Wahai kamu Sandaran Hati, pernahkah mendengar rintihan hatiku?
Malam itu, hari terakhir setelah tahlilan di keluarga Soejarmoko. Bian memutuskan untuk kembali ke rumahnya.
Rasa sepi menohok setiap langkah. Entah mengapa, tangannya ikut gemetar saat membuka pintu depan.
Ia berjalan menuju lantai dua. Menatap sebuah pintu dari ruangan yang tertutup selama bertahun-tahun. Bian membuka pintu itu, menangkap dengan cepat rangkaian peristiwa yang terjadi di kamar itu kemudian berjalan mendekati ranjang bayi lalu menyingkap kain putih berlapis debu, memandangi bantal juga guling mungil.
Hatinya kembali menangis. Ia mengeluarkan selembar potret dari saku celana. Menatap wajah tanpa dosa seorang bayi yang memisahkannya dengan Marissa, atau kenyataannya adalah mereka berpisah karena dirinya sendiri.
Sekuat tenaga Bian menelan tangis kemudian berlari masuk ke kamarnya. Menghempaskan tubuhnya ke sofa, memijat kening dan semua teringat kembali.
Masa keduanya masih menikmati indahnya sebagai pasangan suami-istri yang menanti kelahiran buah hati pertama.
Malam itu, Marissa duduk menyandar di sofa yang sama. Bian duduk di sampingnya, mengelus perut Marissa. Bermain-main dengan janin yang juga merasa gembira.
"Namanya Andika Fattar Soejarmoko atau Agnita Putri Soejarmoko, bagaimana?" usul Bian sembari menciumi perut Marissa.
"Hmm ... suka, apa artinya, Mas?" tanya Marissa sembali mengelus perutnya.
"Awal kebahagiaan," jawab Bian mantap.
"Amin, semoga anak ini menjadi kebahagiaan untuk semua yang dia cintai juga mencintai dia," harap Marissa.
Bian mengenyahkan semua kenangan itu. Napasnya ikut menderu, bibirnya gemetar. Ia sudah menyanggupi. Sudah siap, menerima hukuman itu.
***
Rindu yang ia coba untuk tutupi tidak pernah sanggup untuk dienyahkan. Dirinya masih ingat dengan baik setiap kenangan indah. Ditatapnya potret dirinya dan Marissa yang tidak sanggup untuk diturunkan. Tetap menghiasi dinding rumah itu selama hampir sembilan tahun setelah mereka berpisah.
Bian meneruskan langkahnya kemudian duduk sendirian di meja makan, menyantap roti selai dan kopi hitam. Terkadang tanpa disadari ia bisa melihat bayang Marissa di setiap penjuru rumah. Melakukan aktivitas sederhana; memasak, membersihkan ruangan, bahkan masih ingat saat dia menggelung rambut ikalnya. Bian tidak bisa berbohong, begitu dalam rasa rindunya pada sosok itu.
Sudah hampir satu tahun berlalu sejak wafatnya Asmarini. Awan kelabu tidak mau pergi dari hidup Bian. Tidak ada lagi pelangi atau senyuman menerangi hati Bian. Gelap gulita dan Bian bergelung di dalamnya.
Ia berangkat kerja lebih pagi dan pulang larut malam. Bahkan sesekali menginap di rumah Ariestya untuk bermain dengan keponakannya.
Hari-hari terasa membosankan tanpa senyum Marissa. Ia kehilangan semangat hidup. Tidak lagi mempunyai mimpi atau semacamnya. Padahal, bila ia mau, ia tetap memiliki kesempatan untuk merengkuh dia yang setia menunggu.
"Baiklah, terima kasih untuk hari ini. Silakan lanjutkan kegiatan kalian, selamat pagi," ujar Bian sembari tersenyum menutup pertemuan hari ini.
Semuanya mengikuti perintah Bian, tetapi Tya mendekatinya lalu berbisik, "Pak, katanya di depan ada Pak Samuel,"
Bian memutar bola matanya, menatap tak percaya dengan ucapan Tya. Jantungnya berdentum-dentum. Berkali-kali ia coba menarik napas, berharap bisa menatap Samuel lagi.
"Biarkan dia masuk," ucapnya pelan.
Bian kembali menatap jalanan Jakarta dari ruangannya. Sudah sekian lama ia tidak bertemu dengan pria itu. Pertanyaan demi pertanyaan menghampiri benaknya. Akankah Samuel menyombongkan diri serta berkata kalau anak itu adalah anaknya.
"Selamat pagi," sapanya.
Bian memutar tubuh. Hatinya kembali remuk redam menatap mata itu.
"Silakan duduk." Samuel mengangguk lalu menghela napas panjang. "Ada apa? Aku harap pembicaraan ini enggak bertele-tele,” tutur Bian menatap dia yang terlihat lelah dengan rambut yang mulai memutih.
"Baiklah, di mana Marissa?" tanya Samuel.
Satu beban di pundaknya menghilang. Marissa belum kembali pada pria itu.
Bian tertawa. "Sudah sembilan tahun. Apa kamu masih belum menemukan dia?" sindir Bian.
"Katakan saja! Di mana dia?" desak Samuel.
"Aku enggak tahu!" jawab Bian.
"Kamu menyembunyikan dia? Aku tahu kamu enggak bisa hidup tanpa dia! Marissa mengatakan kalau dia tetap akan melakukan tes DNA menggunakan rambutmu! Dia berjanji akan mengizinkan aku bertemu dengan anak itu bila hasil tesnya mengatakan itu anakku! Aku sudah menunggu, tapi sampai detik ini, anak itu juga Marissa enggak pernah muncul di hadapanku!!" ungkap Samuel menahan emosi.
Jantung Bian seakan berhenti berdetak. Ia menggigit pelan bibirnya. Apa ucapan Samuel benar? Bila itu benar anaknya, mengapa Marissa tidak pernah datang?
“Apa yang dia katakan sebelum pergi? Katakan padaku! Seenggaknya aku harus tahu dia baik-baik saja!" tambah Samuel.
"Pergilah! Aku enggak tahu apa pun!"
"Pernahkah kamu menyesali semuanya? Sebab pada akhirnya di antara kita enggak ada yang mendapatkan Marissa!" tutur Samuel.
"Aku enggak perlu menjawabnya! Pergilah!" usir Bian.
"Baik! Aku akan mencari dia! Aku enggak akan melepaskan dia lagi! Aku pergi!" pamit Samuel.
Bian menunduk, pikirannya kembali kacau. Apa alasan Marissa melakukan itu? Siapa ayah dari anak itu?
Setelah Samuel keluar dari ruangan Bian, Tya dengan ragu mendekati Bian yang menunduk. Merasa cemas karena tangan atasannya terkepal menahan emosi.
“Pak, maaf, Bapak Arisetya dan Ibu Lusi sudah menunggu di lobi untuk agenda peresmian gedung,” tutur Tya.
"Iya, aku akan segera turun, duluan saja!”
Tya mengangguk setuju, kemudian pergi tanpa dipinta lagi.
Hal yang sudah dicoba lupakan dalam waktu sembilan tahun seakan terasa sia-sia. Luka dalam hatinya tidak pernah diobati. Bian hanya menutupnya dengan kain ego juga takut.
***
"Mbak, tolong, sebentar saja, izinkan saya ketemu sama Bapak Rakabian Soejarmoko,” mohonnya.
"Kalau belum ada janji, enggak bisa, Mbak. Apalagi ini pertemuan bersifat pribadi, saya enggak bisa meneruskan info ini ke yang bersangkutan,” tolak resepsionis itu.
"Ini mendesak, sebentar saja, kalau enggak, apa Bapak Arisetya Soejarmoko ada? Tolong, seenggaknya izinkan saya bertemu beliau,” pintanya putus asa.
"Enggak bisa, Mbak, Maaf," tolaknya.
"Ya, jadi memang harus seperti itu," ujar Arisetya pada Lusi yang berjalan di sebelahnya.
"Paklik!!" teriak seorang anak laki-laki yang digenggam erat tangannya oleh gadis itu.
"Fat–Fattar?" panggil Arisetya terbata.
Anak lelaki itu melepaskan genggaman tangan si Gadis kemudian berlari riang memeluk Arisetya yang tiba-tiba merasa sulit untuk bernapas.
"Fattar? Tamara? Kalian ... ada apa?" tanya Arisetya tak percaya.
Lusi mengamati lebih saksama anak lelaki itu. Berwajah oval, matanya tegas walau sedikit menyipit, hidung bangir, warna kulit kecokelatan. Ia menutup mulutnya erat-erat. Air mata tidak bisa dicegah untuk menetes sementara jantungnya berdentum hebat.
"Aku mau ketemu sama Bapak Rakabian, tapi dia bilang enggak boleh!" tegas Tamara sembari menunjuk resepsionis.
"Ta–tapi buat apa? Di mana Mbak Marissa? Apa dia tahu kalian ada di sini?" tanya Arisetya lagi.
Mata Tamara menatap ke arah lain, berusaha mencari alasan yang tepat. "Iyalah, sudah tahu! Aku disuruh Mbak Rissa buat kasih surat hasil tes DNA ini sama Bapak Rakabian," tegas Tamara.
"Enggak! Pasti ada yang salah! Mbak Rissa udah janji sama almarhumah ibu buat kasih tahu hasilnya sendiri! Kalau waktunya sudah tiba, Mbak Rissa sendiri yang akan kasih surat itu sama Mas Bian! Bukan orang lain!!" debat Arisetya.
Tamara terdiam, berharap ada sanggahan yang bisa terucap.
"Kamu ngaco!!" sentak Aris.
"Ya udah, nih, Paklik aja yang kasih sendiri ke Pak Bian," seloroh Tamara sembari memberikan surat itu secara paksa ke tangan Arisetya.
"Ih! Apaan, nih! Kok jadi aku? Enggak mau!" tolak Arisetya sembari memberikan kembali surat itu pada Tamara.
Tya memicingkan matanya, menatap beberapa orang yang memperhatikan Arisetya yang sedang berdebat dengan seseorang kemudian melangkah mendekati mereka.
"Ty-Ty-Tya?! Mas Bian mana?" tanya Arisetya panik.
"Katanya nyusul, suruh tunggu di parkiran saja, mungkin masih menunggu antrean di lift, penuh banget soalnya, ada apa?" tanya Tya lagi.
"Duh, gawat!" Arisetya merebut kembali surat itu. "Iya, aku yang kasih, aku janji, sekarang, pulang! Cepat pulang!" usir Arisetya sembari terus menatap ke arah lift.
Tamara menggandeng tangan Fattar keluar dari gedung itu merasa lega karena tidak harus bertemu dengan pria yang kejam seperti Rakabian Soejarmoko! Ia memang tidak tahu apa isi dari surat itu dan sebenarnya takut kalau pria itu akan membunuhnya bila ternyata surat itu mengatakan Fattar bukanlah anaknya.
"Mbak, kita enggak jadi ketemu ayah?" tanya Fattar kecewa.
"Nanti, ya? Kita ke rumah Bulik Nastiti saja, oke?" Fattar mengangguk setuju, senyumnya kembali mengembang di wajah tampannya.
Mereka berjalan pergi, sejenak menunggu taksi melintas, tetapi seseorang menghampiri mereka. Tiba-tiba setengah berjongkok menatap sendu Fattar.
Tamara dengan cekatan menarik Fattar untuk bersembunyi di balik tubuhnya.
Samuel bangkit menatap Tamara. "Di mana Marissa? Aku bukan orang jahat, bisa kita bicara sebentar saja?" lirihnya.
***
Samuel tidak bisa mengalihkan pandangan pada Fattar yang sibuk menyantap es krim. Ia benar-benar bisa melihat Marissa dalam diri anak lelaki itu.
"Bagaimana kabar Marissa?" tanya Samuel pada Tamara.
"Baik! Fattar, kamu sudah makannya? Ayo, pulang," ajak Tamara setengah memaksa.
"Tunggu, bisakah kalian lebih lama lagi di sini?" pintanya.
"Maaf, Pak, aku buru-buru! Ayo, Fattar, nanti Mbak belikan es krim yang baru, ayo!!" Tamara menarik tangan Fattar pergi dari sana.
Perut Samuel terasa seperti diremas. Kepalanya berdenyut hebat. Harapan yang selama ini digenggam hancur seiring berlalunya punggung itu. Rasa sakit menaungi hati juga raga. Tidak akan menghilang sampai ajal menjemput.
***
"Udah, jangan nangis terus!" marah Arisetya sambil melirik Lusi. "Aku jadi ikutan sedih, ‘kan? Kalau tahu kamu bakalan nangis terus kaya gini, mending tadi kamu ikut naik mobil, Mas Bian, aja!" protes Arisetya."Maaf, Pak," jawabnya sembari sesenggukan, "tapi, anak lelaki itu, dia anak Ibu Marissa, ‘kan?" tebak Lusi.
"Iya."
Tangis Lusi meledak. Arisetya berusaha keras untuk tidak ikut menangis bersamanya.
"Lalu ayahnya, Pak Bian, ‘kan?"
Arisetya menarik napasnya. "Enggak ada yang tahu. Almarhumah Ibu melarang kami untuk mendesak Mbak Rissa. Setelah mereka bercerai, untungnya Mbak Rissa masih mau menjaga komunikasi dengan kami, walaupun harus dirahasiakan dari Mas Bian,” lirih Arisetya.
"Ya Allah, Ibu Marissa, aku sangat rindu,” gumam Lusi tergugu.
Arisetya membuka kompartemen dasbor mobil, mengambil surat itu lalu menaruh dengan paksa di tangan Lusi. "Ini perintah dari wakil presiden direktur! Arisetya Soejarmoko!" titahnya.
Lusi diam. Tangannya gemetar menatap amplop itu. Ia tidak mungkin mengatakan secara gamblang bila surat itu dari Marissa. Namun, bisakah pada akhirnya mereka kembali bersama lagi?
Mobil Arisetya melaju di jalanan protokol Jakarta, hari ini sudah dijadwalkan untuk menghadiri peresmian salah satu apartemen di kawasan Bogor.
Setibanya di sana, Bian terlihat kerepotan memegang beberapa brosur, buku agenda juga ponselnya. Lusi sedikit melirik. Sedari tadi ia juga tidak melihat Tya berada di sekitar Bian. Mungkin sedang diperintah sesuatu oleh Bian.
"Pak, saya bantu bawakan bukunya, ya?" tawar Lusi.
"Oh, iya, boleh," jawab Bian sembari menyerahkan buku itu pada Lusi.
Dengan sigap Lusi mengeluarkan surat itu dari lipatan bukunya, memindahkan dengan cepat di antara selipan dalam agenda milik Bian. Hatinya berdebar kencang. Benar-benar ketakutan.
***
Secercah pelita muncul di rumah kediaman Soejarmoko yang ditinggali Arisetya serta Nastiti. Arisetya sengaja pulang lebih awal untuk menyambut kedatangan Fattar yang diyakini sebagai keponakannya.
"Jadi, kamu ke sini beneran disuruh sama Mbak Rissa? Soalnya beberapa bulan ini Mbak Rissa susah sekali dihubungi, aku sama Mas Aris berencana bulan depan ke Semarang," tutur Nastiti sembari menyuapi putri keduanya.
"Iya. Oma Anissa sedang sakit. Jadi, aku yang diminta sama Mbak Rissa buat kasih surat itu,” jawab Tamara.
"Sampai sekarang Mbak Rissa enggak pernah menjawab secara gamblang siapa sebenarnya ayah Fattar,” sesal Arisetya.
"Mbak Rissa kasih keyakinan sama Fattar kalau ayahnya adalah Mas Bian tanpa sanggup untuk mengatakan siapa ayahnya Fattar yang sebenarnya,” timpal Nastiti.
"Itu adalah salah satu cara dari Mbak Rissa untuk mengobati rindu sekaligus hukuman untuk Pak Bian," ujar Tamara.
"Semua hanya salah paham. Padahal kalau dilihat-lihat, Fattar mirip sekali dengan Mas Bian sewaktu kecil. Almarhumah ibu sering sekali mengatakan hal itu, sayangnya Mbak Rissa enggak pernah menyetujui ucapan ibu, semuanya tetap dibuat bimbang selama bertahun-tahun,” lanjut Arisetya.
"Mungkin karena Mbak Rissa ingin Pak Bian menjadi orang pertama yang tahu soal hal ini,” tambah Tamara.
"Tapi kamu sudah kasih surat itu ke Mas Bian, ‘kan?" tanya Nastiti sembari menatap suaminya.
"Kata Lusi, sih, dia udah taruh suratnya di buku, Mas Bian," jawab Arisetya.
"Loh! Kok, jadi Lusi, sih! Kamu gimana, sih, Mas!!" protes Nastiti sembari memukul-mukul lengan Arisetya.
"Tunggu, dengar, itu ... kaya suara mobil, Mas Bian," Arisetya berlari ke arah jendela, sedikit menyingkap gorden. "Beneran! Mas Bian!!"
"Mau ngapain malem-malem gini? Mas, emang dia tahu kalau Fattar ada di sini? Mas, mungkin ini waktu yang tepat untuk mereka ketemu. Mungkin nanti Mas Bian luluh setelah lihat Fattar. Mas, kita pertemukan mereka saja, ya?" bujuk Nastiti.
Aris terdiam, mengamati dari jauh kakaknya yang keluar dari mobil.
"Mas enggak bisa ambil risiko. Kalau Mas Bian marah karena merasa kita tipu bagaimana? Biar Mbak Rissa sendiri yang pertemukan mereka. Kita sembunyikan Fattar dulu. Ayo, Tamara!" titah Arisetya panik.
Tamara menarik tangan Fattar, memaksanya pergi ke dapur. Sementara Arisetya cepat-cepat keluar dari rumah.
"Eh, Mas, tumben malam-malam mampir!" ucap Arisetya menjegal langkah Bian.
"Iya, tadi kamu pulang buru-buru. Sepertinya enggak sempat beli oleh-oleh buat anak-anak," tutur Bian.
Arisetya menarik bungkusan kue yang dibawa Bian. "Anak-anak sudah tidur, sudah malam, Mas! Pasti, butuh istirahat!" elak Arisetya.
"Oh, Ya sudah, Mas pulang dulu, salam buat Nastiti."
"Iya, Mas, iya! Sekarang, Mas pulang ya? Istirahat!”
Bian membalikkan tubuhnya, berjalan pelan kembali ke mobil.
"Hati-hati, Mas!" teriak Arisetya.
Bian hanya melambaikan tangan tanpa membalikkan tubuh.
"AYAH!!"
Tubuh Bian membeku, kunci mobil dalam genggamannya jatuh seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandaran Hati (End)
Romance"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu! Mari kita bercerai!" ****** Tahun ini pasangan Marissa dan Bian merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ke-15. Satu saja yang mereka inginkan, yaitu kehadiran si buah hati. Mengungkapkan sebuah rahasia di ten...