Tiga Puluh Delapan

5.7K 304 17
                                    

Nenek?"

"Aku sudah tak sabar mengajaknya membeli baju-baju hamil," ucap nenek sambil tersenyum lebar. Di hadapannya, Evan terus menatap dengan wajah bingung.

"Van ...." Panggil nenek dengan suara pelan. Wajahnya menatap sang cucu dengan heran.

"Van, Van! Hust! Evaaan!" Tangan nenek mengibas-ngibas di udara, Evan tersentak kaget.

"Kenapa? Ada masalah lagi dengan istrimu?"

"Masalah?" Evan mengulanginya dengan suara nyaris berbisik.

"Kemarin kan kamu dan Ivy habis bertengkar di hotel. Istrimu sedang hamil, jadilah lelaki pengalah."

Di hotel? Evan menatap nenek dengan pandangan tak percaya. Kejadian di hotel itu sudah lama sekali, tepatnya ketika ia baru menikah dengan Ivy. Kenapa ingatan nenek bisa kacau?

Tangan Evan terulur lalu bergerak ke arah kening nenek yang langsung ditepis oleh perempuan tua itu. Ia menatap cucunya dengan wajah cemberut dan bibir maju ke depan.

"Apa kamu pikir nenekmu ini sakit?"

Evan terdiam, masih tak percaya pada perubahan sikap nenek. Ia menggeser kursi mendekat lalu duduk di bibir ranjang. Ia raih tangan nenek lalu berkata dengan suara pelan namun terdengar jelas.

"Nenek ingat tidak, aku mengambil segenggam debu ...." Evan memandang nenek lekat-lekat, mengamati wajah keriput yang sedikit beriak itu. Apa nenek mengingat sesuatu?

"Apa, Van?" Nenek mengernyit. Evan kembali berkata,

"Aku mengambil debu, lalu kutakutkan di ruang tamu. Nenek melihatku dan marah-marah."

Nenek mengangguk-angguk. Namun bukan mengangguk karena mengingat sesuatu, wajahnya terlihat kesal dan geram. Tangannya terjulur lalu bergerak menarik telinga sang cucu yang langsung mengaduh kesakitan.

"Anak nakaaal. Jadi, itu bukan mimpi, Van? Nenek seperti pernah memimpikan hal itu." Nenek mengurut kening. Evan langsung mengangguk membenarkan.

Nenek mengernyit. "Kapan itu kejadiannya?"

Evan beranjak berdiri. "Aku harus temui dokter dulu, Nek."

Namun Evan urung melangkah karena tiba-tiba nenek mencekal pergelangan tangannya erat.

"Bilang pada dokter, apa kakiku baik-baik saja. Apa nenek harus pakai ...." Nenek mengernyit. "Apa ituu?"

Evan mengatupkan bibir. Ia duduk di bibir ranjang lalu memeluk nenek erat. Ada apa dengan nenek? Kenapa ucapan nenek begini ngelantur? Nenek bukan masuk ke rumah sakit karena kecelakaan. Kaki nenek tentu baik-baik saja.

Ia menatap ke arah kaki nenek dan meneguk ludah dengan susah payah. Ia menggeleng cepat saat ingatan yang sudah lama coba ia lupakan tiba-tiba membayang di benak, saat ibu terkasih dilarikan ke rumah sakit karena tabrakan mobil. Janin ibunya tak bisa diselamatkan, sementara nenek mengalami cedera kaki yang cukup serius, membuatnya harus memakai kruk cukup lama.

Evan menggeleng cepat, menepis bayangan wajah meneduhkan namun begitu keras kepala. Wajah yang selalu sembab oleh air mata. Ibuu. Sungguh ia merindukan sosok itu. Sudah berapa lama ia tak bertemu ibunya? Sepertinya sejak kecelakaan yang membuat ibunya kehilangan bayi dan setelah itu ayahnya tak pernah pulang ke rumah lagi.

Ibu, bagaimana kabarmu? Ia menggeleng dengan wajah sedih, dan tersenyum dipaksakan saat tatapannya beradu dengan tatapan bingung sang nenek. Ia peluk wanita tua itu erat, seakan tak ingin melepas pelukan itu meskipun hanya sedetik. Ia sangat menyayangi nenek. Meskipun nenek sering mengusirnya dari rumah, namun nenek satu-satunya orang yang tak akan pernah meninggalkannya. Tak seperti ayahnya. Tak seperti adiknya yang memilih kerja ke Jakarta. Walaupun berkali-kali Dini mengatakan alasannya merantau ke Jakarta karena ingin mandiri, namun tetap saja ia tak percaya. Ia sangat yakin, Andini memilih pergi dari rumah karena begitu terpukul dengan nasib yang menimpa ibunya. Sudah berapa lama ia tak bertemu ibu? 10 tahun. Mungkin lebih dari itu.

"Nenekmu tak akan ke mana-mana, Van."

Evan mengecup pipi keriput nenek dengan lembut. Ia berdiri, lalu melangkah cepat ke luar kamar. Ia hanya menatap sekilas lalu kembali berjalan saat melihat Ivy berjalan ke arahnya.

"Van ...."

Ada apa dengannya? Ivy mengedikkan bahu, lalu melangkah cepat masuk ke dalam kamar nenek. Wajah perempuan yang terbaring di ranjang itu langsung semringah saat melihat Ivy masuk.

"Nek, maafkan aku." Ivy duduk di bibir ranjang. Nenek memandang Ivy dengan kening berkerut.

"Maaf kenapa? Jangan hanya karena kemarin aku nemergokimu bertengkar dengan Evan di hotel, lantas kamu merasa bersalah pada nenek. Suami istri itu biasa kalau sesekali cekcok."

"Nenek?" Ivy tercengang. Kenapa nenek bisa berkata begini? Pertengkaran di hotel itu kan sudah lama berlalu. Menatap wajah nenek yang senyumnya yang ramah, Ivy jadi yakin pasti ada sesuatu yang tak beres. Karena bukan begini sikap nenek seharusnya. Nenek semestinya marah karena selama ini ia telah berbohong.

"Apa nenek ingat apa yang kukatakan tadi di toko, Nek?"

"Di toko?" Balas nenek penuh tanya. "Kapan kita ke toko? Aku baru akan mengajaknya pergi ke toko membeli paket. Sayang di jalan nenek kecelakaan. Besok saja kita ke tokonya, yaa?"

Ivy tak menyahut. Kenapa nenek tiba-tiba begini? Apa ada sesuatu yang salah?

"Besok, kita beli baju-baju hamil, yaa? Dan kalau kamarnya sudah selesai direnovasi, kamu segera pindah ke rumah nenek."

Ivy terdiam. Berkali-kali ia memandang wajah nenek yang terlihat riang sambil menerka-nerka kenapa nenek tiba-tiba begitu aneh.

Ketukan di pintu yang tak dikunci itu membuyarkan lamunan Ivy. Nampak Evan di ambang pintu, tangannya melambai ke arahnya. Ivy segera bangkit berdiri, segera menyusul langkah Evan yang melangkah lebih dulu.

"Van ...."

"Vii ...."

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan nenek, Van?" Ivy menatap wajah Evan yang terlihat sedih dengan wajah begitu penasaran.

"Nenek ...."

#Abaikan typo, ya, Teman. Ini nulisnya sambil ngantuk. Aslinya mau kuUP sorean, tapi udah terlanjur janji mau habis salat, jadi yaudah kuUP ajaa.

Terpaksa Nikah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang