Evan
"Dua jam lalu ayah berpamitan keluar rumah untuk membeli video permainan konsol milikmu yang rusak, ayah mengatakan akan menggantinya. Setelah kamu pergi ayah menyesal ingin meminta maaf padamu," Sinta menjawab dengan tangisan.
Evan mendekat memeluk Sinta, kakak beradik itu masih terhanyut dalam kesedihan atas musibah yang menimpa ayah mereka.
"Evan, maafkan aku seharusnya perselisihan siang tadi tidak perlu terjadi, aku menghawatirkan kondisi ayah, begitu juga dengan ibu yang sedari tadi tak henti menangis." Ucap Sinta.
"Bagaimana kondisi ayah sekarang kak ?"
"Dokter mengatakan ayah masih dalam kondisi kritis, koma. Kemungkinan ayah sedang pendarahan di kepalanya," jawab Sinta.
"Sudahlah kak, tetap tenang dan berdoa sebaik mungkin, yang telah terjadi biar saja terjadi. Apakah ibu sudah makan malam ? Aku akan menenangkannya," Evan melepas dekapan, lalu berjalan mencari ibunya.
"Ibu, maafkan Evan yang sudah membuat keadaan keluarga menjadi duka, ibu jangan terus menangis, mungkin ayah akan sedih jika melihat tangisan, apakah ibu sudah makan malam ?" Evan bersimpuh di bawah lutut ibunya.
"Berdirilah nak, ayahmu memang keras selama ini, tapi di balik itu semua ia sangat menyayangi kalian anak - anaknya, sore tadi ia berkata terakhir kalinya ingin mengganti mainan mu yang telah rusak, ayah berkali - kali tanya pada ibu apakah ia terlalu keras denganmu Evan."
"Tidak ibu, sudah ayo kita makan malam, setelah itu ibu sebaiknya pulang bersama kakak karena sudah terlalu malam. Biar aku saja yang akan menjaga ayah di rumah sakit," sambung Evan.
"Ibu tidak selera makan nak, ibu ingin menjaga ayahmu juga di sini."
"Ibu, Evan benar, sebaiknya ibu pulang beristirahat di rumah bersamaku, besok pagi kita akan gantikan Evan menjaga Ayah, mari kita pulang bu," Sinta menyahuti pembicaraan seraya mendekati ibunya.
"Kita semua butuh istirahat ibu, jangan memaksakan diri, aku yakin ayah juga pasti tidak ingin melihat kita sakit saat sadar nanti," sambung ucapan Sinta meyakinkan ibunya.
Ibunda Evan mengangguk mengikuti saran anak - anaknya. Tidak lama kemudian Sinta bersama sang ibu pulang meninggalkan rumah sakit.
Sekilas di dalam benak ingatan Evan yang terjadi pada siang itu...
"Aku muak dengan mereka, aku bersumpah tidak akan lagi berbicara dengan ayah sampai kapanpun."
...."Ayah, cepatlah sadar, aku ingin bicara banyak denganmu seperti dulu di waktu kecil, kau lah yang mengajariku berbicara dari balita hingga usiaku kini. Aku tidak peduli dengan permainan konyol itu lagi, maafkan aku ayah meski ucapan ku hanya sebatas batin ternyata ucapan itu benar - benar terjadi, apakah yang bisa aku lakukan untuk menghapus perkataan ku ? Aku tidak ingin ada keterlambatan dan penyesalan di akhir kejadian duka ini. Aku mencintaimu ayah, tapi cintamu kepada kami melebihi segalanya di dunia. Jangan tinggalkan kami ayah," Evan meneteskan air mata tulusnya, malam itu menjadi kisah pilu milik Evan.
***
Lima jam kemudian...Graak Graak... Suara pintu UGD tengah dibuka mendadak.
"Dok, pasien sedang tidak sadarkan diri, luka patah tulang kaki akibat kecelakaan, namun satu korban lagi tewas di tempat dan tidak tertolong," Suara perawat tengah melapor kepada dokter jaga UGD.
Evan terusik dengan suasana yang berubah panik, ia berdiri mencari sela - sela untuk memuaskan rasa penasarannya, mengendap - endap berjalan mengikuti perawat yang sedang mendorong tandu menuju mobil ambulan.
"Pasien bernama Sunny, korban kecelakaan. Satu korban lagi meninggal dunia akibat gagar otak, tewas di tempat bernama Dion." Percakapan petugas administrasi kepada perawat.
"Hmm korban kecelakaan motor sepertinya, andai Topas sekarang mengetahui ini pasti dia segera berhenti mengikuti balap motor yang penuh resiko itu," Evan membatin.
Rasa kantuk mulai datang menguji Evan, kali ini ia bertekad melawan hingga fajar menyapa. Dia menyibukkan diri dengan berdiri, jalan, duduk, berkali - kali menguap, dan berbicara bersama kursi kosong disekelilingnya.
"Aku harus terjaga, rasanya aku butuh minum kopi untuk membuka mataku lebih lebar lagi," Evan meninggalkan ruang tunggu UGD sejenak, ia berjalan melewati lorong - lorong sepi, hingga sesampainya di dekat kantin ia terkejut melihat Topas tengah berbicara dengan beberapa polisi di rumah sakit, Evan pun mendekati Topas.
"Baik pak polisi terimakasih atas pertolongannya," ucap Topas mengakhiri pembicaraan. Selanjutnya pihak polisi meninggalkan Topas.
"Eh Topas kenapa kau di sini ?"
"Lho Evan, kau sedang apa juga di tempat seperti ini ?"
Keduanya saling bercerita panjang lebar..
"Jadi ayahmu di ruang UGD Evan ?, aku juga ingin ke sana menemui seseorang, mari kita pergi," ajak Topas.
"Setelah aku membeli kopi ya, tunggu sebentar. Emm sebentar Topas, apakah kau ke ruang UGD berencana menemui seorang gadis ? Kalau tidak salah namanya Sunny ?," Evan menahan langkah.
Topas terkejut mendengar pertanyaan Evan.
"Iya, bagaimana kau bisa mengetahui Evan ?"
"Mungkin satu jam lalu aku melihat perawat sedang mengantar Sunny ke ruang UGD, apa dia pacarmu ? Tapi satu laki - laki lagi kabarnya meninggal, apakah dia yang menabrak kalian ?," Tanya Evan.
"Sudah jangan banyak tanya, ayo kita ke sana," jawab Topas.
***
"Rengganis," Sahut Atalas dengan keras sembari menuruni tangga.
"Atalas, kemari lah Roni sudah mengantuk tolong hantarkan dia untuk..."
"Sudah berapa kali aku mengatakan jangan terus mengucapkan nama itu, kalian tidak pernah tau siapa dia !, Pantas kah kalian membicarakan aku seperti ini ?," Atalas memotong perkataan Pak Sem.
"Keburukan ku bukan dari salah ku, itu karena Bapak yang telah menjadikanku seperti ini ! Sekarang semua orang menandai aku dengan sebutan remaja berkelainan seksual, Hiperseks, ya ! Itu anggapan mereka pak !" sambung ucapan Atalas dengan marah.
"Ada apa ini sayang ?," Bu Sem berlari menuju ruang tengah.
"Malam ini juga sebaiknya aku pergi, aku adalah monster bagi keluarga ini," ancam tegas Atalas.
"Tunggu Atalas, kami tidak bermaksud buruk membicarakan mu," bantah Boni.
"Hassh kau !, tau apa kau, orang baru yang berusaha memaksa memasuki hidupku, kau kira aku objek menarik untuk dikupas sebagai pemuas hasrat penelitian mu ?, urus hidupmu sendiri !," ketus ucapan Atalas.
"Atalas dengarkan Bapak, kamu tetap anak kami bagaimana pun keadaan mu, buanglah pikiran buruk seperti itu, kamu salah nak !," Pak Sem menyahuti.
Atalas berlari memasuki kamarnya, sesegera mungkin mengemasi barang - barang.
![](https://img.wattpad.com/cover/223133273-288-k275030.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Selamanya Remaja
Teen FictionKisah fiksi sebelas remaja yang dipertemukan oleh plot kompleks permasalahan ; identitas diri, cinta, impian, penghianatan, kesedihan, penyimpangan, kekocakan, dan kebahagiaan. Samanta si berandal, Felis sang penakluk wanita, Cherry si narsistik, Ir...