dua belas

1K 106 23
                                    

Happy reading jangan lupakan celotehannya.
.
.
.
.

Jimin melaju dengan kencang meninggalkan Seonyi yang menangis. Hati pemuda itu sesak setiap mengingat isi pesan ancaman itu.

Mengingat betapa paniknya ia tadi. Ketakutan menyerangnya, membayangkan jika seandainya Seonyi benar-benar jadi target penculikan dan pembunuhan seseorang karena dirinya.

Setelah cukup jauh melaju, Jimin membanting setir ke kiri, menghentikan mobilnya sembarangan. Ia menatap kaca spion dengan napas tersengal menahan amarah. Seonyi tak lagi terlihat.

Jimin memukul setir kemudi dengan cukup keras. Menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke sandaran kursi. Matanya memejam sempurna. Ia menarik napas, disusul air mata yang menetes jatuh tanpa permisi.

Berusaha menetralkan degup jantungnya yang bertalu, Jimin tetap diam di sana untuk beberapa menit lamanya. Barulah setelah itu ia kembali memutar arah.

Bagaimanapun, Jimin tidak mungkin meninggalkan Seonyi di tempat berbahaya itu sendirian. Kembali pemuda itu melajukan kendaraan dengan cepat. Namun, kemudian ia mengurangi laju mobilnya ketika dilihatnya Seonyi masuk ke dalam taksi.

Guna memastikan wanitanya sampai dengam selamat, Jimin membuntuti taksi itu. Setelah Seonyi masuk ke kawasan apartementnya barulah Jimin meninggalkan tempat itu, kembali ke dorm.

Sudah diputuskannya untuk tidak menemui Seonyi dalam beberapa hari ke depan. Mereka butuh waktu untuk sama-sama introspeksi diri.

Sementara Jimin kembali ke dorm, Seonyi terduduk di atas ranjang menaikkan kaki dan memeluknya dengan erat. Ia menangis sejadi-jadinya.

Jimin memperlakukannya dengan semakin kejam, mungkin inilah saatnya ia untuk berhenti. Hatinya sudah lelah.

Namun, berpikir setelah ini hidupnya tak akan pernah menjadi baik, kembali Seonyi menangis. Di balik keteguhannya ada sang ibu yang mengharapkan bantuan.

Vonis sakit yang diderita ibunya membutuhkan biaya yang begitu besar. Ia masih bisa membiayai sekolah adiknya dengan hasilnya menjadi masternim.

Namun, jika harus membiayai ibunya dan mencari ayahnya maka ia tak sanggup. Uangnya tak cukup. Jalan satu-satunya hanya memanfaatkan Jimin, atau menyerahkan dirinya pada pria itu.

Seonyi berada dalam kebimbangan, berharap pada Jimin pun tak bisa lagi. Karena nyatanya ia sudah tak peduli, bahkan dari awal memang tak peduli. Buktinya tak pernah sekali pun Jimin bertanya tentang dirinya.

Selain menikmati tubuhnya, tak ada lagi yang Jimin lakukan untuk Seonyi. Alasan kenapa Seonyi memutuskan untuk memeras Jimin adalah karena ia takut untuk meminta. Ia takut mendapat penolakan.

Pada akhirnya, semua ketakutannya jadi nyata. Bahkan jauh lebih buruk dari itu. Seonyi dibuang di jalanan bagai seekor anjing. Ia merasa terluka dan terhina. Sangat sakit.

Saking lamanya Seonyi menangis, akhirnya wanita itu pun tertidur dalam keadaan terduduk dengan wajah menelungkup di antara lututnya.

Tak jauh beda dengan Seonyi, Jimin pun tertidur dalam keadaan gelisah. Entah sudah berapa kali ia merubah posisi, tapi belum juga bisa masuk ke dunia mimpi.

Jimin terbangun, mengambil air dari dapur. Kemudian duduk di ruang tamu, matanya menerawang menatap jam dinding yang berdetak menunjuk angka tiga.

Pria itu menghela napas, mencoba memejamkan mata sekali lagi. Namun, bayangan Seonyi yang menangis di tepi jalan menyakiti hatinya. Ia mencintai wanita itu, sangat mencintainya. Jimin sangat tahu perasaannya.

Namun, ketidakjujuran Seonyi melukainya. Jika saja Seonyi berterus terang akan masalahnya, Jimin pasti akan membantunya dengan sepenuh hati. Ia akan berikan uang yang diperlukan Seonyi berapa pun jumlahnya.

Please Don't Leave, My MasternimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang