26.

500 84 39
                                    

"E-eh eh kamu mau kemana??" johnny menahan lengan Haechan yang hendak pergi dari hadapannya 

"pulang lah, kan saya punya rumah..."

"yang bilang kamu boleh pulang ke rumahmu siapa??" 

Haechan menaikkan alisnya bingung, memang siapa yang melarangnya? . Johnny melepaskan pegangannya pada lengan haechan, menatapnya dari bawah sampai atas. 

"..dengan keadaan kamu yang kayak gini?" tanyanya lagi, haechan malah menaikkan bahunya tanda tidak peduli baik pada pertanyaan johnny, juga pada kondisinya. 

"udah biasa om, nanti saya obatin sendiri" dirinya hendak berjalan kembali tapi johnny lebih cekatan lagi untuk menarik jaket haechan hingga dirinya kembali berdiri tepat di samping johnny 

"oh no no no.. who said you can heal it by yourself? ga lihat itu darah dimana mana?" 

"gausah lebay" 

"kamu harus pulang dengan saya" 

"gamau" 

"shhhst gaada penolakan. kan saya sudah jadi wali kamu" jawaban itu sukses membuat Haechan menyipitkan matanya, tidak percaya dengan ujaran pria paruh baya itu. 

"iya, kan kamu sendiri yang mengakui itu.. makanya tadi kamu telfon saya kan?" lanjutnya. kali ini Haechan yakin bahwa ia salah langkah mengenai keputusannya tadi, rasanya seperti ia merelakan diri masuk ke dalam perangkap Johnny.

"sekarang kamu nurut dulu sama saya.." suaranya terhenti sesaat melihat haechan menatapnya sinis, seakan akan menyiratkan penolakan disana. johnny tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya "...kalau kamu mau saya balikin lagi kesana ya gapapa.." johnny berujar usil, ucapan tersebut membuat Haechan menyentak kasarlengan yang salah satu bagiannya dipegang Johnny. 

"tau gitu saya telfon tukang sampah yang biasa lewat depan rumah saya aja" balasnya malas, pada akhirnya kakinya dibawa melangkah menuju mobil yang ia perkirakan milik Johnny, karena tidak ada mobil lain di parkiran ini. Johnny tersenyum tipis, cara Haechan merajuk mengingatkannya pada kenangan kenangan lama yang terpendam di pikirannya. kenangan dirinya akan Tiffany Grace, ibunda Haechan. 

.

.

5 menit sudah berlalu tanpa suara. Johnny bukannya tidak ingin membuka pembicaraan, tapi ia dapat mendengar Haechan yang sesekali mendesis saat mobil itu menerpa jalanan yang berbatu maupun melalui polisi tidur. 

"kita ke rumah sakit dulu aja ya?" tawar Johnny, matanya menatap khawatir pada Haechan. tapi anak itu menggeleng mantap. sebenarnya ia tidak begitu suka rumah sakit. kalau tidak terpaksa ia tidak akan pernah menginjakkan kaki ke tempat itu. 

"saya tau kamu kesakitan.." Johnny bersuara lagi, tapi Haechan masih enggan menjawab.  "kamu bisa minum pain killer?" 

.

mobil itu kembali menepi di salah satu apotek 24 jam pinggir jalan. Johnny turun dari mobilnya, meninggalkan Haechan yang sepertinya sudah terlelap dengan menyenderkan kepalanya pada kaca mobil. 

Haechan menolak pergi ke rumah sakit, anak sepertinya apabila semakin dipaksa maka semakin susah juga nurutnya. maka Johnny berpikir bahwa ia bisa membujuknya nanti dan memikirkan solusi lain. salah satunya dengan membawakan obat penahan rasa sakit dari apotek yang baru saja ia hampiri, bersamaan dengan satu botol air mineral.  

sesampainnya di mobil, ia membuka kan tutup botol air mineral itu dan mempersiapkan obatnya. 

"chan.. hey.. bangun dulu, ini obatnya diminum sebentar" 

SUN WITHOUT SHINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang