TUJUH BELAS

23 9 2
                                    

Spesial HUT RI yang ke-75, aku up chapter ini😚

Nadir yang berlari pergi dari rumah, memberhentikan larinya. Ia menepi di pinggir jalan kompleknya. Nadir menangis, lalu menyeka air matanya yang mengalir. Berjongkok dan menundukkan kepalanya menatap jalanan.

Hari ini rasanya kacau. Semua terasa berat. Ia sedih melihat Mamahnya menangis. Ia juga sedih karena dia harus bertengkar hebat dengan Papahnya. Rasanya hancur. Apakah keluarganya ini tak akan kembali utuh seperti semula?

Dari arah kanan, Jonathan berlari menghampiri Nadir, lalu berjongkok di samping Nadir. Mengusap puncak kepala Nadir dengan pelan. Nadir pun mendongak menatap Jonathan.

"Jo," panggil Nadir dengan lirih. Ia masih menangis.

"Kenapa?" jawab Jonathan menatap Nadir.

"Apa keluarga gue gak bakal balik lagi kayak dulu ya? Kenapa selalu aja ujung-ujungnya keluarga gue bertengkar kayak gini. Kenapa selalu aja ada masalah di keluarga gue," tanya Nadir yang menangis terisak. Ia sudah lelah merasakan semuanya. "Gue capek, Jo."

Jonathan menghela nafasnya pelan, ia mengusap punggung Nadir. "Dir, lo tau kan bianglala? Ketika lo naik bianglala itu, lo bakal berada di atas, di tengah, atau bahkan di bawah. Pergerakannya berputar. Gak akan stay terus di situ. Begitu pula, ada masa kehidupan keluarga lo berada di atas, di tengah, atau di bawah. Mungkin, emang sekarang posisinya lo ada di bawah. Tapi lo harus percaya, kalau lo bakal naik ke atas. Gak berada di bawah terus." Jonathan masih mengusap punggung Nadir dengan tangan kanannya. Ia mengambil tangan Nadir dan menggenggamnya dengan tangan kirinya.

"Liat gue. Lo sendiri yang bilang sama gue, buat jangan sedih. Lo yang selalu nguatin gue kala gue rapuh. Jadi buat saat ini, gue bakal temenin lo. Lo Adik gue. Jangan nangis. Lo gak sendiri. Ada gue di sini." Jonathan menarik Nadir ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan tangis Nadir.

"Jo, makasih ya mau jadi Kakak buat gue. Lo emang sepupu sekaligus Kakak yang baik. Gue gak tau lagi, kalau gak ada lo, mungkin gue udah nyakitin diri gue sendiri." Nadir mengeratkan pelukannya. Ia merasa tenang.

"Syut ..., udah dong nangisnya. Jangan nangis terus. Lo jelek kalau lagi nangis."

"Ish nyebelin ih lo!" Nadir mendengus kesal kala Jonathan mengacak-ngacak rambutnya.

"Nanti kalau ketemu Papah lo, lo harus minta maaf. Lo juga salah, harusnya lo gak bentak Om. Janji ya, nanti lo harus minta maaf?"

"Iya, Jojon, gue bakalan minta maaf."

"Loh kok panggil Jojon sih? Tadi aja pas lagi nangis lo panggil gue Jo." Dengus Jonathan.

"Khilaf itu mah!"

"Dasar gak ada akhlak! Laper gak? Makan yuk? Kita makan bubur depan komplek," ajak Jonathan sembari berdiri. Nadir pun ikut berdiri.

"Yok, gue udah lama gak makan bubur di situ."

"Lap dulu tuh ingusnya, jijik banget gue liatnya!" kata Jonathan mengejek.

Nadir spontan langsung memegang lubang hidungnya, karena takut dengan apa yang dibicarakan Jonathan. Setelah memeriksa, Nadir mendelik menatap Jonathan.

"Gue gak ada ingus, Jojon!" Sedangkan Jonathan malah tertawa karena berhasil membodohi Nadir.

"Ah sepupu laknat!" teriak Nadir dan langsung berlari mengejar Jonathan.

***

Zenith yang rindu pada bubur depan komplek Nadir, langsung mengajak Alby, Titan, dan Wisnu untuk sarapan di sana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ZENITH & NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang