Ivy membuka matanya sedikit saat merasakan semilir angin membelai tubuhnya. Matanya menyipit saat menatap ke arah jendela yang terbuka lebar, silau oleh cahaya matahari pagi yang mulai mentereng menghias langit. Sayup terdengar suara sepatula yang beradu dengan penggorengan. Ivy mendesah kesal. Merasa begitu muak saat membayangkan kejadian semalam.
Bunyi sandal yang diseret mendekat membuat Ivy langsung memejamkan mata pura-pura tidur.
“Vy.”
“Vy.”
“Aku sangat mengantuk. Jangan mengajakku bicara karena aku sedang tidur.”
“Mana ada orang tidur bisa bicara, Vy?”
“Sekarang aku sudah tidur.”
“Jangan kekanak-kanakan. Cepat bangun. Aku sudah siapkan sarapan. Kamu tak ingin, kan, maghmu kambuh?”
“Tak usah sok perhatian padaku.”
“Katanya sedang tidur, tapi tetap bisa menjawab ucapanku.”
Ivy menyentak selimut dari tubuhnya. “Aku harus segera ke toko. Ada banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan!”
“Sejak kapan kamu bekerja? Biaasanya, kamu hanya menghitung pemasukan dan pengeluaran saja dari hapemu."
Ivy menyentak napas kesal. Ia menatap Evan dengan wajah sinis lalu mendorong lelaki itu yang sama sekali tak bergeming dari tempatnya berdiri. “Apa kamu sengaja membuatku kesal? Apa kamu bodoh, Van!”
Evan langsung mengernyit. “Apa aku membuatmu kesal lagi?”
“Stop pura-pura tak terjadi apa-apa, Van! Apa kamu ingin tahu sesuatu? Kuberitahu padamu, aku benci padamu, Van! Benci! Benciii!” Ivy mengangkat tangannya lalu memukuli Evan sampai hatinya merasa puas. Lelaki itu hanya memperhatikan Ivy dengan mulut tertutup rapat.
Ia memang salah. Tetapi, semua bukan semata-mata kesalahannya. Ivy juga salah. Siapa suruh terus menyebut lelaki itu seolah temannya itu begitu sempurna?
“Mulai hari ini, aku tak ingin melihatmu lagi! Kita sudah impas. Aku menghancurkan pernikahanmu dan Tari, kamu juga menghancurkan hidupku. Aku tak akan bersama dengan Kak Reyhan. Mulai saat ini, aku tak ingin bertemu denganmu lagi!”
Evan masih mematung mencerna ucapan Ivy saat gadis itu berlari ke ruang tamu lalu memasukkan baju-baju Evan ke dalam ransel dengan wajah kesal. Sesekali, ia mengusap air matanya yang menetes dengan punggung tangan.
“Tentu saja kita akan pindah ke rumah nenek, Vy. Sekalian saja masukkan bajumu.”
Ivy menatap Evan dengan wajah heran bercampur sebal.
“Coba kamu lapor polisi atas perbuatanku, aku yakin kamu akan ditertawakan.”
“E-vaan!”
Evan mendekat. Ia raih tangan Ivy lalu menariknya menuju ruang makan di mana aneka makanan telah tertata di atas meja. Aromanya yang menggiurkan, membuat Ivy tertegun sesaat. Ia menarik napas panjang saat wajah yang selalu tersenyum lebar, tiba-tiba membayang di benaknya.
Kapan terakhir kali wanita bertutur halus itu menyajikannya makanan untuknya? Andai peristiwa tragis itu tak terjadi ....
Evan menggeser kursi ke belakang, ia tekan kedua bahu Ivy sampai gadis itu terduduk di kursi.
“Kamu tak ingin maghmu kambuh, kan?”
Ivy merebut piring yang disodorkan Evan, dengan cepat mengisinya dengan nasi dan lauk lalu mulai menyuap.
“Tentu saja aku harus makan, aku tak ingin maghku kambuh.”
Evan tertawa kecil. Ia mengangkat ibu jarinya ke udara sambil kembali tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Nikah (TAMAT)
RomansaIvy Swastika Maharani Terlahir dari keluarga berada, cantik, pintar, juga mandiri. Sayangnya, tak pernah berpikir panjang dan begitu ceroboh. Karena kecerobohannya, ia harus terjebak pernikahan dengan Evan, mantan pacar sahabatnya yang selalu jute...