PUTIH & ABU - ABU

61 2 0
                                    

Akasia

*Reuni

“Aku sudah mengatakan, meskipun sampai kau menangis aku tidak akan mau memberikan minuman ku setetes pun,” bantah Irawan.

“Kau sama saja tidak peka seperti Felis,” Ujar Akasia.

Irawan enggan berkata lagi, ia melempar kerikil kecil memecah hening air kolam diujung pandangan keduanya.

“Hey Irawan, apa menurutmu Bunga Akasia adalah simbol makna dari kesedihan ?”

Irawan menghentikan lemparan, ia menutup mata dan berfikir.

Beberapa menit sebelumnya,

“Ini adalah saat yang tepat untuk menyatakan perasaanku ke Felis. Ucapan Pevita mungkin benar, adakalanya wanita harus jujur mengatakan atau tidak sama sekali,” batin Akasia.

Akasia berjalan mendekati Felis yang tengah sendiri, tiap langkah berjalan keraguan semakin jelas menghinggapi benak kepalanya, sang dara berusaha meneguhkan niatannya hingga keduanya berhadapan sedepa. Felis terkejut kala ia menatap keseriusan Akasia, lalu tak lama berselang ia terpaku mendengar pernyataan cinta dari bibir seorang gadis.

“Felis, aku mencintaimu, maukah kau menjadi pacarku ?,” ucap bibir tebal Akasia.

Malam itu menjadi kisah kesedihan dari Akasia yang nyata.

“Maaf Akasia, aku tidak bisa menerima cintamu, aku hanya bisa menjadi temanmu sampai sejauh ini, kau mungkin mengetahui aku menyukai Cherry,” jawab Felis.

Akasia mengakhiri upaya, ia berlari menjauhi Felis ditemani oleh tetesan air mata.

“Aku terlalu naif,” batin Akasia.

Akasia Luna, gadis berwajah sayu yang haus kasih. Ia adalah pemilik rasa empati tertinggi di kelas XI – F, jika membicarakan kesedihan tentunya Akasia memiliki jutaan pengalaman, tetapi terlalu minim untuk kebahagiaan.
Sifat empati membuatnya dipandang sebagai sahabat baik yang berkesan bagi para wanita, namun ia sering pula terjerumus oleh tipu daya orang lain yang berkedok akan kesedihan.

Semenjak kecil Akasia hidup hanya dengan kakak laki - laki yang bernama Fandi. Keduanya berjuang hidup dengan menelan kurangnya kasih sayang. Fandi sangat keras mendidik Akasia, ia beranggapan bahwa adiknya adalah sumber dampak kematian sang ibu saat melahirkan adiknya dan tak lama pula disusul oleh kepergian ayah mereka.
Akasia selalu merindukan sosok kedua orangtuanya, ia hanya bisa menangis jika melihat orang lain bahagia dalam hangat pelukan kedua orang tua.

“Ayah dan Ibu, kalian di surga akan selalu aku rindukan, meskipun aku tidak pernah melihat langsung wajah kalian. Aku mencintai kalian,” batin Akasia.

Akasia terkadang membenci kakaknya, ia acap kali menerima tekanan batin maupun fisik, tetapi sang kakak jua mengajari Akasia untuk tumbuh tegar tanpa mengharap belas kasih orang lain.

Fandi mencukupi kebutuhan adiknya dari hasil dagang dan mengamen, ia memutus sekolah hanya untuk tujuan memburu uang, dia sadar masa depannya jauh dari impian. Jauh di dalam pikiran Fandi menginginkan Akasia lah yang akan meneruskan impiannya yakni menjadi orang yang sukses.

“Menurutku bunga Akasia terlalu cantik untuk dijadikan simbol kesedihan,” Irawan menjawab pertanyaan Akasia.

“Kata – katamu serupa dengan isi surat ayahku, kau memang benar Irawan, Bunga Akasia sangat indah, mungkin suatu hari nanti aku akan memberitahumu surat terakhir ayahku,” ucap Akasia.

Kita Selamanya RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang