Bab 18 -Tujuh Bulanan-

2.3K 160 1
                                    

Luasnya sabar adalah samudera. Namun, ingat, emosi yang tertahan bisa menggulungmu.



Menjelang tengah malam, Bian tiba di rumah. Sesekali langkahnya terantuk, bukan karena mabuk atau mengantuk, melainkan raganya berjalan tanpa jiwa. Sesekali juga ia masih terisak. Hatinya hancur, terpuruk dan tidak bisa bangkit lagi.

Ia melepaskan topi yang dikenakan kemudian duduk pasrah di kursi ruang makan. Tangannya masih gemetaran saat meneguk air dingin.
Sekarang.

Apa yang harus ia lakukan?
Siapa yang harus disalahkan?

Kesalahannya adalah tidak bisa melindungi istrinya. Kesalahan istrinya adalah melindungi pria yang sudah merenggut harga dirinya. Kesalahan mereka adalah mencintai terlalu dalam.

Sekali lagi ia membekap mulut sekencang mungkin. Keheningan malam harus tetap seperti ini. Walau berusaha keras menghentikan deras air mata, kenyataannya ia tidak bisa menghentikan hati untuk berhenti menangis.

Ia membenamkan wajahnya pada tumpukan tangan di atas meja. Punggungnya terlihat naik-turun. Sungguh harga diri yang dijunjung setinggi langit sekarang tidak ada artinya lagi.

***

Pagi menyapanya. Guncangan pelan di punggung, mengusik mimpi. Bian segera memalingkan wajah ketika menatap Siti yang terkejut mendapati salah satu majikannya tertidur di ruang makan.

Bian tidak mengatakan apa pun. Kumandang azan subuh membuat hatinya mendadak nyeri. Langkahnya terhenti di undakan terakhir anak tangga kemudian menatap nyalang pintu kamar yang selama ini menemani indah rumah tangganya.

Suara deritnya memaksa ia kembali menitihkan air mata kemudian melangkah ragu mendekati wanita itu. Mengamati setiap lekuk wajahnya yang masih terlelap. Istrinya adalah alasan untuk tetap hidup. Sekarang ... bagaimana ia bisa melanjutkan perjalanan takdir?

***

Marissa meletakkan panekuk ke piring Bian, menuangkan susu juga menggeser kursinya untuk bisa lebih dekat dengan dia yang beberapa hari ini terlihat murung.

“Sibuk, Mas?” tanyanya yang dijawab anggukan kepala.

Bian meneguk susu lalu meraih tas kerjanya. “Pagi ini aku ada pertemuan di Bintaro. Kamu pergi di antar sopir saja.” Bian pergi tanpa mendengar jawaban Marissa.

Setelah hari itu, Bian mulai menimbang sebuah keputusan besar. Ia tidak bisa hidup tanpa Marissa, tetapi sungguh apa harus bersikap seperti ini? Seolah semua baik-baik saja dan membiarkan bom waktu itu berdetak tepat di tengah kebahagiaan.

Dalam satu detik, hanya butuh sesaat untuk menghancurkan semua.

***

Hari ini adalah saat sakral untuk keluarga Soejarmoko. Awalnya Bian dan Marissa hanya menginginkan pengajian sederhana bersama anak-anak panti, tetapi Asmarini tetap meminta tradisi mintoni diadakan.

Semuanya hampir siap. Sebenarnya tamu yang diundang tidak banyak, benar-benar kerabat dekat, Mieke, beberapa anak dari panti asuhan, tetangga dan kolega yang dianggap seperti keluarga.

Sedari pagi Nastiti juga Arisetya sibuk mengawasi para pendekorasi menghias setiap sudut rumah sementara Marissa menemani Asmarini juga Anissa membuat puding buah untuk tamu undangan.

Nastiti mengamati Arisetya sibuk menggantung pigura indah yang membingkai kebahagiaan Marissa dan Bian kemudian tersenyum lega menatap potret kedua kakak iparnya tampak berbahagia.

Arisetya turun dari kursi lalu merangkul pundak Nastiti. Menggodanya, berharap kelak mereka juga akan dikaruniai kebahagiaan itu.

Asmarini menggenggam erat lengan Marissa, kebahagiaannya sungguh tidak bisa terukur dengan apa pun. Doa yang selalu dipanjatkan sudah terjawab. Betapa bersyukurnya ia mendapatkan anak menantu seperti Marissa.

Anissa turut menggenggam tangan Marissa yang lain. Rasanya lengkap sudah hidupnya karena sebentar lagi akan menjadi nenek.

Mereka ikut bergabung dengan Nastiti untuk mengamati potret maternity yang sudah tergantung.

Asmarini memprotes Marissa, mengatakan kalau wajah putranya terlihat begitu kikuk dengan senyum yang dipaksakan lalu mulai bertanya di mana gerangan calon ayah itu.

Arisetya tertawa pelan. "Ibu, wajar kalau Mas Bian sampai gugup gitu. Tadi, sih kayaknya dia ke kamar bayi,” ungkapnya.

"Aku panggil dulu, ya?" ujar Marissa.

"Iya, itu bagian belakang juga belum dicek juga, tendanya sudah beres atau belum,” tambah Asmarini.

Marissa mengangguk mantap lalu pergi menuruti perintah Asmarini.

Langkahnya begitu ringan penuh dengan kegembiraan. Marissa sedikit membuka pintu, dilihatnya sang suami sedang mengeluarkan barang-barang dari dalam kardus serta meletakkan berbagai macam pernak-pernik termasuk mainan di atas lemari pakaian pendek tepat di samping keranjang bayi.

"Mas?" Marissa memeluk Bian, tetapi kali ini ia harus kecewa karena tidak mendapatkan balasan seperti yang diharapkan. "Dicari sama Ibu, katanya disuruh cek yang lagi pasang tenda, takutnya ada yang kurang," tutur Marissa. Bian mengacuhkan permintaan istrinya dan tetap sibuk mengamati setiap mainan bayi. “Mas?” ulang Marissa.

"Semua pernak-pernik bayi, juga mainan ... kenapa dipesan sekarang? Lalu, kamu juga meminta dekorasi ruangannya diubah, lebih condong ke bayi lelaki, kenapa?” Bian berusaha sekuat tenaga untuk meredam letupan amarah.

Marissa tersenyum lembut tanpa mencurigai tingkah aneh Bian. "Kamu juga kemarin curang. Ubah jadwal pemotretan maternity sama booking jasa dekorasi ruang bayi tanpa sepengetahuan aku, ya, jadinya aku juga punya sedikit rahasia sama kamu. Aku minta bocoran jenis kelamin anak kita sama Dokter Mieke, katanya lelaki." Tidak tampak raut bahagia di wajah Bian akan penuturan Marissa.

Senyum Marissa menghilang. Ia menarik tangan Bian ketika pria itu memutuskan pergi tanpa berkomentar.

“Mas!”

Bian menghentikan langkahnya, tanpa berbalik ia berkata, "Kamu memang senang menyimpan rahasia dan akhirnya menghancurkan orang yang menyayangi kamu."

***

Rasa sesak yang dipeluk Bian semakin tak tertahan ketika para tamu undangan mulai berdatangan. Walaupun pada akhirnya bisa sedikit melengkungkan senyum serta membalas setiap jabatan tangan, sungguh ucapan selamat dari mereka membuatnya muak.

Di tempat lain, Nastiti dan Arisetya menata beberapa perlengkapan di meja. Menjadi penanggung jawab acara adat membuatnya sangat gugup serta cukup sibuk sampai tidak bisa menjawab panggilan dari ponselnya.

“Siapa, sih? Dari tadi ponsel kamu sibuk,” protes Arisetya.

Nama Erika lagi-lagi muncul saat ia menatap layar ponsel, itu juga jadi alasan enggan menerima panggilan.

Arisetya hampir tidak bisa meredam amarah ketika mendapati nama Erika muncul di layar ponsel Nastiti.

"Dia masih hubungi kamu? Mau ngapain, sih!" dengkusnya.

"Pelan-pelan ngomongnya, ih! Kasihan Erika, Mas!" bela Nastiti.

"Aku heran sama kamu, masih belain dia, lagi pula dia itu udah bikin gosip enggak benar!” tambahnya.

“Erika itu juga sahabat aku, Mas. Aku udah nurut sama kamu buat sedikit jaga jarak sama dia!” debat Nastiti.

“Dek, kamu itu harus ingat. Mas Bian dam Mbak Rissa itu keluarga kamu juga. Kamu enggak bisa kaya gitu, dong!” marahnya.

“Mas! Kamu berlebihan! Aku cuma mau angkat telepon dari Erika! Dia pasti lagi susah!” timpal Nastiti.

"Biar Mbak yang terima teleponnya." Marissa yang sedari tadi mendengarkan perdebatan mereka seketika merebut ponsel Nastiti. "Halo?"

Suara tangisan terdengar di ujung sambungan, Marissa makin iba karena mendengar tangisan bayi.

"Erika, ini aku, Marissa," ucapnya pelan

"Mbak Marissa? Mbak, aku harus bagaimana? Mas Samuel tetap enggak mau mencabut gugatan cerainya!" raung Erika.

"Aku sudah coba bicara langsung dengannya, tapi hasilnya nihil. Erika, aku tahu ini sulit, ingat anakmu," nasihat Marissa walau sebenarnya juga tidak bisa banyak membantu.

"Mbak, anakku masih kecil, Mbak," lirih Erika lagi.

"Erika, dekatkan dirimu dengan Tuhan, pandangi wajah Abhy ketika kamu berdoa, niscaya akan ada jalan,” lirih Marissa.

"Marissa, Dokter Mieke sudah datang," ujar Bian mendekati Marissa yang dengan sigap mengembalikan ponsel Nastiti. "Telepon dari siapa?" tanyanya curiga.

"Enggak, ayo, Mas, kasihan Dokter Mieke kalau tunggu kelamaan!" elak Marissa sembari menarik tangan Bian pergi dari sana.

Bian bisa mencium gelagat aneh. Namun, apa daya, ia sudah hampir tidak peduli lagi.

Rentetan acara dimulai. Berawal dari acara pengajian, berlanjut dengan sungkeman. Asmarini serta Anissa sudah duduk bersebelahan. Marissa mengganti pakaian gamisnya dengan kain jarik dan roncean melati yang menyerupai blazer menutupi bahu. Bian tampak gagah mengenakan beskap cokelat muda.

Keduanya meminta doa restu kepada orang tua, memohon diberikan kelancaran menghadapi persalinan kelak.

Tetesan air mata Bian membasahi tangan Asmarini. Pria itu kembali menelan rasa bersalah, amarah, kebingungan yang membuatnya sulit bernapas.

Acara kembali berlanjut, Bian sesekali menunduk sembari mengigit bibir ketika tangannya merangkul pundak Marissa.

Mereka berjalan saling beriringan menuju halaman belakang kemudian Marissa dipersilakan duduk di tengah krobongan khusus penuh aneka bunga oleh pembawa acara.

Satu per satu dari tujuh anggota keluarga yang dituakan menyirami perut Marissa dengan gayung batok kelapa berisi air bertabur bunga sebagai perlambang menyucikan ibu serta calon bayi.
Bian dengan gemetaran menyiram air bunga tersebut, sungguh hatinya menolak melakukan semua itu.

Acara dilanjutkan dengan prosesi brojolan, yaitu sang ayah dari calon bayi akan meluncurkan kelapa muda yang disebut cengkir dari balik kain yang dipakaikan ke Marissa. Lagi-lagi Bian merasa ragu untuk melakukannya, terlebih saat ia diminta untuk membelah cengkir sebagai simbol membuka jalan kelahiran.

Acara terus berlanjut hingga menjelang isya. Tangis Bian tidak bisa lagi dibendung ketika Marissa mencium tangannya selepas salat berjamaah lalu meminta maaf juga doa untuk kelancaran persalinan. Bian merasakan betapa bersalah pada Sang Pencipta. Ia merasa telah gagal menjadi imam dan tidak bisa melindungi istrinya. Istri yang kemudian mengkhianatinya.

Tangisan Bian disambut haru oleh tamu serta sanak-saudara yang hadir. Mereka paham akan penantian panjang juga berbagai usaha yang dilakukan keduanya demi mendapatkan keturunan. Merasa wajar bila Bian seperti ini.

Namun, bukan itu yang dirasakan Bian.

***

Para tamu undangan mulai berpamitan. Ditemani Asmarini, Marissa masih meladeni para tamu, hingga rumah itu kembali terasa sepi.

"Bunda pulang dulu, ya?" ujar Anissa.

“Bun, diantar sama Mas Bian, ya?” ujar Marissa.

“Enggak usah, kamu sama Bian pasti capek. Bunda naik taksi aja,” timpal Anissa.

“Taksi online-nya sudah ada di depan,” tutur Arisetya yang ikut bergabung di ruang tamu.

“Bunda pulang, ya? Bian di mana?” tanyanya lagi.

“Tadi masih di kamar bayi, Marissa panggil dulu, ya?" tuturnya sembari pergi.

Senyum terlukis indah di wajah cantik Marissa kala mengingat kembali air mata kebahagiaan Bian di sepanjang acara.

Marissa mengusap perutnya, sejak awal acara, si Jabang Bayi terus menendang, mungkin ikut merasakan kegembiraan yang menguasai Marissa.
Marissa terdiam kala melihat pintu kamar bayi sedikit terbuka. Bian tampak duduk menyandar di kursi pojok kamar dengan matanya yang terpejam, pelan-pelan Marissa berjalan menghampirinya kemudian menepuk tangan suaminya.

"Mas? Kamu capek banget ya?”

Mata Bian terbuka, tampak merah menahan amarah. Namun, Marissa mengartikannya sebagai pertanda Bian terlalu banyak menangis.

"Mas, mata kamu masih bengkak gitu, mau aku kompres?” Bian diam, ditatapnya wajah Marissa. “Semua tamu undangan sudah pulang. Bunda Anissa sama juga mau pamit. Habis antar bunda, kita istirahat, ya?” tambahnya pelan.

Bagaimana kamu bisa lakukan itu padaku? Aku membencimu, batin Bian.

“Mas?”

Aku tidak akan memaafkan kamu, batinnya lagi.

“Mas? Kenapa liatin aku kaya gitu? Aku semakin cantik ya?” godanya lagi.

"Marissa,”

“Ya?”

“Ketika kamu menerima pinanganku, aku sangat yakin kalau kamu adalah satu-satunya wanita yang akan menemaniku hingga ajal menjemput. Aku sudah membayangkan kita akan menua bersama," tutur Bian pelan.

Marissa tersenyum lembut, kemudiam duduk melantai di hadapan Bian, menyandarkan kepala pada lutut Bian serta mendengarkan ucapan Bian layaknya seorang anak kecil mendengarkan sebuah dongeng.

"Selama kita menikah, aku hampir enggak pernah menemukan kecacatanmu dalam menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Aku harap selama jadi suamimu ... aku juga enggak lalai menjalankan kewajibanku," lanjut Bian.

Marissa sedikit tertawa lalu memuji Bian, "Enggak, Mas, kamu adalah suami terbaik untukku.”

Bian tertegun kemudian ikut tertawa, air matanya kembali jatuh. "Ya, aku lupa betapa sempurnanya aku," selorohnya.

"Iya, kamu selalu menjalankan kewajiban sebagai seorang suami dengan hebat!" tambahnya lagi.

Hebat? Aku adalah seorang pecundang, batin Bian.

“Ayo, Mas. Ini sudah terlalu larut. Taksi Bunda juga sudah datang,”

Bian menekan pundak Marissa untuk tetap diam. “Jika ini takdirku, izinkan aku bicara untuk yang terakhir kali.” Marissa mengernyit tidak mengerti. Namun, sungkan untuk bertanya. "Aku sudah gagal. Marissa, aku enggak bisa menjaga martabat kehormatanmu dan aku enggak bisa menerima olok-olokmu lagi,” lanjutnya.

Pupil mata Marissa membulat. Bian bangkit dari kursinya kemudian berjalan menuju lemari pakaian pendek tempat mainan serta pajangan bayi tertata rapi di atasnya.

Batinnya menjerit. Sebuah ombak tak kasat mata menggulung dirinya, meyeret jauh ke dalam samudra dan bom waktu itu meledak.

Bian menatap Marissa, wanita paling indah ... istrinya. "AKU TIDAK MENGINGINKAN INI!!" jeritnya sembari membanting mainan juga pajangan bayi.

Marissa terkesiap, segera bangkit menahan takut.

"AKU TIDAK MAU!!" Jeritnya lagi kemudian membanting keranjang bayi.

"Mas,"

Bian mendekati Marissa, dengan penuh amarah menarik rahang Marissa. "Apa pentingnya Peter Smaug? Jawab aku! Apa pentingnya dia hingga kamu enggak bisa menolak tawarannya untuk menyentuh minuman haram!!" marahnya.

"Mas, aku—" Air matanya jatuh bercucuran.

"Apa aku penting bagimu? Kenapa kamu menyembunyikan masalah sendirian? Kenapa enggak mengatakan kalau Samuel sudah merampas kehormatanmu!!" teriaknya.

"Mas,” Marissa menyentuh lengan Bian yang mencengkeram erat rahangnya.

"Apa kamu pikir, aku enggak bisa menghancurkan Samuel lalu menjebloskan dia ke penjara atau ini cara kamu melindungi dia?!" murkanya.

"Mas, aku bisa jelaskan, Mas!" mohon Marissa.

Bian melepaskan cengkeramannya. "Menjelaskan? Apa yang harus dijelaskan? Allah menunjukkan semuanya melalui mata juga telingaku sendiri!"

"Mas," Marissa tidak mampu menyanggah ucapan Bian.

Bian menunduk. Ia tidak sanggup lagi. Sungguh tidak sanggup. Kini dengan satu ketegasan, ia berkata, "Aku mencintaimu, sangat mencintaimu, mari kita bercerai!"

Marissa menatap tak percaya. Bian dengan mantap balas menatap jauh ke dalam mata Marissa.

"Mari kita bercerai!" ulangnya.

"Enggak! Aku enggak mau!!" Jerit Marissa.

"Kalau kamu ingin tetap bersamaku, bersama Rakabian Soejarmoko ... gugurkan bayi itu atau berikan dia pada orang lain setelah dilahirkan tanpa kamu melihatnya! Dia bukan anakku! Enggak akan pernah menjadi anakku!"

"ASTAGHFIRULLAH HAL ADZIM! BIAN!" teriak Asmarini. Langkahnya gontai saat berjalan mendekati mereka. "Istighfar, Bian!" pintanya dalam linangan air mata.

"Bayi itu bukan cucu Ibu, dia bukan keluarga Soejarmoko!" tuding Bian tidak mau mengalah.

Tamparan keras dilayangkan Asmarini untuk putra sulung yang amat dicintai. Selama bertahun-tahun, ini kali pertamanya ia melukai Bian.

Bian menatap mata Asmarini yang sudah basah karena amarah. Sejenak ia kembali menatap Marissa sebelum memilih untuk pergi.

"Mas Aris, cepat kejar, Mas Bian!!" perintah Nastiti.

Marissa jatuh seketika. Menangis sejadi-jadinya. Menatap semua yang hancur karena kebodohannya.

Sandaran Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang