang tersesat. Erika yakin bisa membantu dia pulang. Asalkan, Marissa mau ikut membujuk Samuel.

"Erika, aku enggak bisa banyak membantu. Samuel memang keras kepala, tetapi bukan seseorang yang keras hati, perlahan saja," tutur Marissa.


Bian menegakkan kepala, tetapi kalimat yang ingin ia lontarkan hilang karena tatapan sinis Marissa.

"Mbak, aku sudah dapat surat panggilan dari pengadilan agama." Tangisan Erika pecah seketika. "Tolong, bantu aku, Mbak," lirihnya.

"Erika, aku enggak bisa bantu apa-apa,"

"Tapi, Mbak belum coba, aku mohon,"

"Erika," Marissa menggenggam erat tangan Erika. Sementara matanya menatap Bian dengan sedih, berharap suaminya memberi izin untuk sekali saja bertemu secara pribadi dengan Samuel.

Bian menaruh kunci mobil di meja. "Sayang, kamu tunggu aku di mobil, cepatlah pergi, sepertinya sebentar lagi hujan," perintah Bian.

"Mas!" protes Marissa.

Bian mengencangkan rahang, binar matanya menyiratkan emosi tertahan. Marissa sadar, tidak mungkin membantah perintahnya kemudian memilih pergi.

Tangisan Erika tidak juga mereda. Sebenarnya Bian tentu merasa iba. Namun, ia tidak mau meloloskan permintaan Erika. Meminta Marissa membujuk Samuel? Itu gila!

"Statusmu sekarang bukan hanya istri saja," tutur Bian. Erika sedikit mengangkat kepala. "Ada hubungan yang enggak pernah bisa putus walaupun tali pernikahan sudah enggak mengikat. Sekalipun Marissa tidak bersamaku, dia enggak akan pernah kembali pada Samuel," lanjutnya.

"Aku yakin sama Mbak Marissa-"

"Urusan hati enggak pernah bisa kita kendalikan, tetapi menjaga tetap waras adalah penting. Tidakkah lebih baik menata diri untuk menerima hati lain yang menginginkanmu sedalam kamu mencintai Samuel?" Bian menatap Erika dengan serius, tentu saja ia benci pada wanita yang tidak bisa mengasihani dirinya sendiri. "Kamu takut pada prasangka yang kamu ciptakan sendiri, kalau kamu enggak kuat, bagaimana bisa menguatkan anakmu sendiri nantinya?" sindir Bian.

"Mas Bian, aku sangat mencintai Samuel," lirih Erika.

"Kamu enggak bisa memaksakan seseorang untuk balas mencintaimu," seru Bian, "aku enggak bisa meninggalkan Marissa terlalu lama. Kamu wanita yang cerdas, enggak mungkin membiarkan harga dirimu terbuang begitu saja. Jangan paksa istriku untuk menghancurkan rumah tangganya sendiri," lanjut Bian.

Bian melangkah pergi walau sesekali kembali untuk Erika terakhir kalinya.

Hari itu berlalu dengan menggores keduanya. Marissa merasa bersalah, Bian yang takut kehilangan. Keduanya saling terdiam karena memang tidak mampu berucap demi menjaga perasaan masing-masing.

Bian mulai menjalankan rencananya lebih cepat dari semula. Memutuskan hal besar yang mungkin membuat Marissa kesal.

Ia akan meminta Marissa untuk berhenti bekerja. Walaupun terkesan mengurung wanita itu. Semua akan tetap ia lakukan. Egois? Ya.

Marissa tertegun menatap rintik hujan dari balik jendela mobil. Wajah Abhy juga Erika terus menghantuinya.

Samuel sudah gila. Rela melepaskan istri juga anak hanya untuk sesuatu yang enggak ada, batin Marissa.

Dulu hubungan mereka kandas karena Samuel yang meninggalkannya di tengah kerumunan pesta pernikahan. Tidak mungkin, tiba-tiba Samuel mengatakan bahwa dia masih mencintai Marissa.

"Sayang, coba liat di jok belakang, ada payung?" pinta Bian.

"Kenapa, Mas?"

"Kamu ngelamun? Mikirin apa? Erika?" tebak Bian.

"Enggak, kok," kilahnya.

"Itu, di belakang ada payung enggak?" tanyanya lagi.

Marissa sedikit memutar tubuh. "Ada," jawabnya.


Bian mengangguk-angguk, memutar sedikit kemudi mobil menuju jalan TB Simatupang.

"Aku sudah ubah jadwal pemotretan maternity kamu," ujar Bian.

Mata Marissa mendelik tidak percaya dengan ucapan Bian yang menanggapinya dengan tawa kecil menyebalkan.

"Katanya jadwal pemotretan bisa lusa atau tiga hari lagi. Tenang saja, hari ini hanya membahas konsep juga dekorasi," ungkapnya, "aku juga sudah hubungi jasa dekorasi kamar bayi kita, pokoknya sebelum acara tujuh bulanan semua perlengkapan bayi sudah ada. Aku juga pesan warna berikut ornamen netral karena belum tahu jenis kelamin anak kita," tambahnya.

"Mas! Ih, kok kamu gitu, sih?" protes Marissa.


"Pokoknya setelah acara tujuh bulanan, kegiatan kamu cuma ngantor sebentar sama senam hamil," tegas Bian, "bila perlu, kamu mulai cuti saja. Aku akan mengurus semuanya!"

"Ih, Mas!" tolak Marissa.

Bian tersenyum kecut, berhenti berdebat dengan istrinya yang sudah memberengut kesal.


Mereka tiba di sebuah studio pemotretan kemudian memilah beberapa foto interior. Dari semua interior paling indah, hanya raut wajah bahagia Marissa yang mampu membuat Bian tersenyum lega serta berjanji menjaga senyuman itu.

"Jadi pilih yang ini saja ya, Bu?" tanya salah satu staf studio seraya tersenyum ramah.

"Iya, saya mau konsepnya sederhana dan terasa hangat," jawab Marissa.

Bian tersenyum lega, di saat hampir semua istri koleganya berkeinginan memiliki hal glamor, tetapi betapa beruntungnya memiliki istri yang pandai bersyukur juga cerdas memprioritaskan banyak hal.

"Mbak, kalau toilet di mana, ya? tanya Marissa.

"Oh, lurus saja, nanti di ujung baru belok kiri," jawabnya.

"Mas, sebentar, ya?" ujar Marissa sembari berlalu.

"Baik, Pak, jadwal pemotretan besok lusa jam sepuluh pagi. Nanti rekan saya yang membantu. Jadi, nama ibu Marissa Aprilia Yuswandari dan ayah Rakabian Soejarmoko, ya, Pak?"

Bian terdiam. Hatinya seakan berat membenarkan pernyataan wanita itu. Bagaimana kalau bayi itu bukan anaknya?

"Pak?" ulangnya lagi.

"Iya, ayah bayi itu Rakabian Soejarmoko!" ujar Bian pelan.

"Baik, Rakabian Soejarmoko," ejanya, "sampai ketemu lagi lusa, ya, Pak Raka," lanjutnya sembari tersenyum.

Bian kembali diam, segaris tipis terukir di bibirnya. Apa jadinya kalau ternyata ayah dari bayi itu bukanlah Rakabian Soejarmoko melainkan Samuel Aditya Herman.

***

Sesi pemotretan telah selesai dilakukan. Bian merasa bahwa semuanya menertawakan ketidakberdayaannya. Sepanjang pemotretan, ia hanya mampu mengguratkan senyum tipis. Ada sesuatu yang terus menghantam jantungnya.

Setiap sorot lampu kamera bukan hanya menertawakan dirinya, keringat dingin ikut menghujani tubuhnya, rasa takut dan gugup benar-benar menyergap raga. Napas sesak, hati muak, perut yang terasa diremas-remas seakan tidak bisa ia tipu.

Sayangnya, reaksi dan ekspresi Bian tidak ditanggapi Marissa sebagai ancaman yang berarti. Menurutnya, Bian terlalu bahagia hingga gugup seperti itu.

Padahal, senyuman semringah, tawa bahagia hingga binar bahagia Marissa seakan memperolok harga diri Bian.

Bian terus bergumam dalam hati. Mengucapkan mantra ia mencintai Marissa. Betapa hanya Marissa seorang yang ada dalam hati juga jiwa. Ia tidak mau kehilangan. Ia mencintai wanita itu. Ia mempercayai istrinya.

Bayi itu miliknya.


Sandaran Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang