"Terima kasih sudah mengantarku. Sekarang, kamu boleh pulang," kata Ivy sambil melangkah menuju teras rumahnya. Ia membuka kunci dan menoleh saat mendengar helaan napas. Ia mengernyit melihat Evan berdiri di dekatnya bukannya segera pergi.
Ivy mengerutkan kening, memandang Evan dengan wajah heran. "Cepat pergi. Mau apa kamu terus di sini? Besok, aku akam urus perceraian kita, Van," katanya dengan suara pelan. Malas ribut. Percuma saja meladeni Evan. Lelaki itu sepertinya mulai gila. Bagaimana mungkin tahu-tahu menemui Bu DesMerasakan sakit di hatinya, Evan menghela napas. Ia dorong pintu hingga membuka dan
menghempaskan tubuh ke sofa. Ivy menyusul duduk di sofa seberang Evan, menatap lelaki itu dengan tatapan tak senang."Maumu apa sebenarnya, Van? Kamu sudah mengacau. Maumu apa lagi sekarang? Seharusnya kita sudah impas. Aku bahkan sudah mengaku pada nenek dan Tari. Kamu juga sudah mengacau sampai membuat calon mertuaku masuk rumah sakit dan hubunganku dan Kak Reyhan kini kacau gara-gara ulahmu." Ivy mengingatkan, tatapannya pada Evan memancar sinis.
Evan menegakkan tubuh, menatap Ivy dengan wajah tampak lelah. "Vy, seperti yang kukatakan. Aku serius dengan pernikahan kita."
Terlihat penuh harap wajah itu, tapi Ivy tak peduli. Menikah tanpa cinta dan menjalani kehidupan tanpa saling menyayangi buat apa? Hanya konyol dan kesia-siaan. Hidup hanya sesaat, harus diisi dengan kebahagiaan. Bukankah begitu?
"Pergi kamu, Van. Muak aku dengan sikapmu yang seperti ini." Ivy menyentak napas tak senang. Ini makhluk kenapa bebal sekali?
"Aku tak akan pergi karena aku suaminu. Dan kita tidak akan bercerai." Evan berdiri, melangkah cepat ke arah Ivy yang langsung membuat perempuan itu beringsut mundur ketakutan.
"Mau apa kamu, Van?" tanyanya sambil beringsut mundur. Didorongnya tubuh Evan menjauh dan beranjak berdiri. Tapi lelaki itu menyambar tangannya kuat sampai ia kembali terduduk di sofa.
"Mau apa kamu, Van?" tanya Ivy dengan wajah ketakutan saat suaminya itu mendekat.
"Aku tau, satu-satunya cara agar kamu bertahan bersamaku adalah membuatmu hamil anakku."
Ivy menepis kuat tangan Evan yang terjulur ke arahnya. Wajah Evan yang tampak sungguh-sungguh dengan perkataan yang barusan diucapkan, membuatnya takut. Apalagi saat suaminya itu merengkuhnya, dengan tatapan seolah ingin memakannya bulat-bulat.
Kalut, juga takut hal yang dulu dilakukan Evan bakal terulang kembali, diraihnya cepat pisau lipat di atas keranjang buah lalu menghunjamkannya ke perut Evan. Sekali. Dua kali.Evan meringis merasakan nyeri di perutnya. Ivy membelalak tak percaya melihat darah di tangannya. Tangan Ivy gemetar. Bersamaan dengan ditariknya kuat pisau itu dari perut Evan, tubuh Evan limbung oensofa.
"Bunuh saja aku, Vy. Tapi ingat aku akan bergentayangan menghantuimu mengganggumu dan Reyhan."
"Van. Van. Kamu tidak apa-apa, Van?!" Ivy terisak. Wajahnya luar biasa panik. Evan menyandar di sofa dengan wajah tampak kesakitan. Teringat darah di mana-mana mengotori ruang tamu rumahnya dulu sekali, Ivy berteriak histeris. Kejadian saat ia masih kecil menyaksikan peluru menembus tubuh ibunya membuatnya terisak kencang.
"Evan jangan mati Van! Jangan mati!" Ditepuk-tepuknya pipi Evan. "Jangan sampai kehilangan kesadaran, Van. Kamu harus tetap hidup! Evan, ini berapa?" Jadi telunjuk Ivy terangkat ke udara. "Van, ini berapa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Nikah (TAMAT)
RomanceIvy Swastika Maharani Terlahir dari keluarga berada, cantik, pintar, juga mandiri. Sayangnya, tak pernah berpikir panjang dan begitu ceroboh. Karena kecerobohannya, ia harus terjebak pernikahan dengan Evan, mantan pacar sahabatnya yang selalu jute...