.
.
.
.
.
Ray terduduk tegang di kursi tunggu sejak tadi, tangannya memegang ponsel yang berisi pesan panjang belum terbaca untuk papanya, Anna sendiri bersandar lemas ke bahu Ray karena dekapan dadakan tadi, astaga, bagi Ray ini termasuk kedalam situasi runyam yang dibenci nya.
Bicara? Bagaimana?
"Apa ayahmu masih lama?"
Tanya Anna yang tiba-tiba bersuara ngelantur, Ray cukup tersentak karena barusan, tapi itu tak jadikan alasan Anna tak bangkit dari sandarannya,
Ray cepat-cepat menggeleng, mengibas ngibaskan tangan seolah chatnya saja sudah dibaca, seriusan?"Tidak, sebentar lagi dia akan sampai."
"Kereta jam 10.00 kan?"
Ray mengangguk, berharap memang begitu nyatanya.
"Kalau sudah datang aku akan langsung pulang,"
Ucap Anna mulai bangkit dari sandarannya, ia pikir, ia mulai mendapatkan setengah kesadaran sebelum akhirnya ia menjauhkan diri.
Ray tak menjawab, ia diam menatap ponselnya, menunggu jawaban.
"Kalau begitu, aku pergi sekarang sa--"
"Tunggu sebentar."
"Eh?"
Mata Anna mengerjap, apa lagi sekarang? Ia hampir saja bangkit dari duduknya, lagi pula tak baik meninggalkan Emma sendirian dirumah.
"Ayahku sudah sampai, biarkan dia bertemu dengan mu dulu nanti."
Anna terdiam, apa hubungannya?!
Ini tak masuk akal, Ray harusnya menemui ayahnya dengan sopan pagi ini, sedang Anna hanya menggunakan kaos putih pendek dan jaket peach untuk menutupi lengannya, ia bahkan menggunakan celana selutut, ini tak terdengar seperti gadis sopan yang selalu ayahnya bicarakan!!
Tapi daripada itu semua, Anna memilih diam dan menuruti alur keinginan Ray, ayahnya akan datang, biarkan hari ini jadi miliknya sebentar saja.
"Begitu papa mu datang aku langsung pulang,"
Ucap Anna menghela nafas berat, Ray melirik, melihat tatapan terpaksa dari iris biru langit disampingnya.
"Terserahlah."
.
"Astaga aku akan terlambat, jam berapa ini?!"
Langkah kaki dengan hell kantoran terlihat terburu buru, tangannya menggenggam ponsel hitam dengan tas coklat di bahunya, rambut kelam digulungnya terasa kusut karena sibakan udara Tokyo, hari ini suaminya datang, ia memang sudah menyuruh anak laki-laki nya untuk menjemput ayahnya, tapi, ia tak yakin bocah itu akan menjalankan tugasnya.
Kereta siang terlihat padat, ia bahkan harus berdesakan dengan kondisi terpepet waktu seperti ini, atau ketika hell nya mengganggu pergerakan lincah di tengah tengah gerombolan orang banyak.
Buk!
Akhirnya setelah perjuangan keras menembus desakan manusia ia berhasil duduk dengan tenang di bangku kereta.
Sejujurnya, ia berharap kereta yang tengah ia tumpangi lebih dulu tiba di stasiun dari kereta yang ditumpangi suaminya.Tangannya kembali meraih ponsel, membuka layar kunci yang menampilkan wallpaper seorang anak laki-laki dengan kamera cwon di tangannya.
Astaga ia bahkan bingung sebenarnya bakat apa yang dimiliki anaknya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ray : shape of world - [ Promised Neverland. ]
Teen Fiction"Ray.. menurut mu, seperti apa dunia ?" "entahlah" "apa yang paling kau inginkan di dunia ini ?" "tak ada." gadis itu terdiam, kembali duduk di kursinya, sepertinya ia terlalu banyak bicara dengan Ray tiap kali di perpustakaan. sambil memainkan tepi...