dua puluh enam

780 89 10
                                    

"Jimin."

Pria itu menoleh pada wantia paruh baya yang sedang menyajikan makan malam untuknya.

"Ayo, makan yang banyak, jangan diam saja. Kau kurus sekali."

Jimin tersenyum tipis. "Ne, Eomma," sahutnya singkat lalu mulai makan dengan tanpa minat. Sesekali ia melirik ke sebelah, di mana Seonyi dulu duduk di sana setiap kali mereka makan malam di Busan.

Jimin mengepalkan tangannya di atas paha, menahan air matanya agar tak meluruh jatuh. Seandainya saja jenazah Seonyi benar-benar ditemukan mungkin sekarang ia juga sudah mati menyusulnya. Namun, karena jenazah istrinya tak ditemukan, maka Jimin hanya bisa berharap semoga saja Seonyi masih hidup di suatu tempat dan mereka bisa bertemu kembali.

Sesuap demi sesuap makanan masuk ke mulut Jimin dengan sangat pelan membuat kedua orang tuanya saling pandang, mereka menghela napas pelan merasa sakit melihat anaknya yang seperti itu.

Jika saja waktu itu mereka tak menyidang Seonyi harusnya semua tak seperti ini. Nyatanya pria yang mengaku sebagai selingkuhan Seonyi itu tak pernah muncul setelah prahara rumah tangga Jimin terjadi.

"Jimin, bisakah kau berhenti bersikap seperti ini?"

Jimin menoleh pada ayahnya sesaat. "Ne, Appa. Maaf."

"Jimin, jika kau terus seperti ini maka dengan terpaksa kami akan menjodohkanmu dengan putri teman appa. Kamu butuh seseorang untuk mendampingimu."

Seketika Jimin mematung mendengar perkataan ayahnya. Ada gemuruh dalam dadanya ingin menentang semua ucapan ayahnya barusan. Namun, melihat kesedihan di raut ayah dan ibunya, Jimin pun tersenyum tipis. Kemudian menghentikan acara makannya.

"Lakukan apa pun yang ingin Appa lakukan," sahutnya lalu mendorong kursi. "Aku permisi mau ke kamar."

Jimin pun membungkuk sopan lalu berderap meninggalkan kedua orang tuanya dengan bulir air mata mengalir di pipinya.

Rasanya terlalu sakit jika ia terpaksa harus menerima wanita lain dan menghapus Seonyi dalam ingatannya. Sesampai di dalam kamarnya Jimin berderap ke arah balkon. Menatap daerah tempat tinggalnya dari balkon kamar yang terletak di lantai dua.

"Jimin, dingin, kau tak mau memelukku?"

Jimin menoleh ke sisi kanannya. Waktu itu Seonyi berdiri di sana, lalu memanggilnya dengan suara manja. Jimin yang masih ada di kamar berkutat dengan ponselnya pun tersenyum. Mengambil mantel di lemari dan berderap mendekati istrinya.

"Bagaimana kalau kuhangatkan dengan caraku, heum?" ucapnya sembari memeluk tubuh Seonyi dari belakang dan menyelimuti tubuh mereka berdua dengan mantel yang sama.

"Bilang saja kau mau bercinta."

Jimin terkekeh, lalu menyecap leher jenjang Seonyi membuatnya menggeliat. "Aku ingin mengunjungi anak kita, dia juga butuh dihangatkan."

"Dasar mesum." Seonyi mencibir tetapi tak menolak ketika Jimin meraup bibirnya dan menciumnya, membuai.

"Seonyi ... kau di mana? Semarah itukah kau padaku, hingga kau menghilang begitu lama?" Jimin menundukkan wajahnya dan menghapus jejak air mata di pipinya.

"Aku mengerti jika kau memarahiku, kau membenciku, tapi, setidaknya tunjukkan dirimu sekali saja, agar aku tahu kau baik-baik saja."

"Jimin." Suara bariton sang ayah membuat Jimin menoleh ke belakang. Dilihatnya sang ayah datang mendekat dan berdiri di sebelahnya.

"Dari sini semuanya terlihat indah, ya."

Jimin mengangguk. "Iya, Appa. Lampu-lampu di jalanan terlihat begitu indah. Seonyi sangat suka berdiam di sini. Menatap mentari terbit. Ia selalu terlihat bahagia."

"Iya, Seonyi memang sangat pandai menyembunyikan duka dalam hatinya, dan itu membuat kami mengambil keputusan yang salah. Maafkan kami."

"Jangan meminta maaf, Appa. Kau dan Eomma hanya ingin yang terbaik untukku jadi aku tak akan marah. Semuanya juga tak lepas dari kesalahanku."

"Jimin, mengenai perjodohan itu, Appa ingin mengenalkanmu lebih dulu."

"Lakukan saja, Appa. Aku tak perlu berkenalam dengan siapa pun, jika menurut kalian itu yang terbaik lakukan saja. Tapi, aku masih belum bisa menjanjikan apa pun."

Laki-laki paruh baya itu pun menghela napas, ia membenarkan kaca matanya lalu menepuk bahu Jimin pelan. "Jangan terlalu lama tenggelam dalam kesedihan. Seonyi sudah meninggal dan kau tetap harus melanjutkan hidupmu. Setidaknya demi semua penggemar yang mendukungmu selama ini."

"Baiklah, Appa tidur dulu. Selamat malam."

"Malam, Appa," sahut Jimin tanpa menoleh dan membiarkan orang tuanya pergi.

"Perjodohan. Apakah semua itu benar-benar bisa membuatku melupakanmu, Seonyi?" gumam Jimin lalu kembali mematung menatap rumah-rumah penduduk di bawahnya.

***
Seya kembali berlari, sudah seminggu ia terus datang ke rumah sakit dan menemani Seonyi yang bahkan tak mengenalinya. Wanita itu terus saja mengabaikannya dan memilih fokus dengan boneka bayinya.

Seonyi terlihat bahagia dengan keadaannya sekarang. Meski terkadang ketika seluruh ingatannya tentang Jimin datang ia akan menangis histeris.

"Seonyi ...." Seya duduk di sebelah Seonyi yang selalu duduk dekat jendela sambil bersenandung. "Rambutmu kusut sekali. Mau kurapikan?"

Seonyi menoleh sekilas pada Seya, lalu kembali bersenandung seakan-akan hendak menidurkan bayinya.

Seya, menahan air mata yang hendak menerobos keluar. Sejenak ia berdiri, lalu merapikan rambut Seonyi yang tak terganggu dengan apa yang dilakukan Seya. Seya pun tak tahan lagi untuk menahan tetesan air matanya. Ia menyisir rambut Seonyi yang kusut dengan isakan yang ia tahan.

Ada begitu banyak kenangan yang muncul dalam memori Seya. Menguar menggoreskan luka dalam dadanya. Amarahnya perlahan menumpuk terhadap Jimin. Seya sangat menyesal karena telah mengenalkan Jimin pada Seonyi.

"Jika saja aku tahu semua akan seperti ini, harusnya aku tak pernh berjanji untuk mempertemukan kalian," gumam Seya sambil mengucir rambut Seonyi yang terasa sangat kusut.

"Sudahlah, Seya. Kau jangan mengungkit masa lalu, semua sudah terjadi." Seya menunduk, menghapus jejak air mata di pipinya ketika mendengar suara Jaehan.

"Kapan kondisinya akan membaik, Oppa?"

Jaehan menggeleng. "Terlalu sulit untuk bisa kupastikan. Mungkin, jika Jimin mau membantunya, Seonyi bisa sedikit menata hatinya."

Jaehan duduk di dekat Seonyi lalu mengelus rambut boneka yang dipangku Seonyi. "Sepertinya Caerin sudah tidur, apa kau mau makan sekarang?"

Seonyi terdiam sejenak lalu mengangguk antusias. Ia menoleh pada Seya. "Bibi baik, kau bisa ajak Caerin, 'kan?"

Seya pun mengangguk dan mengambil alih memangku boneka bayi itu.

Jaehan pun mengangguk pada petugas medis, lalu menuntun Seonyi untuk makan. Seonyi pun memilih duduk di lantai dan memakan sajian makan siangnya dengan tangan.

Semua yang dilakukan Seonyi membuat Seya terus menerus menitikkan air mata. Ini sangat menyesakkannya. Seonyi yang dulu begitu cantik dan ceria sekarang malah jadi seperti itu. Sangat kurus dan seperti tak terurus meski para petugas medis mengurusnya dengan sangat baik.

Setelah tiga suapan masuk ke mulut Seonyi, tiba-tiba wanita itu kembali menatap dengan tatapan panik. Ia melempar pandangan ke segala arah, lalu merangkak menuju pojok ruangan. Seonyi menangis sambil menelungkupkan kepalanya di antara lututnya.

Jaehan menghela napas lalu mendekati Seonyi. "Seonyi ...."

"Tidak, Jimin, aku tak pernah selingkuh, tidak. Pria itu ... pria itu jahat, sangat jahat."

"Iya, aku tahu. Aku tahu, Seonyi." Jaehan pun memeluk Seonyi dengan erat sembari mengusap punggung gadis itu yang kini menangis dengan tubuh gemetar.

Tbc.

Karena Namjoon Ultah jadi upnya tengah malam ya gais.

Happy Namjoon day....

Please Don't Leave, My MasternimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang