EMPAT

68 25 2
                                    

Seperti biasa, bantu aku temukan typo ya😊

Happy reading teman-teman:')

Jangan lupa siapkan tisu.

.
.
.
.
.
.
.
.

Aku sudah sampai dirumah, Zenith pun sudah pamit pulang. Saat hendak masuk, aku mendengar suara keributan didalam rumah.

“Kamu tahu apa hah?! Aku ini pergi keluar kota buat kerja, nyari uang buat kamu sama anak kita! Tapi kamu malah nuduh yang engga-engga! Dituduh selingkuhlah!” Suaranya semakin keras dan terdengar semakin membentak.

“Aku gak asal nuduh ya! Aku tahu selama kamu pergi kamu itu selingkuh sama perempuan lain. Dan aku pernah liat kamu sama perempuan itu jalan berdua. Apa itu yang bukan namanya selingkuh?! Harusnya kamu pikirin keluarga, istri, dan anak kita. Jangan main dibelakang gini! Kalau kamu udah gak suka sama aku bilang Mas jangan kayak gini. Hati aku sakit mas, liat kamu sama perempuan lain.” Itu suara Mamah.
Mamah menangis. Isakannya semakin terdengar tatkala aku urung untuk masuk kedalam rumah.

Tuhan, masalah apa lagi yang harus aku dengar. Hatiku sakit ketika kedua orang tuaku bertengkar hebat. Hatiku teriris kala mendengar suara tangisan Mamah yang begitu pedih terdengar di telingaku. Aku harus apa. Masuk dan melerai mereka? Aku tahu jika aku melerai mereka aku malah membuatnya semakin kacau. Namun aku tak bisa diam seperti ini. Aku kasihan melihat Mamah menangis.

Setelah tak terdengar suara keributan, aku pun membuka pintu. Aku langsung dihadiahi tatapan tajam dari Papah.

“Kamu kemana aja hah?! Jam segini baru pulang? Kamu mau jadi anak nakal? Kamu tuh perempuan, gak usah kelayapan gak jelas!” Papah membentakku. Dan Mamah geram melihat perilaku Papah padaku.

“Kamu tuh apa-apaan sih Mas? Bisa gak sih gak usah membentak Nadir kayak gitu. Dia gak salah. Jangan lampiasin emosi kamu sama dia!” Mamah membelaku. Aku hanya diam karena sakit hati atas bentakan dari Papah.

“Gak salah darimana sih? Jelas-jelas dia itu kelayapan. Gak tau aturan emang. Memang ya Mamah kamu itu gak bisa didik kamu dengan baik!” Lagi-lagi Papah membentak. Suaranya semakin lantang. Aku yang mendengar ucapan Papah langsung marah.

“Bukan Mamah yang gak bisa didik aku. Tapi Papah yang gak bisa didik aku dengan baik! Papah yang selalu gak ada waktu buat aku. Kemana Papah yang dulu? Yang selalu temenin aku, selalu ada buat aku. Kemana Pah?? Aku benci sama Papah!” Aku menangis dan melenggang pergi ke kamar. Aku tak sanggup lagi untuk menahan tangis yang sedari tadi membendung di mataku. Air mataku tumpah setelah meluapkan emosi yang telah kutahan.

Aku tak pernah membayangkan keluargaku akan seperti ini. Semuanya terasa mustahil, namun nyata. Aku tak pernah ingin, kehidupan orang tua ku diambang kehancuran. Aku hanya ingin kami bertiga hidup dengan bahagia. Penuh dengan canda dan tawa. Bukan isak tangis seperti ini. Aku merasa sakit hati setelah bentakan Papah yang sekarang malah terngiang-ngiang ditelingaku. Aku hancur. Aku tak mau terus-terusan seperti ini. Rasanya begitu sakit dan pahit. Aku juga tak mau Mamah merasakan hal yang sama sepertiku. Aku tahu ini pasti berat untuk Mamah. Aku harus tetap berada disamping Mamah. Menguatkannya walau itu juga terasa berat bagiku. Tapi hidup Mamah lebih berarti daripada harus terus disakiti oleh Papah. Aku tak bisa membiarkan ini terus-menerus terjadi. Aku harus memikirkan bagaimana cara agar semua bisa baik-baik saja seperti semula.

Setelah lama menangis, mataku sembab. Aku pergi membasuh wajah, kemudian pergi tidur untuk melupakan semua hal yang terjadi hari ini. Karena setelahnya,aku harus menerima hal yang lebih menyakitkan dari hari ini.

***

“Dir, maafin Papah kamu ya, kemarin Papah kamu lagi emosi sama Mamah jadi mungkin malah ngelampiasin ke kamu.” Mamah berbicara seperti itu seakan-akan Mamah yang salah. Aku tak suka. Harusnya Papah yang meminta maaf.

“Mamah gak perlu kayak gini, mungkin aku emang salah kemarin pulang sampai malam. Lagian Papah gak seharusnya marah sama Mamah. Aku udah dengar semua yang Mamah sama Papah omongin. Entah siapa yang benar, jujur aku gak suka Mah, rasanya sakit liat Mamah sama Papah kayak kemarin.” Aku mengeluarkan isi hatiku yang aku pendam sedari malam.

“Dir lupain ya kejadian kemarin. Gak seharusnya kamu dengar apa yang Mamah sama Papah omongin. Dan maaf Dir bikin kamu kena bentakan dari Papah,” Mamah memotong ucapanku.

“Buat lupain semua yang aku denger kemarin kayaknya susah Mah, aku gak yakin. Udah dulu ya Mah, aku pamit berangkat sekolah. Jaga diri baik-baik ya Mah. Assalamu’alaikum.” Aku mencium punggung tangan Mamah lalu kemudian pergi.

Maaf ya chapternya sedikit. Nanti bakalan panjang deh dari ini.

Waktu aku baca part ini, aku beneran nangis. Rasanya aku kayak ada di posisi Nadir. Aku kebawa sama alur ceritanya.

Siapa yang sama kayak aku? Nangis gara-gara baca chapter ini.

See you next part ya:')

Jangan lupa Vote dan Comment ceritaku😉

Tap ⭐ dipojok kiri😄

Salam hangat dari author😊

Instagram: @syarasabilla

Rabu , 20 Mei 2020

ZENITH & NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang