delapan

1.1K 91 13
                                    

Merasa takut, cemas juga bimbang. Kaki Seonyi bergerak gelisah di bangkunya. Sudah dua minggu dari target. Kenapa semua sangat cepat berlalu? Ia juga sedikit heran. Waktunya seolah menguap tak berarti meski sudah sekian lama tinggal dengan Jimin. Tapi, tak ada yang berubah.

Seonyi semakin kalut. Ia bangkit lagi, menggenggam pil yang masih tersegel. Mungkinkah ia harus berhenti meminum obat itu? Dan, membiarkan dirinya hamil? Lalu bagaimana jika Jimin tidak mau bertanggungjawab? Bukankah itu akan jadi bumerang baginya. Ia sangat gelisah.

"Ada apa, Sayang?" Jimin mencium pipinya.

"Lho obatnya belum kau minum? Belum ada air, ya? Tunggu biar ku ambilkan."

Seonyi menatap nanar pemuda itu. Ya, dia yang begitu perhatian, tapi sayangnya tak pernah nyata. Perhatiannya hanya untuk mendapatkan tubuhnya. Haruskah Seonyi mengutuk pria itu?

Sayangnya ia tak bisa, cintanya terlalu besar.  Sementara Jimin tetap memilih melangkah tanpa ikatan. Kini Seonyi hanya punya waktu dua minggu lagi untuk membuat pria itu menerimanya dengan cinta. Atau semua akan berakhir untuk selamanya.

"Sini biar ku buka obatnya untukmu."  Sekali lagi Seonyi terkejut, ketika Jimin tanpa ia sadari sudah menghempaskan dirinya di sofa dan menariknya duduk di sofa yang sama.

"Bagaimana acaramu dengan yang lain? Sudah selesai?"

"Belum, tapi aku tidak mau membuatmu sendirian di kamar jadi aku pamit duluan," ucap pemuda itu.

Seonyi tersenyum, merebahkan kepalanya di bahu Park Jimin. Berharap apa yang diucapkan si marga Park karena cinta, meski nyatanya ia tahu karena marga Park sedang ingin dilayani.

Sejenak Seonyi meminum obat yang diberikan dengan pasrah, lalu kembali merebahkan diri di tempat yang sama sambil memejamkan mata.

"Jim, jika suatu hari aku menikah dengan orang lain apa kau keberatan?" Jimin menyalakan televisi dengan remotenya.

"Tak masalah asal kau bisa melakukannya dan melupakanku. Lagi pula suatu saat karier ku juga pasti akan berhenti popularitasku akan turun dan kau tak mungkin tetap ada di sisiku, kau tak bisa jadi masternimku lagi."

Kejam sekali bukan? Harusnya Seonyi menangis, tapi kenapa ia tak bisa melakukannya? Akhirnya, ia hanya bisa tersenyum kecut.

Samar terdengar olehnya keributan dari arah terlevisi. Ia yakin Jimin tengah menonton film action, Seonyi mengabaikannya saja.

"Kau tak pernah berpikir kalau kita akan menikah, 'kan?" Jimin menarik Seonyi membuat kepalanya tertidur di atas pangkuannya.

Berapa kalipun Seonyi berpaling dari pria itu, namun nyatanya memandang wajah tampan Jimin selalu mengacaukan kesadarannya. Ia menyentuh rahang tegas Jimin yang tengah terbius dengan adegan film di layar tv.

Perlahan meraba lehernya, Jimin tersenyum karena kelakuan wanitanya. Seonyi tahu itu. Wanita itu menelan ludah, membayangkan jika saja ia bisa memberi tanda merah di sana. Di leher itu, sama seperti Jimin yang leluasa memberi tanda merah di setiap jengkal tubuhnya.

Sayangnya ia tak bisa melakukannya. Tubuh Jimin terlalu berharga, maksudnya terlalu keramat untuk diberikan tanda itu. Karena jutaan kamera tertuju pada pemuda itu setiap saat. Sedikit saja ada kesalahan maka dia akan hancur.

Dari leher beralih ke dada bidangnya. Dengan nakal Seonyi melepas satu kancing baju si marga Park. Jimin mengabaikannya. Atau berpura-pura mengabaikannya. Entahlah, yang jelas pemuda itu diam saja.

"Jim, kalau aku hamil apa kau mau tanggung jawab?" Satu pertanyaan keluar dari mulut Seonyi berbarengan dengan satu lagi kancing kemeja Jimin terlepas dari tempatnya.

"Tidak," jawab Jimin tegas, tanpa mengalihkan perhatiannya dari film yang sedang kebut-kebutan itu. Sepertinya itu Fast Furious, Seonyi tak tahu pasti. Yang ia tahu, jawaban Jimin sekali lagi melemparnya ke dasar jurang.

Tiga kancing kemeja Jimin terlepas. Seonyi meraba dada bidang dan perut sixpack Jimin dengan lebih bebas. Sangat berotot, namun lembut dalam waktu yang bersamaan. Seonyi berani bertaruh jika ada fans yang tahu apa yang dilakukannya sekarang, ia pasti akan dicincang oleh mereka.

Siapa pun pasti menginginkan posisinya. Terlepas dari adanya cinta atau tidak, akan ada ribuan wanita lain yang siap menggantikan posisinya. Dengan sentuhan dan pesona ajaibnya, Jimin mampu melakukan itu dengan cara yang sangat baik, bahkan lebih baik dari siapa pun.

Itulah kenapa beberapa idol wanita tak pernah bisa melepaskan tatapannya dari Jimin. Tatapan mendamba penuh hasrat yang selalu membuat Seonyi gerah. Tapi, saat itu ia kadang berbangga diri karena Jimin ternyata tak ambil pusing. Malah memilih menyibukkan diri memberinya senyuman maut yang bisa ia abadikan lewat kameranya.

Memilih mengabaikan sakit hatinya, Seonyi mengangkat kepala. Menyesap perut Jimin dengan berani. Pria itu mengerang. Menjambak rambut Seonyi sembari mendesah liar.

"Kau, semakin berani, Nona. Jangan sampai kau menyesal," ucapnya.

"Aku sedang belajar, Jim. Aku harus belajar untuk memuaskan suamiku nanti."

Serangan Seonyi sedikit turun, Jimin hanya bisa menggeram menahan libidonya.

"Ashh ... jangan sampai merah, Sayang," desahnya mulai menggila.

"Setelah ini tak ada konser, jadi biarkan saja. Tak akan ada yang melihatnya," bantah Seonyi melanjutkan aksinya.

Entah kapan baju pemuda itu sudah terlepas, tergeletak mengenaskan di atas lamtai. Seonyi mendorong tubuh prianya hingga terlentang di atas sofa.

Jimin menyunggingkan senyum puas, menatap Seonyi yang merangkak di atasnya. Wajah cantik wanita itu berkabut nafsu. Film action itu pun kini jadi penonton.

"Asshh ... sialan kau Seonyi ...," racau Jimin dengan mata terpejam. Lidah Seonyi menyentuh seluruh tubuhnya. Rasa basah dan geli membuat Jimin meremang. Tanpa ia sadari sesuatu yang terbungkus di bawah sana pun semakin mengeras dan meronta meminta dibebaskan.

Tak tahan lagi, Jimin membalik posisi. Menarik Seonyi dan menyambar bibirnya, langsung menyerangnya dengan membabi buta.

Seonyi kewalahan, ia mengerang menjambak rambut Jimin dengan kasar. Ciuman Jimin berakhir di leher Seonyi.

Wanita itu menengadah, memberi akses pada Jimin untuk memulai segalanya. Tangan Jimin bergerak lincah, melepaskan semua yang menempel dari tubuh wanitanya.

Jimin selalu terpana, memandangi tubuh indah itu membuatnya tak bisa lagi melirik wanita lain. Ia menyukainya. Sangat menyukainya.

Ia selalu suka setiap kali Seonyi berbicara soal pernikahan, memangnya pria mana yang akan melepas wanita seperti Seonyi. Seonyi miliknya selamanya. Tak akan ada perpisahan dalam hidup mereka.

Setidaknya itulah yang Jimin yakini, sementara mempermainkan hati Seonyi adalah kesenangan lain dari dirinya. Karena Jimin tahu Seonyi tak akan pernah pergi tidak sekarang maupun nanti. Jika wanita itu merajuk ingin pergi, Jimin sangat tahu apa yang harus ia lakukan.

Jimin hanya perlu merayu dan mengatakan kalau ia mencintainya. Maka Seonyi tak akan pernah melepaskan diri darinya barang sedetikpun. Bukankah yang diinginkan Seonyi hanya cinta?

Ia akan memberikannya. Tapi, tidak sekarang. Semua butuh waktu, butuh proses dan perjuangan. Di antara jutaan wanita yang mendamba seorang Park Jimin, Seonyi adalah wanita yang paling beruntung. Maka akan setimpal baginya mendapatkan Park Jimin jika ia berjuang terlebih dahulu. Berjuang lebih keras dari yang lain, untuk menjadi layak bersanding dengannya di pelaminan.

"Akh ... Jimin ... aaahhh ...." Suara Seonyi mengudara ketika sesuatu menembus intinya.

Tbc.

Please Don't Leave, My MasternimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang