11 - Ngapel

45 8 0
                                    

Suara ketukan pintu terdengar. Seorang cowok yang sedang berdiri di depan pintu besar berwarna putih merasakan jantungnya berdegup cepat. Saat pintu terbuka, matanya menatap ke wajah seorang pria paruh baya yang terlihat tegas. Cepat-cepat ia menghalau rasa takut itu dan berusaha tersenyum.

"Malam, Om." Sapa Rizan sambil mencium punggung tangan Wira.

Bukan senyuman yang menyambut kedatangan Rizan, melainkan tatapan tajam yang tak bisa Rizan artikan.

"Siapa kamu?" Tanyanya sengit.

"Saya temennya Rean, Om."

"Ada perlu apa?"

"Tazianya ada, Om?"

Wira mengernyit bingung.

"Kamu temannya Rean kenapa nanyanya Tazia?"

Rizan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Berharap rasa canggungnya bisa hilang. Rizan meringis.

"Boleh saya ajak keluar anak, Om?" Rizan berpikir dengan ucapannya. "Maksud saya, Tazia, Om."

Tanpa mempersilahkan masuk, Wira justru mewawancarai Rizan di pintu rumah. Wira yang berada di dalam rumah dan Rizan yang berada di luar rumah. Baik sekali Om Wira ini.

"Ada hubungan apa kamu dengan anak gadis saya?"

Rizan terlihat memainkan jari-jarinya di bawah. Ia bingung harus menjawab apa lagi.

Belum sempat Rizan menjawab, suara perempuan paruh baya terdengar dan terlihat menghampiri keduanya.

"Ada siapa sih, Mas?"

Perempuan itu sedikit terkejut melihat keberadaan Rizan. Namun, sedetik kemudian ia tersenyum lebar. Jauh sekali dengan Wira.

"Eh, ada tamu ya? Mas bukannya suruh masuk ih, kok malah ngobrol di sini sih? Ayo, masuk, nak." Ella menarik tubuh Rizan begitu saja. Menghiraukan keberadaan suaminya.

Ella menyuruh Rizan untuk duduk di sofa berwarna krem. Rizan memperhatikan sekeliling. Tak ada tanda-tanda keberadaan Rean dan Tazia. Ke mana mereka?

"Kamu temennya Rean atau Tazia, sayang?" Tanya Ella dengan lembut.

Rizan tersenyum kaku. "Saya mau ketemu Tazia, Tante." Ucapan Rizan tidak nyambung dengan pertanyaan Ella barusan. Namun, Ella mengerti. Ia tersenyum penuh arti.

"Sebentar ya, Tante pang-"

Belum selesai Ella bicara, sebuah suara serak terdengar dari arah tangga. Terlihat Tazia dengan wajah berantakan.

Rizan tersenyum senang. Ia merasa ada penyelamat datang. "Dek," sapa Rizan.

Tazia berjalan mendekat ke arah Rizan namun tak berniat duduk di sebelahnya. Bahkan senyum pun tak ia beri pada kakak kelasnya ini.

Wira duduk di ruang tamu, memperhatikan mereka semua lewat mata tajamnya itu.

"Ngapain Kakak ke sini?" Tanya Tazia ketus.

Rizan melihat Tazia dengan perbedaan yang sangat drastis. Beda dengan di sekolah.

"Yang sopan dong, nak." Peringat Ella pada Tazia sambil mengelus bahu Tazia lembut. Dengan gerakan cepat Tazia menyentak tangan itu. "Gak usah ikut campur!"

Merasa suasana berubah menjadi sangat tidak enak. Rizan angkat suara. "Dek, keluar, yuk?"

Yang benar saja? Rizan mengajaknya keluar di depan ibu tirinya? Dan sudah Tazia pastikan, ayahnya itu mendengar ajakan Rizan tadi.

"Tunggu bentar, gue ganti baju dulu."

Tazia berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Meninggalkan Rizan seorang diri. Lebih tepatnya merasa sendiri karena tak ada Rean dan Tazia. Yang ada hanya kedua orangtua mereka.

Rizan bingung. Mengapa ada orangtua mereka di sini? Bukannya mereka jarang pulang? Bahkan hampir tak pernah pulang ke rumah. Karena mereka lebih memilih tinggal di kantor yang terdapat sebuah kamar kecil, cukup ditempati oleh Wira dan Ella.

"Kamu pacarnya Tazia ya? Siapa nama kamu?" Tanya Ella dengan ramah.

Rizan kembali dibuat bingung. Mamanya ini terlihat sangat baik bahkan kelewat ramah. Tapi mengapa tadi Tazia seperti tidak suka dengan perempuan yang berada di sebelahnya ini?

"Belum, Tante." Menyadari ucapan tadi, Rizan meralat. "Bukan, maksudnya."

Ella tersenyum. "Kalo emang bener pacar juga gak pa-pa kok,"

"Nama saya Rizan, Tante. Sebenernya saya temen kelasnya Rean, tapi saya ada perlu sama Tazia. Boleh 'kan, Tante?"

"Boleh dong, lagi pula sekarang malam Minggu 'kan? Jadi wajar kalo Tazia ada yang ngapelin, cowoknya ganteng begini lagi, aduh."

Rizan tertawa kecil. Tak lama Tazia datang dengan penampilan yang cukup rapi dari sebelumnya. Namun mata sembabnya itu masih ketara jelas.

"Ayo, Kak, cabut sekarang aja."

Entah mengapa, Rizan melihat Tazia seperti seorang bad girl. Gadis tomboy dan sangat berbeda dengan seorang Tazia yang sebelumnya.

Belum sampai di pintu rumah, jalan keduanya dihadang oleh Wira.

"Mau ke mana kamu malam-malam begini?"

"Minggir, aku mau jalan sama Kak Rizan. Ngapain di rumah, ada Papa sama Ibu tiri. Gak bebas." Tazia menarik napas, menahan rasa sesak di dada. Kemudian ia melanjutkan lagi ucapannya. "Lagian, kenapa pake pulang segala sih? Biasanya juga gak pernah pulang,"

Wira melotot. "Ngomong apa kamu ini, Tazia?"

"Awas, aku mau lewat." Tazia menarik tangan Rizan, melewati Wira begitu saja.

"Saya izin bawa Tazia sebentar ya, Om. Janji pulangnya gak kemaleman. Permisi, Om, Tante!"

Dan keduanya dibawa ke sebuah taman yang letaknya tak jauh dari rumah Tazia. Rizan pikir, Tazia butuh curhat bukan naik wahana di pasar malam. Jadi ia urungkan niatnya itu.

Tazia menceritakan semuanya dan menangis dalam pelukan Rizan.

Gue gak pernah mau punya ibu tiri, Kak. Gue juga udah tenang dan ngerasa enak kalo di rumah cuma berdua sama Kak Rean, gak ada Papa apalagi ibu tiri itu. Batin Tazia sambil menangis sesegukan di bahu Rizan.

•••

Vote comment💚

RIZZIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang