dua puluh empat

659 78 8
                                    

"Seonyi ...." Jimin membuka pintu dengan pelan. Jantungnya berdebar kencang berharap Seonyi akan memaafkannya dan langsung menghambur ke dalam pelukannya seperti yang biasa dilakukan wanita itu.

Namun, langkah Jimin tertahan ketika mendapati kamar itu kosong. Jimin pun melangkahkan kakinya ke kamar mandi dan mengetuknya dengan pelan.

"Seonyi, kau di dalam, 'kan?" Tak ada suara jawaban yang terdengar. Jimin pun kembali mengetuknya dan memanggil nama wanitanya. Akan tetapi semua tetap sama. Kamar mandi itu terlalu hening.

Pada akhirnya, Jimin pun memutuskan untuk membuka pintu kamar mandi yang ternyata tidak terkunci. Tak ada siapa pun di sana.

Jimin memundurkan langkah, firasat buruk pun menghampirinya. Kali ini ia berlari ke arah balkon kamar, tetapi langkahnya langsung tersendat ketika mendapati sepucuk surat tergeletak di atas meja lampu hias.

Dengan tangan gemetar Jimin mengambil surat itu dan mulai membacanya.

Bibi Min,

Terima kasih sudah menampungku di sini. Setidaknya di Busan, tempat yang asing ini masih ada Bibi yang mau menerima wanita hina sepertiku.

Jimin menitikkan air matanya. Teringat bagaimana beberapa jam yang lalu dirinya mengatai istrinya sendiri seorang pelacur, bahkan tanpa memberi kesempatan padanya untuk bicara.

Aku sangat tersentuh ketika Bibi mengatakan siap menerima dan merawat bayiku ini. Bibi benar-benar orang yang sangat baik.

Tapi setelah kupikirkan kembali. Keberadaanku di sini, hanya akan membawa aib untuk keluarga Bibi. Seperti yang Bibi tahu, Jimin adalah suamiku. Dan, jika sebentar lagi perceraian terjadi di antara kami, maka bisa Bibi bayangkan berapa banyak orang yang akan datang kemari dan mengusik kehidupan Bibi. Karena itulah, aku putuskan untuk pergi dari sini tanpa pamit.

Sebab, jika aku berpamitan, Bibi pasti akan menahanku. Dan, sebelum semua masalah itu terjadi, aku ingin menjauh. Aku hargai niat baik Bibi, tapi jika niat baik itu membawa petaka maka aku tak akan sanggup memikul seluruh beban dosa yang kubuat itu.

Jimin menggeram, tangannya semakin gemetar dengan air mata yang tumpah semakin banyak, dadanya begitu sesak. Bahkan tetes air matanya kini perlahan jatuh membasahi kertas surat itu.

Jimin kembali membaca dalam diam.

Bibi, Jimin dan keluarganya mungkin tak akan pernah mencariku lagi. Atau mungkin mereka akan mencariku untuk sekedar meminta tanda tangan untuk mengesahkan surat perceraian yang sedang mereka urus. Tapi, aku tak akan pernah mendatanganinya.

Biarlah aku tetap menjadi istrinya, dan anak ini tetap menjadi anaknya meski mereka telah membuang kami. Aku minta tolong pada Bibi untuk merahasiakan segalanya. Dan, rahasiakan juga kalau aku pernah kemari.

Ada satu hal lagi yang ingin kuminta pada Bibi Min. Anggap saja ini permintaan terakhirku, Bi. Karena setelah ini aku tak akan pernah datang lagi. Aku akan hidup bahagia dengan anak yang kukandung.

Bibi Min, aku hanya ingin meminta kesediaanmu untuk mendoakan aku dan anakku setiap tahunnya, agar kami bisa tenang. Tolong ingatlah hari ini sebagai hari kematianku dan juga anak ini. Sebab, selain pada Bibi aku tidak punya siapa pun lagi untukku meminta tolong. Jadi kumohon doakan kami setiap tahun, Bi. Aku akan sangat senang dan berterima kasih Pada Bibi Min.

"Seonyi ...." Membaca kalimat-kalimat terakhir dalam surat itu membuat Jimin panik. Ketakutan melandanya. Ia berlari keluar kamar sambil berteriak histeris.

"Seonyi! Kau di mana? Seonyi!" Ia terus berteriak berlari ke sana-kemari dengan netra menatap nanar ke semua tempat.

"Ada apa?" Paman Wang, supir yang mengantarnya tadi pun mendekatinya.

Please Don't Leave, My MasternimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang