Melindungi pasangan hidup sama saja dengan melindungi diri sendiri.
Bila bertanya, apakah bisa hidup tanpa Marissa? Dengan lantang tanpa keraguan Bian menjawab TIDAK! Namun, bila prasangka ini benar, jawaban itu mungkin akan berbeda.
Tanpa sadar, Bian telah menciptakan jurang tak kasat mata di antara mereka.
Ia mendekap istrinya yang terlelap lalu kembali melirik jam dinding. Hampir subuh, tetapi matanya belum bisa terpejam. Ia memilih meninggalkan peraduan dan sekarang sedang menatap diri di cermin kamar mandi. Berulang kali membasuh wajah lalu menatap tes pack di atas wastafel. Marissa berkata akan mengeringkannya lalu disimpan pada album pertama calon buah hati mereka.
Guratan senyum tercipta pada paras tampannya, tetapi sedetik kemudian air mata jatuh bercucuran tanpa bisa dicegah. Secepat kilat ia membuka keran wastafel, berharap deras air bisa menyamarkan suara tangis. Berbagai rasa kini menggulung dirinya. Bahagia bercampur sedih seakan terjalin menjadi satu benang kusut yang mengikat sanubari.
"Mas, kamu di dalam?" Ketukan pintu semakin kencang ketika Bian memutuskan untuk diam saja. "Mas?" ulangnya lagi.
"Ya, sebentar," jawab Bian kemudian membasuh wajah berulang kali.
"Kamu kenapa?" tanya Marissa saat Bian sudah berdiri di hadapannya. Tidak ada jawaban, dia malah membuka kotak obat lalu mengeluarkan botol kecil berisi tablet pereda nyeri. "Kamu sakit? Mas?" ulangnya lagi.
Bian tetap memilih diam lalu kembali mencoba tidur dengan posisi membelakangi Marissa.
"Mas?" Marissa dengan lembut merengkuh pinggang suaminya. "Kamu kenapa?" tanyanya lagi.
"Aku lelah, mari tidur," elaknya.
Marissa tidak lagi mencecarnya dengan pertanyaan. Ia tahu betul suaminya enggan untuk bersuara ketika sedang sakit.
***
Hari-hari berlalu dengan meninggalkan kejanggalan di hari Marissa. Bian seakan menarik diri dari rengkuhan cintanya. Bahkan saat sedang bersama, keduanya enggan bertatap mesra seperti dahulu.
Semua kebahagiaan yang dinikmati Marissa terasa tidak sempurna. Bian bukan tipikal orang yang suka menceritakan masalahnya, alasan itu yang membuat Marissa enggan bertanya. Ia memilih untuk menunggu sampai suaminya sendiri siap menceritakan masalahnya dan itu adalah pilihan yang keliru.
***
Lusi memberikan beberapa lembar dokumen yang dahulu sempat diminta oleh Bian. Diam-diam ia menatap atasannya dengan rasa cemas. Binar mata Bian terasa aneh ketika membaca laporan itu.
"Hanya ini saja?" tanya Bian.
"Iya, Pak, itu agenda Ibu Marissa sampai akhir bulan ini, lalu sesuai permintaan Bapak, juga ada laporan kunjungan kerja beliau beberapa bulan lalu, tetapi sepertinya semua proyek sudah selesai tepat waktu, kecuali proyek kita yang di Cianjur,” jelas Lusi.
"Cianjur? Jaya Konstruksi?" terkanya, "baiklah, cukup, biar ini saya yang bereskan. Sampaikan pada Ibu Marissa kalau proyek ini akan dilanjutkan oleh Bapak Suheri bagian pemasaran cabang Sunter," titahnya.
"Baik, Pak, saya mengerti. Apa ada lagi yang bisa saya bantu?" tanyanya lagi.
"Cukup, terima kasih,"
Lusi mengangguk pelan kemudian meninggalkan ruangan kerja Bian.
"Lusi!" panggil Tya saat melihat Lusi yang menunggu pintu lift terbuka.
"Eh, Mbak, aku kira enggak masuk kerja," tuturnya.
"Iya, tadi makan siang di luar, sekalian beli titipan Pak Raka,” ungkapnya seraya membuka sedikit plastik berisi mangga. “Ini buat Ibu Marissa, nanti aku suruh, Bang Harja antar ke ruangan kamu, tapi, kata Pak Raka, jangan bilang kalau itu dari dia, ya?" tambahnya.
"Loh, kenapa? Eh, akhir-akhir ini beliau jarang malah hampir enggak pernah mampir ke ruangan Ibu Marissa, mereka lagi berantem, ya?" selidik Lusi seraya merapatkan tubuhnya dengan Tya.
"Ih, kamu kebiasaan, kepo!" tukas Tya.
"Aneh aja, Bu Marissa jadi sering ngelamun. Kalau lagi hamil, ‘kan enggak boleh sedih. Aku khawatir," lirihnya sembari kembali menatap ke segala penjuru, khawatir bila ada dinding yang ikut mendengar.
"Enggak baik ikut campur urusan orang. Udah, ya, aku cari Bang Harja dulu," tuturnya sembari melenggang pergi.
Menurut Lusi, akhir-akhir ini perilaku Bian memang terasa ganjil, tetapi nasihat Tya ada benarnya. Lebih baik ia fokus pada pekerjaannya.
***
“Terima kasih, Lusi,” ucap Marissa ketika Lusi meletakkan piring berisi potongan mangga di meja kerjanya.
Marissa bahagia sekaligus kecewa. Perhatian yang seharusnya didapatkan dari suaminya, malah diberikan oleh orang lain.
Ia kembali menatap potongan mangga. Kesabarannya habis, kali ini ia harus bertanya pada Bian. Mengapa menjauhi dirinya?
Lusi bergegas pergi ketika Bian tiba-tiba memasuki ruangan Marissa. Bian tampak melonggarkan dasinya kemudian duduk di hadapan Marissa.
“Kamu suka mangga?” tanya Bian sembari memasukkan sepotong mangga ke dalam mulut.
Marissa mengangguk pelan. Jemarinya lincah membereskan meja kerja, lalu melirik arloji di pergelangan tangan. Pantas saja tiba-tiba suaminya masuk, ini sudah lewat dari jam pulang kerja.
Selesai merapikan dokumen, Marissa kembali menatap Bian. “Mas, ada yang mau aku bicarakan,” tuturnya.
“Habiskan dulu mangganya, kita bicara nanti, di rumah. Sekarang, kita pergi dulu, ini sudah sangat terlambat,” tukas Bian yang kembali mengambil potongan mangga.
"Terlambat? Ada acara penting?" lanjutnya.
"Erick, kamu lupa?"
"Astagfirullah, Mas, ulang tahun Erick, ya?" seru Marissa.
"Habiskan dulu mangganya, semua udah siap,” tutur Bian berusaha menenangkan istrinya.
***
Sesekali Bian melirik Marissa dari balik spion. Istrinya tampak tergesa-gesa memoles wajah dengan bedak lalu menebalkan perona bibir.
“Sudah cantik,” godanya sembari mengusap kepala Marissa.
“Gombal,” protesnya sembari memukul lengan Bian.
Menjelang pukul tujuh malam mereka berdua tiba di kediaman kakak sepupu Bian di kawasan Pondok Indah.
Dua patung wanita bagaikan perlambang titisan bidadari, menyambut mereka di ambang pintu. Bian menjalin jemari Marissa seakan menuntunnya menuju sumber suara tepukan tangan.
Dua pilar tinggi menjulang serta gemerlap lampu gantung menambah kesan glamor ruang tamu. Marissa sedikit menarik napas. Ia akan berusaha menahan diri untuk tidak berteriak lantang saat ada seseorang yang kembali menyindirnya di pesta ini.
"Ingat pesanku," ulang Bian.
Marissa kembali menghela napas. "Iya, Mas. Jangan terpancing, kehamilan ini sebaiknya dirahasiakan dahulu, gitu, ‘kan?" cetus Marissa sedikit jengkel.
Bian tersenyum, kembali mempererat genggamannya kemudian bergegas menuju halaman belakang, dekat kolam renang tempat berlangsungnya pesta.
Suasana pesta, penuh canda mendadak makin meriah ketika Bian ikut bergabung memberi selamat pada keponakan kesayangannya.
Marissa bergegas menuju kursi setelah melihat ibu mertuanya melambaikan tangan kemudian duduk bersebelahan dengannya, juga pasangan pengantin baru Arisetya Soejarmoko dan Nastiti Dewi Prawirat.
“Macet, ya? Tumben terlambat,” tutur Asmarini.
“Enggak, Bu. Tadi dari kantor memang sudah terlambat,” jawab Marissa
"Mbak Rissa pucat sekali," ucap Nastiti sembari menatap cemas kakak iparnya.
"Ah, masa?” timpalnya sembari menepuk-nepuk pipi.
"Kamu jangan terlalu capek, jaga kesehatan,” saran Asmarini seraya menepuk pelan lengan menantunya.
"Wah, susah kalau disuruh begitu, Bu. Mbak Rissa ini, kalau di kantor, wah, beneran lincah. Kaya kancil!" celoteh Arisetya yang disambut derai tawa oleh semua.
"Eh, Mas Bian kenapa bisa akrab banget, ya sama Erick?" Pertanyaan Nastiti pada suaminya membuyarkan keceriaan Marissa.
"Memang, sejak Erick lahir, seakan dunia Mas Bian ikut terbagi gitu, iya, ‘kan, Mbak?" timpal Arisetya yang menanyakan pendapat Marissa. Namun, yang sanggup Marissa berikan hanyalah senyuman hambar
"Mungkin karena pernikahan Wisnu dan Bian waktu itu memang berdekatan, lalu enggak lama Dewi, hamil. Jadi, mungkin Bian berpikir kalau dia sudah punya anak, ya, kira-kira umurnya seperti Erick, gitu mungkin," tutur seorang wanita yang duduk di sebelah Asmarini. "Sayangnya, sampai sekarang Bian belum juga dikaruniai anak, kalian enggak dipercaya sama Allah kali," lanjutnya.
“Mbak, jangan sembarangan kalau ngomong!” marah Asmarini.
Marissa menunduk, hatinya ikut mengutuk. Ia sedikit menggigit-gigit bibir sekaligus menahan air mata. Pandangannya tiba-tiba saja terangkat saat tangan hangat menyentuh jemari.
"Mas?"
Bian tersenyum lembut. "Kamu kenapa?" bisiknya. Marissa menggeleng pelan. Bian menarik napas lalu menghunjam Narti dengan cepat.
"Eh, Bian, bener, ‘kan ,ya? Kamu tuh, coba saja kalau waktu itu dengar omongan Bibi buat terima pinangan dari keluarga Subandrio. Itu, si Mirna udah punya lima anak, lelaki empat, perempuan satu! Duh, bibit unggul, cakep-cakep semuanya!" lanjutnya sembari terkekeh sementara yang lain hanya mampu menatap cemas Marissa.
“Enggak perlu sampai ngomong begitu, Mbak!” protes Asmarini yang bisa menangkap kegelisahan menantunya.
“Loh, kenyataannya memang begitu, Mbakyu,” balas Narti.
Rakabian duduk, meraih potongan kue di hadapannya. "Hmm ... iya juga ya, Bi? Mungkin kalau saya nikah sama wanita yang waktu itu Bibi pilihkan, mungkin anak saya yang paling tua pasti sudah seumuran sama Erick,” timpalnya sembari mengunyah.
Marissa menatap suaminya. Tidak percaya dengan apa yang baru saja terdengar.
Tawa licik Narti berhasil membuat semua bungkam, matanya mendelik menatap Marissa. Ia memang punya dendam pribadi dengan wanita itu.
Dahulu, Narti adalah penentang hubungan Marissa dengan Bian karena ia ingin menjodohkan Bian dengan putri dari sahabatnya. Hubungan penuh manfaat tentu saja akan didapatkannya bila saja Bian setuju untuk menikahi Mirna Santika Subandrio. Narti bisa semakin leluasa masuk ke kalangan jetset.
"Ah, sudah! Jangan membahas masa lalu terus!” elak Arisetya yang mulai merasakan ketidaknyamanan pembicaraan ini.
"Loh, memang ini faktanya, kok! Garis keturunan kita semuanya punya banyak anak! Enggak mungkinlah kalau Rakabian Soejarmoko yang bermasalah! Oh, ya, Aris, kamu cepat-cepat dong, kasih Ibu kamu cucu! Kasihan Mbakyu Rini!” sindirnya lagi.
“Kalau ngomong itu dipikir, Rissa adalah bagian dari keluarga Soejamoko, dia anak menantuku, Mbak,” bela Asmarini.
“Loh, aku cuma ngomong apa adanya, Mbakyu,” debat Narti.
"Insya Allah, saya sama Nastiti masih santai, Bi,” elak Arisetya.
"Ah, kamu, santai jangan kebablasan kaya kakak kamu! Eh, lagi pula, Bibi tuh kenal keluarga Nastiti, semuanya punya banyak anak, kamu enggak usah cemas. Sebentar lagi dia pasti hamil. Ya, kalau menantu dari keluarga yang jelas bibit bebet bobotnya, yo ndak usah diragukan lagi, enggak seperti .... ndak perlu Bibi jelaskan, ‘kan?" sindirnya lagi diselingi derai tawa.
Asmarini hendak berucap, tetapi tangan Bian dengan cepat menahan lengan ibunya. Ia menarik napas kemudian kembali menatap Marissa.
Marissa menggigit bibir, hati makin teriris mendapati suaminya hanya diam saja, malah sibuk mengunyah.
Pelan-pelan ia mengusap lembut perut. Meminta maaf karena memang dirinya bukanlah seseorang dari kalangan priayi.
Marissa adalah putri tunggal yang tinggal bersama ibunya yang berprofesi sebagai penjahit.
Hal yang dirasa cukup menjadi pertimbangan kala salah satu pemuda priayi akan meminang gadis sederhana seperti Marissa. Membutuhkan waktu cukup lama bagi Marissa untuk bisa ikut berbaur di keluarga besar Soejarmoko.
Bian bangkit dari kursi, menepuk pundak Marissa kemudian berjalan menuju panggung hiburan lalu merebut mikrofon dari penyanyi yang sedang menghibur tamu undangan. Alunan musik mendadak berhenti. Semua mata tertuju padanya.
"Halo, selamat malam semua. Maaf mengganggu santap malam kalian, hanya saja ada hal yang ingin saya sampaikan buat si Ganteng yang kayaknya udah punya banyak pacar, nih." Ucapannya membuat semua tertawa menatap Erick.
Bian kembali menatap istrinya yang menunduk, hatinya ikut berdentum kencang mendengar semua cibiran Narti.
"Jadi, Erick, menurut kamu, selama perjalanan hidup kita sebagai seorang lelaki siapa orang yang paling berjasa?" tanya Bian sembari berjalan mendekati Erick kemudian menyodorkan mikrofon.
"Orangtua," jawabnya tersipu malu.
"Hmm ... ya, orangtua yang sudah membesarkan kita, ada lagi?" tanyanya lagi, tetapi Erick hanya mampu kebingungan.
Bian tertawa lalu kembali ke panggung. "Selain orang tua, ada satu lagi yang paling berjasa dalam hidup kita, yaitu pasangan hidup. Bahkan ada yang mengatakan kalau di balik lelaki sukses pasti ada wanita tangguh, ya, itu benar,” tambahnya, "jadi, jangan salah pilih istri kaya Om," lanjutnya.
Semua orang langsung sibuk berbisik. Arisetya panik, tetapi tidak bisa melakukan apa pun selain beradu pandang dengan Nastiti. Sementara Marissa menatap Bian, tidak tahu mengapa suaminya berkata seperti itu.
Bian sedikit menunduk, coba mengingat kembali yang sudah terlewati lalu menatap belahan jiwanya yang juga menatapnya. Semua rasa sakit, bahagia muncul bersamaan. Perjuangan meyakinkan bahwa perbedaan adalah cinta yang menyatukan mereka.
"Saya, Rakabian Soejarmoko. Putra sulung dari Almarhum Bapak Yusuf Soejarmoko. Seorang pengusaha sukses yang cukup diperhitungkan. Pertanyaannya, apa jadinya saya bila enggak dilahirkan di keluarga Soejarmoko? Saya pesimis akan bisa berada di titik seperti ini karena dalam bidang akademik pun saya orang yang payah, Bian yang sepertinya enggak akan menjadi apa-apa tanpa gelimang harta orangtua. Oleh karena itu, Bian memiliki mimpi ingin memiliki istri pintar juga tangguh. Sayangnya, Allah menitipkan rasa cinta itu pada sosok wanita yang enggak memiliki kedua kata itu, dia hanya wanita pendiam yang hanya bisa menangis. Satu hal yang penting, dia bukan dari kalangan berada.”
Marissa membuang pandangannya dari Bian, serta meremas tali tasnya.
“Saya bekerja keras supaya punya banyak uang, cukup untuk membeli setiap barang mewah yang diinginkan wanita pada umumnya. Berharap istri saya ini mampu tampil selaras dengan saya, tetapi dia tetaplah dia. Sampai terkadang saya malu karena pakaiannya hanya itu-itu saja. Dia seharusnya bersyukur punya suami seperti saya. Kalau bukan karena saya, enggak mungkin dia bisa mendapatkan posisi bergengsi di kantor. Soejamoko Grup.” Ocehannya membuat suasana semakin hening.
"Mas, itu, Mas Bian ngomong ngaco gitu, sih!" bisik Nastiti.
![](https://img.wattpad.com/cover/224932735-288-k517979.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandaran Hati (End)
Romansa"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu! Mari kita bercerai!" ****** Tahun ini pasangan Marissa dan Bian merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ke-15. Satu saja yang mereka inginkan, yaitu kehadiran si buah hati. Mengungkapkan sebuah rahasia di ten...