Empat Puluh

4.8K 339 14
                                        

Apa sebaiknya aku menemui nenek?

Tari mondar-mandir di kamarnya. Temui tidak. Temui tidak. Ia menatap jam dinding. Telah menunjukkan pukul sembilan malam. Jika ia menemui nenek, apa kira-kira reaksi nenek padanya nanti? Apa nenek akan senang saat melihatnya atau justru kesal?

Teringat ucapan nenek yang menyuruhya menjauhi Evan, ia menggeleng bingung. Tapi, nenek bersikap seperti itu karena belum mendengar ucapan Ivy di toko tadi.
Tari menggeleng, lalu mengembuskan napas. Jika ia memilih tak menemui nenek, apa kira-kira yang akan dipikirkan nenek tentangnya? Dan jika ia menjenguk nenek, bagaimana ia harus menghadapi Evan nanti?

Meskipun sampai detik ini masih mencintainya, namun ia tak berharap bisa kembali bersama dengan lelaki itu. Evan sudah jelas-jelas mengatakan kalau ia sudah jatuh cinta pada Ivy. Mengingat ucapan itu, Tari menggigit bibir, mencoba menepis rasa sakit yang menekan hatinya.

Temui tidak. Temui tidak.

Tari terus mondar-mandir dengan gelisah. Meyakinkan niat, akhirnya ia mengangguk. Segera ia membuka pintu kamarnya, ia terlonjak kaget sampai mundur ke belakang saat mendapati ibunya di ambang pintu tersenyum manis. Tangannya yang membawa mangkuk susun, terulur ke arah Tari.

“Sudah mama siapkan bubur kesukaan nenek.”

“Maa.”

“Ini saatnya kamu mendapatkan kekasihmu kembali. Kamu sendiri tadi yang bilang, kalau mereka menikah karena kecerobohan gadis itu.”

Tari menatap perempuan di hadapannya yang terlihat begitu semringah. Sejak pernikahannya batal, ibunya tak pernah tersenyum seriang ini. Ia akhirnya menerimanya lalu melangkah keluar.

“Dapatkan cintamu kembali.”

Tari tak mau kembali berharap dan pada akhirnya kembali disakiti. Namun untuk membuat ibunya yang menderita jantung koroner senang, ia mengangguk kecil. Seperti dugaannya, sang ibu langsung tersenyum. Wajahnya yang bermake up tipis terlihat riang.

“”Semangat!” sang ibu mengangkat tangan lalu mengepalkannya ke udara. Hatinya sungguh senang. Tak sia-sia ia membujuk dokter dengan imbalan uang agar mengatakan bahwa ia menderita penyakit serius. Padahal sebenarnya, waktu itu ia masuk rumah sakit karena kelehan saja sehingga jatuh pingsan.

“Salam untuk Evan.”

Tari mengangguk kecil lalu melangkah keluar menuju sepeda motornya diparkir di halaman rumah. Jalanan yang lengang membuat Tari segera tiba ditujuan.

Tari tersenyum getir saat melihat Ivy tengah berbincang akrab dengan nenek. Sementara Evan yang berdiri di samping Ivy duduk, tampak tengah memperhatikan gadis yang telah merusak hari yang seharusnya menjadi hari kebahagiaannya dan Evan.
Setetes air bening yang menetes di pipi segera Tari usap dengan ibu jari. Ia memaksa bibirnya mengulas senyum lalu mengucap salam.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam,” sahut nenek. Ia tersenyum lebar lalu melambaikan tangan.

Di luar dugaan Tari, nenek ternyata menyambutnya dengan ramah. Ia mendekat ke arah nenek lalu meletakkan bawaannya di meja kecil.

“Bagaimana keadaan nenek? Apa nenek sudah baikan?"

“Tentu saja sudah. Aku tidak sakit. Aku sedang sangat bahagia.”

Tari mengangguk kecil. Tangannya menggenggam tangan nenek. Ia sungguh merindukan saat-saat seperti ini.

“Sebentar lagi, Ivy akan tinggal bersamaku.” Nenek berkata dengan wajah berbinar senang. Wajahnya terlihat tengah membayangkan sesuatu yang menyenangkan.

Tari tersenyum getir. Apa sesuatu telah terjadi?

“Aku hanya ingin tahu keadaan nenek saja. Tenyata nenek baik-baik saja. Aku sangat senang. Aku akan langsung pulang, Nek.”

Nenek langsung mengangguk. “Terima kasih sudah menjenguk.”

Ganti Tari yang mengangguk. Ia membalikkan badan lalu melangkah tergesa keluar dari ruangan itu. Wajahnya terlihat begitu terpukul. Walau ia senang karena nenek menyambutnya dengan ramah, tetapi sikap Evan padanya ....

Tari menggigit bibir, setetes air yang jatuh bergulir di pipinya ia usap dengan gerakan tak sabar. Ia sangat sedih. Ia memang tak lagi berharap bisa kembali bersama dengan Evan, tetapi melihat Evan yang terlihat tak lagi menginginkannya, itu membuatnya sangat terpukul. Ternyata, semudah itu Evan melupakannya. Ternyata, ia tak lebih seperti orang yang hanya numpang lewat di hati evan.

Tak tahan lagi menanggung kesedihan, Tari memilih duduk di bangku panjang lalu menutupi wajah dengan tangan. Bahunya terlihat turun naik. Isakan kecil terdengat terputus-putus dari mulutnya. Rasanya begitu sesak ... dan sangat sakit. Allah, kenapa Engkau timpakan ujian ini padaku? Kenapa, Allah?

“Hei, gadis! Kenapa menangis di sini? Suaramu membangunkan ibuku yang sedang tidur!”

Tari tersentak. Jari-jemarinya sibuk mengusap-usap matanya yang basah. Ia mendongakkan wajah.

“Tari!”

Tari terdiam.

“Dua kali bertemu dan aku selalu melihatmu dalam keadaan menangis. Apa karena temanku?”

Tari langsung menggeleng.

“E-enggak,” dustanya. “Tadi aku ... aku menemui nenek.  Aku sedih karena tak tega melihat nenek masuk rumah sakit.”

Reyhan manggut-mangguk.

“Kak Rey, aku pamit dulu,” ucapnya sambil berdiri.

Reyhan tersenyum kecil. “Tari,” panggilnya. Yang dipanggil langsung mengangguk. “Ya?”

“Kuberi tahu sesuatu padamu. Aku dan Ivy akan segera menikah.”

Tari menatap Reyhan tak percaya.

“Menikah?”Pelan. Sarat keraguan.

Reyhan mengangguk mengiyakan dengan wajah berseri. “Yaa. Benar kataku, kan, bahwa Evan dan Ivy tak ada apa-apa. Kupastikan aku akan mengundangmu dan Evan.”

Tari masih menatap Reyhan tak percaya. Cowok itu tersenyum kecil lalu kembali masuk ke kamar ibunya meninggalkan Tari yang terus berdiri dengan wajah bertanya-tanya.

Jika Reyhan akan menikah dengan Ivy, kenapa nenek terlihat begitu bahagia? Bahkan nenek berkata, Ivy akan tinggal di rumahnya. Tari benar-benar bingung. Sangat bingung.

🌹Selamat hari Fitri bagi yang muslim. Maafkan atas kesalahanku, ya, Teman. Lebaran kali ini sungguh sepi di tempatku, pada tutupan pintu. Aku di rumah ajaa. Dipaksa Nikah UP nanti sore, yaa

🌹 Wajah para tokoh ada di Instagram @fitri_soh

Terpaksa Nikah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang