Dua Puluh Lima

5K 268 0
                                    

Yana memperhatikan Ivy dengan kening berkerut. Matanya sedikit menyipit. "Jujur, sikapmu aneh sekali. Kamu gak biasa-biasanya bersikap seperti ini."

Ivy mencoba bersikap biasa saja meski dadanya bergemuruh. "Aneh bagaimana? Perasaanmu saja mungkin," katanya sambil berdiri.

Yana menatap sekeliling. Seperti biasa, ruang tamu rumah Ivy selalu seperti kapal pecah.

"Kamu tunggu di sini, ya? Karena suasana hatiku sedang baik, maka akan kubereskan kamar tamu untukmu."

Lalu, tanpa menunggu Yana menyahut, Ivy segera berlari menuju ruang makan. Evan sudah tak ada. Ia akhirnya melangkah cepat melewati Yana menuju ruang tamu. Evan tengah duduk di kursi membelakanginya. Ivy segera mengunci pintu. Bunyi pintu yang ditutup keras, langsung membuat Evan menoleh terkejut. Foto gadis berjilbab biru muda yang tengah dipandangnya segera ia letakkan di meja.

"Apa yang kamu lakukan di kamarku?"

"Hiiits." Ivy meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. "Jangan keras-keras," katanya nyaris berbisik. "Gini. Temanku mau menginap. Biasanya, dia tidur di sini."

Evan memandang Ivy dengan tatapan menyelidik. "Oh, jadi kamu mau memintaku tidur di gudang? Atau di kamar lain yang begitu berantakan? Jika iya, berarti otakmu ada di lutut," katanya, memandang Ivy dengan sinis.

"Aku tak sejahat itu, Van," sahut Ivy sambil mendekat. Ia berdiri di hadapan Evan, menatapnya salah tingkah.

Pandangan Evan menyelidik. "Apa jangan-jangan kamu ingin aku tidur di kamarmu?"

Ivy nyaris mengangguk jika saja tatapannya tak turun ke bawah, pada barang-barang Evan yang belum dibereskan. Pot-pot berisi aneka bunga berjajar di dekat dinding.

"Itu dari nenek. Untukmu."

Ivy mengangguk. Nenek baik sekali ternyata. Mau repot-repot menitipkan bunga untuknya.

"Emmp ... Van, sepertinya malam ini ...." Ivy menatap Evan ragu. Tetapi memutuskan untuk melanjutkan. Gawat kalau Yana sampai memergoki Evan di rumah ini. Meskipun Yana sahabatnya, terkadang jika didesak, Yana bisa saja membocorkan apa yang telah dilihatnya. Ivy tak ingin nanti Yana menceritakan mengenai Evan yang tidur di rumahnya pada Reyhan. Jangan sampai. Ia tak ingin hubungannya dan Reyhan terancam gara-gara ini.

"Apa?" Evan menatap Ivy tak sabar.

"Aku ... malam ini mau tidur di sini."

Tok. Tok. Tok. Tok. "Apa kamu sudah selesai membereskannya?"

Evan dan Ivy saling pandang.

"Vy, apa kamu sudah selesai membereskannya?" Suara Yana kembali terdengar. Ivy menatap Evan dengan wajah memelas.

"Iya, sebentar," kata Ivy akhirnya.

"Jadi kamu benar-benar merasa aku ini suamimu?"

Tatapan Evan yang menusuk membuat Ivy menjadi salah tingkah. Wajahnya merona. Ia mengalihkan pandang, berusaha mengusir perasaan aneh yang membuat dadanya berdesir aneh.

"Jangan salah sangka, Van, aku ...."

"Jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta padaku."

Ivy melongo, menatap Evan tak percaya. GR sekali. Siapa juga yang jatuh cinta? Jatuh cinta sama Evan, ih, amit-amit. Mau dikemanakan kekasihnya yang baik itu?

"Apa jangan-jangan, alasanmu merusak pernikahanku bukan demi Liana. Melainkan kamu menyukaiku karena sering melihat fotoku dan Liana."

Mata Ivy membulat. Mana mungkin? Benar-benar tuduhan yang salah kaprah. Dasar lelaki sinting.

Ivy menggeleng tegas. "Sudah kukatakan aku melakukannya karena Liana. Aku sama sekali tak menyukaimu, kok."

"Oke, kalau begitu, tidur saja dengan temanmu." Evan menatap Ivy penuh kemenangan. Ia sengaja berkata begitu untuk mengusir Ivy pergi dari kamar ini. Ia tidur sekamar dengan gadis yang telah merusak pernikahannya? Yang benar saja. Sampai kapan pun, ia tak sudi melakukannya.

Ivy menatap pintu kamar. Tidur dengan Yana, ia pasti dalam kondisi tak sadar jika hal itu sampai terjadi. Pernah sekali ia tidur dengan Yana, esoknya, tubuhnya langsung sakit semua. Saat tidur, Yana seperti orang kesetanan. Sama sekali tak sadar kalau kakinya sering menendanginya. Bagaimana kalau ia tidur di ruang tamu saja?

Ivy menggeleng cepat. Mana mungkin. Ini rumahnya. Masa tuan rumah tidur di ruang tamu sementara Evan dan Yana keenakan tidur di kamar.

Tok. Tok. Tok. "Vy, sudah belum?"

Ivy menatap Evan mengibai. Dengan cuek Evan meraih buku, lalu membuka halamannya perlahan. Ia menatap Ivy sekilas lalu tersenyum sinis.

Ivy menghela napas. "Yan, tidurlah di kamarku. Malam ini, aku tidur di sini."

"Kamu kenapa hari ini sangat aneh? Buka pintunya dulu. Kalau ada sikapku yang membuatmu kesal, bilang saja padaku."

"Kamu tak salah padaku, kok. Tidurlah, Yan, aku sudah siap tidur."

Terdengar suara langkah kaki menjauh. Ivy perlahan duduk di tepi ranjang, menatap Evan yang terus membaca buku.

"Katakan yang sejujurnya. Apa motifmu menghancurkan pernikahanku? Aku tiba-tiba tak yakin kalau kamu melakukannya karena Liana."

"Terserah persepsimu saja, Van. Yang penting, aku sudah berkata jujur." Ivy mengangkat kakinya ke ranjang, kemudian menyandarkan tubuh ke dinding. Evan menatapnya tak suka.

"Kalau kamu tak mau mengatakan yang sebenarnya, sekarang juga aku keluar dan bertanya pada temanmu. Siapa tau, dia tahu."

"Jangan mengancamku!"

"Kalau begitu, beritahu aku."

"Karena ...." Ivy menatap Evan ragu. Masa ia harus berbohong agar bisa membuat Evan tak berulah? Ivy mendesah. Baiklah. Daripada Evan nekat keluar dan menemui Yana, lebih baik ia berbohong.

"Karena aku menyukaimu!" kata Ivy cepat dengan wajah memerah. Dusta. Ia terpaksa melakukannya.

Evan memandang Ivy tak percaya. Niatnya, ia sengaja berkata begitu untuk mengusir Ivy dari kamar ini, bukan malah mendapat pengakuan suka. Jadi, Ivy menghancurkan pernikahannya karena menyukainya? Ia benar-benar tak habis pikir.

"Kamu jangan khawatir, Van, meskipun aku menyukaimu, tapi sekarang aku sudah sadar bahwa perbuatanku salah. Secepatnya, aku akan menjelaskannya pada Tari. Kamu tenang saja. Aku dapat dipercaya," kata Ivy cepat sambil berusaha berendam gemuruh dadanya karena Evan terus memperhatikannya.

"Kamu tidur di lantai, ya?" Lalu, Ivy meraih selimut untuk menutupi sekujur tubuhnya.

***

"Tiidaaak!"

Suara teriakan itu sukses membuat Ivy terperanjat bangun. Ia menyibak selimut lalu berlari keluar kamar yang pintunya terbuka lebar.

"Jelaskan padaku!" Suara Yana yang keras menyapa setibanya ia di samping Yana yang berdiri di depan kamar mandi yang terbuka lebar. Di dalam kamar mandi, Evan yang hanya mengenakan celana hawai dan kaus oblong, memandang Yana dengan kesal. Ekspresi tak suka tergambar jelas di wajahnya yang basah.

"Dia sembarangan dan langsung masuk. Genit sekali."

Yana melotot. "Apa katamu? Memangnya kamu kira, aku tau ada orang di sini? Kamu yang salah karena tidak mengunci pintunya!"

Yana kini ganti menatap Ivy.

"Dan kamu ... bagaimana mungkin kamu menghianati Kak Reyhan? Katamu, kamu sangat membenci manusia ini. Tapi apa yang terjadi, dia di sini sekarang! Aku benar-benar tak menyangka ternyata kalian diam-diam berkencan!"

"Apa!" kata Evan dan Ivy berbarengan.

Yana menatap Ivy berapi-api. Ia benar-benar kesal karena dibohongi. Pantas saja sikap Ivy kemarin begitu aneh. Ternyata, menyembunyikan ini. Sungguh tak bisa dibiarkan. Lebih baik ia memberitahu Reyhan agar lelaki itu tak berharap banyak pada gadis yang jelas-jelas telah selingkuh.

Baru saja Yana membalikkan badan, Ivy menyambar tangannya. "Jangan berprasangka buruk! Dengar penjelasanku dulu, Yan!"

Terpaksa Nikah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang