Ada Aku, di Matamu - pjm.myg

420 11 0
                                    

Perkenalkan namaku Park Jimin, asalku dari Busan tapi kini sedang menetap di Seoul. Hobiku menduplikasikan keindahan dan menggandakan kebagusan. Ada yang tahu?

Ya, fotografi. Aku menyukainya. Tapi orang-orang tak suka jika aku melakukan itu. Katanya, "Selesaikan dulu skripsimu, Park! Baru kau boleh bermain dengan kamera kesayanganmu itu!" Setidaknya itu kata ibuku.

Aku memang sedang menggarap skripsiku yang tak kunjung selesai, menyebalkan! Tapi entah mengapa tingkat keinginanku untuk memegang kamera menjadi naik berkali-kali lipat.

Memotret kumbang yang sedang bermesraan, memotret kupu-kupu yang sedang mencari madu, memotret preman yang sedang memalak seorag pelajar, atau sekadar memotret ramainya jalanan Seoul saat jam pulang kerja. Aku menyukainya, menurutku itu arti kebahagiaan yang sesungguhnya dalam hidupku.

Hari ini suhu udara mencapai minus 8 derajat celcius, sungguh dingin bukan? Tapi aku pernah merasakan sampai minus 16 derajat celcius, dan aku masih bertahan sampai sekarang. Setidaknya ada mantel tebal berlapis-lapis yang melindungiku. Karena hari ini dingin, aku putuskan untuk berkunjung ke kafe milik sahabatku, Min Yoongi.

Pria manis dengan rambut berwarna mint itu sedang mengelap sudut meja saat aku datang. Tak ada senyuman atau sapaan 'Selamat datang Park Jimin' yang keluar dari mulutnya. Yang ada hanyalah tatapan tak peduli yang sebenarnya aku tahu bahwa ia senang jika aku datang kemari.

"Hai Min, kurasa kau tahu apa yang aku inginkan disaat cuaca dingin begini."

Masih dengan aktifitasnya, Yoongi mengiyakan pesananku dan langsung ke belakang untuk membuatkannya. Selang beberapa menit, ia datang sambil membawa pesananku.

 Selang beberapa menit, ia datang sambil membawa pesananku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Wahh, kurasa ini akan sangat enak." Aku menempelkan kedua telapak tanganku ke gelas berisi Macchiato hangat buatan Yoongi ini.

"Jangan lupa bayar, Park!" Pria manis beraura dingin itu berujar dengan sangat tak berperikemanusiaan. Bagaimana bisa dia membiarkan sahabatnya membayar untuk segelas macchiato dari kafe nya sendiri? Ck! Menyebalkan kau Min Yoongi!

Aku memutar dudukku, menghadapnya. "Yak Min Yoongi! Kau tega melihat sahabatmu membayar segelas macchiato, padahal ini kafe milikmu?"

"Kau kira aku membuatnya tidak dengan uang, hah!" Seperti biasa, dia sangat dingin kepadaku. Ralat, kepada siapa saja.

"Baiklah-baiklah, kau tambahkan saja ke dalam daftar hutangku. Bukankah setiap akhir bulan aku membayarnya?" Kataku.

"Dan sudah 2 bulan ini kau tidak membayarnya, Park. Dasar tak tahu malu!" Bibirnya mengerucut lucu, aku jadi gemas.

"Kali ini akan aku bayar, Min."

Seperti biasa dia akan menemaniku. Walaupun dia pria dingin tak berperasaan, tapi aku tahu bahwa dia sebenarnya hangat di dalam. Dia peduli, dia baik, dia penyayang, dan dia dewasa. Itulah mengapa aku, menyukainya?

Beberapa menit dalam keheningan, lalu Yoongi bertanya. "Skripsimu bagaimana?" Dia bertanya sambil mengotak-atik ipad yang dia bawa sambil menemaniku.

Aku menjawab tanpa menengok karena aku sedang sibuk melihat hasil jepretanku tadi. "Tidak bagaimana-bagaimana,"

Hembusan nafas diiringi samar-samar asap yang keluar, berasal dari Yoongi yang tiba-tiba merebut kameraku.

"Yak, Min Yoongi! Kembalikan kameraku!"

"Tidak! Sebelum kau menyelesaikan skripsimu, Park!"

"Dasar menyebalkan!"

Aku tahu dia peduli, tapi tidak dengan cara ini kumohon, itu kamera kesayanganku.

Aku pasrah, hembusan nafas 'oke baiklah akan aku jawab pertanyaanmu Min Yoongi' keluar dari mukutku. Setiap pertanyaan Yoongi harus dan wajib diawab, karena aku tahu jika aku tak menjawabnya, dia akan menyita kameraku lagi, seperti hari-hari kemaren. "Baiklah Min Yoongi. Skripsiku seperti biasanya, masih dipenuhi dengan tinta merah yang membuatnya bertambah indah." Kataku.

Tatapan tak bersahabat selalu dia berikan padaku, "Dasar bodoh! Bagaimana bisa kau sebodoh ini, Park!" Dia mengembalikan kameraku, sudah kubilang bukan dia itu sebenarnya penyanyang.

"Aku malu memiliki sahabat sepertimu, dasar!" Kalimat lanjutannya benar-benar menghinaku.

"Terserah kau saja Min Yoongi, aku tahu aku sangat tampan."

Pletak!

"Bodoh! Sama sekali tidak nyambung!"

Aku rasa Yoongi sedang tidak sehat sekarang, terbukti dari kalimat yang ia lontarkan selalu diakhiri bertanda seru. Dasar pemarah!

"Kau baik-baik saja?" Tanyaku serius.

Raut mukanya memang datar, tapi dari situlah aku bisa menebak bahwa dia sedang punya masalah. Jangan tanya mengapa aku tahu semuanya tentang Yoongi, sudah kubilang bukan bahwa aku sahabatnya. Sudah dari kecil kami bersama, seakan Tuhan memberikan air untuk api yang menyala. Iya, Yoongi apinya dan aku airnya.

"Ya, seperti yang kau lihat." Jawabannya tak bersemangat.

"Aku tahu bagaimana dirimu, Min. Aku yakin kau tidak dalam mode baik sekarang."

Lagi-lagi Yoongi menghembuskan nafasnya, lalu senderan di sofa yang tersedia di ruang VIP khusus pelanggan. Tempat kami berdua duduk sekarang. "Aku--" Dia menggantung kalimatnya. Raut wajah yang terlihat sangat sedih membuat hatiku ikut merasakan kesedihan yang terpancar jauh dari dalam dirinya.

"Ceritalah, kau butuh sesorang untuk meringankan beban pikiranmu." Kataku yang berusaha menjadi sahabat terbaik untuknya.

Aku mendekat, berusaha meraih pundaknya dan mendekapnya dengan sebelah tanganku. Kurasakan dia mulai rileks dan mulutnya terbuka untuk bercerita.

"Namjoon,"

BANGTAN ONESHOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang