33. Hati yang Bicara

1.7K 122 16
                                    

Isakan kencang dan suara tarikan ingus yang kencang mengusik tidurnya yang tenang.

Perlahan matanya terbuka. Orang yang pertama ia lihat adalah Dewita.

Luna linglung dengan keadaannya. Ah ternyata kecelakaan itu bukan mimpi. Alangkah baiknya jika ia mati saja. Kenapa Tuhan masih berbaik hati padanya. Padahal ia sudah terlalu jahat pada orang-orang di sekitarnya lagipula ia tak diinginkan. Bahkan pada Dewita yang masih Sudi menangisinya.

Tapi...

Jika dia mati semua orang hanya akan semakin mengejeknya dan mungkin menertawakannya. Mungkin mereka juga akan mengasihaninya. Hal yang paling dia benci adalah dikasihani.

"Bisa diem gak. Suara elu ganggu gue". Ucap Luna lemah namun tegas di saat bersamaan.

"Elu udah sadar? Beneran elu udah sadar? Elu udah gak sadar tiga hari. Elu tidur atau koma sih? Kalo tidur udah kayak kebo. Selama gue gak ada elu gak makan ya? Badan kurus kering gini. Dokter juga bilang elu kurang gizi di tambah karena kecelakaan makin parah kan jadinya".

"Cengeng. Siapa yang bilang gak butuh dikasihani terus ngambekan kayak anak kecil". Balas Luna.

"Udah sakit juga masih gengsi, sok gak butuh. Kali ini elo yang pantas dikasihani. Siapa bilang gue cengeng, gue malah seneng elu di rumah sakit. Akhirnya elu kena azab kayak sinetron-sinetron yang emak gue tonton".

"Elu jelas nangis. Hi-

"Enggak. Gue lagi senang-senang di atas penderitaan elu. Gue sengaja liat seberapa menderitanya elu sekarang". Dewita sengaja menekan perban di kepalan Luna.

"Auh... Kok Lo tega sih. Sakit tau".

"Biar elu gak ngelak lagi. Udah sakit belagu lagi".

Dewita mengusap air matanya. Namun kemudian tertawa melihat Luna bersungut-sungut sambil menggerutu mencelanya.

Biarkan saja Luna menyangkal lalu mencelanya karena kali ini Dewita yang menang.

"Gak da orang lain selain gue di sini. Gue bisa aja ngebunuh elu sekarang. Lagian elu sakit, ini kesempatan gue balas dendam. Tapi gue lebih senang ngebuat elu malu setengah mati di media". Ujar Dewita dan dengan sengaja tiba-tiba memotret bagaimana kacaunya Luna sekarang. Rambut yang awut-awutan dengan perban di kepala. Juga tangan kanannya yang di gips.

"Gue bisa sebarin ini di internet. Jelek banget". Ejek Dewita.

"Hapus gak atau gue kasih pelajaran ke e-

"Coba aja hapus. Gue sebarin sekarang di media sosial".

Luna megap-megap berusaha bangkit tapi usahanya percuma ia malah terpelanting jatuh karena tak mampu mencapai keseimbangan.

Suara bedebum keras dan pekikan seketika Luna memenuhi ruang VIP yang ditempati Luna.

Tapi setidaknya Dewita merasa senang karena dengan kembalinya kecerewetan Luna artinya ia sudah membaik setelah tiga hari tertidur tanpa membuka mata.

Dewita masih merasa bersalah takut karena pertengkaran mereka waktu itu adalah hari terakhirnya bertemu Luna. Jika saja Luna tak menyuruhnya turun dan mobil mungkin ia akan celaka juga. Untungnya setelah di tangani dokter dan Luna mendapat sepuluh jahitan di keningnya serta tangannya yang harus di gips. Selebihnya tak ada masalah apapun walau saat itu Dewita skeptis kenapa Luna tertidur seperti tak bernyawa pasca kecelakaan selama tiga hari.

"Elo tidur kayak kebo. Gue mikirnya elu lagi di alam kubur lagi ngeles ini itu sama malaikat munkar-nakir. Soal catatan hitam elu selama di dunia. Yang gue yakin pasti lebih berat timbangan dosanya".

LUNADRA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang