10. Hari yang Penuh Kejutan

2.4K 221 13
                                    

Mereka di rumah sakit hampir setengah jam lamanya. Mereka masih di IGD menunggu tirai dibuka. Wajah cemasnya kentara sekali terlihat di wajahnya. Dokter tengah menangani dewita sementara ia bersembunyi di brankar sebelah dengan tirai tertutup juga. Ini dilakukan karena begitu ia menginjakan kaki di rumah sakit, semua mata memandangnya ia hampir tidak bisa menghindari para fans nya yang mendadak muncul dari segala penjuru arah. Apalagi kacamata hitam yang dikenakannya dan masker yang selalu sedia di tasnya, ia gunakan untuk menutupi wajahnya ternyata tak bisa mengecoh mereka.

Saat itu terjadi, Ibra yang datang bersamanya menarik tangannya dan menuntunnya di sini. Lunadra sempat menepisnya tapi Ibra lebih keras kepala. Dan ia untuk sementara berakhir di sini menunggu dokter selesai menangani Dewita.

"Dewita tidak akan apa-apa. Kamu tenanglah. Para fansmu sepertinya juga sudah pergi".

"Tidak apa-apa kamu bilang? Apa karena dia temanku kamu menganggap sepele yang di alaminya? Dulu aku ingat sekali bagaimana kamu menyalahkanku karena selena terjatuh dari tangga. Tentu saja Selena orang yang sangat berarti untukmu. Tentu saja Dewita bukan siapa-siapa bagimu. Tapi Dewita sangat berarti untukku. Gara-gara kamu Dewita terjatuh. Sekarang lepaskan tanganmu".

Ibra sepertinya tak berniat melepas tangannya. Hingga seorang perawat pria muncul masuk ke bilik tempatnya. Maka terpaksa Ibra melepaskan tangannya menyadari ia tak mungkin berdebat dengan Lunadra di sini.

"Mereka sudah pergi. Dokter ingin bicara. Lunadra apa setelah ini saya bisa foto dengan anda?".

Pria muda itu bertanya kaku. Dan tersenyum lebar saat Lunadra mengangguk. Lunadra melakukan itu untuk mempersingkat waktu terlebih dia masih cemas dengan keadaan Dewita. Ia ingin segera tau keadaan Dewita.

Begitu tirai terbuka ia melihat Dewita sudah membuka matanya. Dewita tak berani bersuara saat melihat wajah khawatir sahabatnya, juga raut wajah yang siap memarahi siapapun. Ia tidak mau image Lunadra jadi buruk nanti. Dan sesuatu yang bisa di sesali Lunadra nanti. Karena ia pun terkejut saat di sela ambang batas sadarnya ia sempat mendengar Lunadra memarahi Ibra. Bagaimana bisa Lunadra menyalahkan Ibra jika ia terjatuh dari tangga? Ternyata memang sekali membenci seseorang maka semua yang dilakukan orang itu terasa salah selamanya. Tak bisakah Lunadra berakting ia seakan tak terganggu dengan kehadiran Ibra? Jika ia saja melihat itu bagaimana jika orang lain?

"Dokter apa dia baik-baik saja?".

"Kakinya terkilir dan lukanya mulai membengkak sudah di beri obat pereda nyeri. Dan ia bisa di bawa pulang hari ini juga. Dia butuh istirahat ".

"Tapi kenapa ia bisa pingsan dokter? Apa terjadi sesuatu di kepalanya?".

"Tidak ada yang perlu di cemaskan. Kepalanya tidak apa-apa. Pingsan yang di alaminya kemungkinan karena syok jatuh tiba-tiba".

Dokter bersama perawat yang mengikutinya pergi berpamitan.

"Elu bener-bener gak apa-apa?".

"Iya, Lun. Gue gak apa-apa".

Lunadra menghembuskan nafas lega.

"Ibra makasih ya udah bawa gue ke  rumah sakit".

"Ngapain elu makasih sama dia. Gak usah".

"Luna! Ini di rumah sakit banyak yang lihatin".

Lunadra menatap ke sekitar dan mengangguk kecil ke arah mereka. Cukup tadi saja ia sudah di kerumuni.
Lalu matanya menemukan ibra yang masih menatapnya. Entah apa yang coba pria itu ketahui dengan menatapnya sedemikian melalui mata sehitam jelaganya.

"Kamu udah bisa pulang".

"Kamu bilang kejadian tadi adalah salahku? Jadi aku akan bertanggung jawab sampai akhir meskipun aku tidak tau apa salahku".

LUNADRA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang