Empat Puluh Empat

5.5K 345 24
                                    

Sudah jam berapa ini?

Evan mondar-mandir di ruang tamu yang berantakan. Sesekali, ia menatap ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 8 malam. Bagaimana bisa Ivy belum pulang?

Ia menyentak tubuhnya ke sofa. Tangannya menggapai benda pipih di meja lalu menekan nomer Ivy. Sejak tadi, ia sudah menahan diri agar tak menghubungi Ivy yang bisa saja membuat perempuan itu semakin kesal terhadapnya. Ia tersenyum saat mendengar suara nyanyian, dipikirnya nada sambung, namun ternyata bersumber dari kamar tamu.
Apa jangan-jangan Ivy sudah pulang tanpa sepengetahuannya? Ia harus segera menemui nenek yang sejak tadi terus menelepon agar segera mengajak istrinya itu ke rumah sakit.

Evan mendesah kecewa saat melihat HP Ivy di atas tumpukan bantal. Ia duduk di tepi ranjang lalu meraih benda itu, menekan simbol telepon warna merah, lalu membuka galeri yang dipenuhi oleh foto-foto Ivy dan Reyhan. Kebanyakan foto Reyhan seorang diri, hanya ada beberapa foto Ivy dan temannya itu yang duduk agak berjauhan.

Evan tertawa saat teringat perkataan Ivy yang meminta ijin pada Reyhan agar diijinkan memeluk temannya itu. Heran, Ivy begitu genit pada Reyhan bahkan bersikap seperti perempuan murahan. Namun padanya ....

Evan tiba-tiba teringat wajah para gadis yang pernah ditidurinya yang sama sekali tak ada penyesalan setelah melakukan dosa besar itu bersamanya. Namun Ivy, kenapa bisa-bisanya begitu kesal? Seolah ia mengidap penyakit kelamin saja. Dasar aneh.

Bunyi bel, membuat Evan sigap berdiri. Lelaki itu berjalan cepat menuju pintu mengira Ivy yang datang. Ia tersenyum kecil, dan tercekat saat melihat wajah tak asing yang dulu pernah mengisi hari-harinya dengan canda dan tawa bahagia.

“Li ....”

“Bisa kita bicara?” Canggung. Liana berusaha tak menatap ke arah Evan.

Evan mengangguk kecil, menutup pintu dari luar kemudian mengikuti langkah Liana menuju mobil yang diparkir di tepi jalan. Evan menghela napas saat melihat seorang lelaki duduk di dalam mobil. Lelaki itu segera membuka pintu mobil hingga terbuka lebar.

“Suamiku,” ucap Liana lirih.
Evan mengangguk kecil. Ia jabat tangan Danu yang terulur ke arahnya.

“Ivy ada di rumahku.” Lirih, Liana berkata. Menatap canggung pada wajah yang dulu pernah mengisi hari-harinya.

“Aku akan jemput.”

“Aku sudah tak punya nomermu, jadi tak bisa memberitahu lewat pesan. Tolong jangan sakiti dia.”

Evan mengangguk, sesekali mencuri tatap pada Liana yang berusaha tak memandangnya.

“Jemput saja besok. Jangan malam ini.”

“Lalu kenapa kamu memberitahuku?” Evan mengernyit.

“Aku ke sini hanya ingin mengingatkan, jangan sakiti dia. Aku tahu siapa kamu.”

“Masuk. Kita pulang sekarang.”

Evan menatap perempuan yang langsung mengangguk, bergegas naik, lalu menutup pintu mobil. Benar-benar istri juga sahabat yang baik. Sikap Liana barusan mengingatkan Evan pada kedatangan Ivy di hari ijab kabul yang seharusnya menjadi moment indah dalam hidupnya bersama Tari. Benar-benar teman yang saling menyayangi.

Evan mengunci pintu lalu menjatuhkan tubuh ke sofa dengan kedua tangan dijadikan bantal. Ia tersenyum kecil mengingat kebersamaannya dan Ivy selama ini. Gadis aneh. Gadis yang selalu membuatnya kesal. Namun saat tak melihatnya cukup lama, entah kenapa ia merasa begitu kosong. Perasaan yang aneh.

***

Meskipun sedikit ragu, akhirnya Evan mengemudikan mobilnya menuju Punggur. Ia sebenarnya ingin menuruti perkataan Liana agar menjemput Ivy besok, tapi teleponnya yang terus berdering, membuat ia nekat menjemput Ivy. Nenek pasti akan mengomel panjang lebar dan bisa-bisa darah tingginya kambuh jika ia tak segera ke rumah sakit.

Terpaksa Nikah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang