BAB 2

211 20 4
                                    

Aroma melati masih sangat terasa, gundukan tanah basah menjadi tanda bahwa seseorang telah berlanjut pada tahap kehidupan selanjutnya. Meninggalkan banyak kenangan indah, namun menyakitkan bagi para yang bersangkutan. Semilir angin menambah suasana sendu di area pemakaman ayah Aira. Satu kata yang mendiskripsikan suasana saat ini. Sepi. Para pelayat telah meninggalkan area pemakaman beberapa waktu lalu. Datang sebagai bentuk formalitas, bukan bentuk bela sungkawa yang sesungguhnya. Namun siapa peduli? Apa yang harus  diharapkan dari orang lain? Semua orang egois untuk kepentingannya sendiri. Kita semua tahu itu sebagai rahasia umum.

Langit telah menggelap, matahari telah siap untuk beristirahat. Namun, tidak untuk Aira, ia enggan untuk pulang. Duduk seorang diri di samping makam baru sang ayah dengan pandangan kosong. Masih tidak percaya akan takdir yang ia terima semalam. Berharap itu semua hanyalah mimpi, namun apa daya jika sakitnya benar-benar nyata.

"Pulang jangan nambah nyusahin kamu. " Aira mengangkat kepala setelah mendengar suara yang terlampau datar, matanya bertemu dengan rupa sang kakak yang juga menyiratkan kepedihan. Entahlah, ini perasaan Aira saja atau bukan, jika sang kakak berubah dingin ketika berbicara dengannya sejak semalam.

"Iya." setelah mendapat jawaban dari sang adik, ia bergegas menjauh dari area pemakaman, meninggalkan adiknya di belakang yang berusaha menyusul langkahnya.

Choronophile × Ceraunophile

Saat ini Aira tengah duduk di dekat jendela kamarnya. Malam ini hujan kembali turun, memang tak selebat semalam, akan tetapi kilat dan petir terdengar sangat memekakkan telinga. Dulu, Aira sangat takut dengan kilat dan guntur. Setiap hujan turun yang dibarengi guntur, ia akan menangis dan bundanya akan memeluknya hingga dirinya tertidur. Namun, mengingat kejadian di ruang makan tadi, ia tidak yakin akankah ia akan merasakan dekapan hangat bundanya lagi atau tidak.

Saat kembali dari tempat pemakaman sang ayah, ibu Aira bersikap tak jauh berbeda dengan semalam, tak sehangat dulu. Saat ini, seakan-akan semua orang melimpahkan segala penyebab ayahnya pergi adalah dirinya. Aira tak apa sungguh jika orang lain menganggap dirinya penyebab kematian sang ayah, meski tidak sepenuhnya salahnya dan secara tidak langsung kejadian itu hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Ia bisa menerimanya, tetapi tidak dengan keluarganya yang menganggap Aira sebagai orang asing. Terkadang presepsi orang dapat merubah keadaan. Setitik air mata kembali membasahi pipi, ia menangis tanpa isakan, rasanya sangat menyakitkan. Dirinya tidak ingin menganggu keluarganya yang mungkin telah terlelap mengingat hari sudah sangat larut.

Kondisi kamar Aira yang didominasi warna abu-abu dan hitam terasa lebih mencekam karena minimnya cahaya. Aira memang sengaja tidak menghidupkan lampu kamarnya, hanya mengandalkan kilatan petir yang datang beberapa detik sekali. Sepertinya ia mulai menyukai setiap bunyi petir yang menyambar, terasa menenangkan, bunyi yang seolah-olah menunjukkan kekuatannya yang sudah lama dipendam, menunjukkan kekuasaan dengan sangat berkharisma, membuat semua orang meringkuk takut, dan bertekuk lutut.

Ya, memang petir sangat totalitas jika sudah unjuk diri, lalu setelah waktunya selesai, pergi semakin merunyamkan keadaan, meninggalkan trauma bagi mereka yang takut dan meninggalkan rasa tidak peduli bagi yang tidak mempedulikan. Itulah mengapa manusia diajarkan  untuk bertindak sewajarnya dan seimbang, tidak lebih dan tidak kurang. Matanya terpejam, masih tidak menyangka hidupnya berubah secepat ini, bahkan diusianya yang masih sangat belia. Hidup memang berjalan secara tiba-tiba, tidak bisa bersiap terlebih dahulu, apalagi merencanakan. Yang bisa dilakukan hanyalah menerima takdir-Nya dan melaksanakan takdir sesuai jalan yang tepat.

 Chronophile × Ceraunophile [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang