Langit mulai menggelap, Aira berjalan menuju halte bus untuk pergi ke supermarket terdekat. Kepalanya ia tundukkan untuk menutupi sesuatu yang keluar dari mata indahnya, berjalan seorang diri dengan tangisan dalam diam.
Kini, mata indah yang telah kehilangan pancaran kebahagiaan sejak sembilan tahun terakhir itu kembali mengeluarkan buliran bening. Membuat mata yang selama ini telah menyimpan banyak luka semakin kentara akan kepedihan. Aira membenci dirinya disaat seperti ini. Seharusnya hal kecil seperti tadi sudah terbiasa untuk dirinya terima. Menyesali menggapa dirinya masih saja menangis dengan hal-hal yang bahkan sudah terbiasa ia lalui sejak dulu. Tapi dirinya bisa apa? Tidak ada yang pernah terbiasa dengan luka.
Pertahanannya perlahan luruh, tubuh yang selama ini menyimpan lara seorang diri kini tengah dalam masa sulitnya. Setelah sekian lama berpura-pura menjadi sosok kuat dan acuh pada akhirnya juga akan menemui titik lelah.
Hidup tanpa memiliki seseorang untuk membagi derita. Tanpa rumah untuk singgahi, juga tiada sandaran disaat topangan tubuhnya melemah. Sungguh jika boleh memilih, Aira tidak ingin hidup dengan itu. Aira rindu dengan segalanya yang ia lalui dulu saat semuanya belum berubah. Dirinya iri dengan saudara-saudaranya yang masih bisa merasakan hangatnya pelukan sang ibu.
Daksa Aira tegakkan, pandangan mata yang semula berpusat pada titik gravitasi dirinya alihkan ke depan. Mengedipkan matanya beberapa kali untuk menghilangkan buliran air mata yang masih tersisa, ia hirup udara sekitar dengan perasaan tenang. Dirinya harus menata pertahanannya kembali. Setelah semua beban yang selama ini terpendam telah luruh saat air mata itu turun, kini saatnya untuk kembali menjalani kehidupan seperti biasa.
Seperti itulah Aira, tidak pernah larut dalam kepedihan. Kehidupan berat telah menempanya menjadi pribadi pemikir yang kuat. Dirinya tidak munafik, tak apa untuk sesekali menangis mengeluarkan keluh kesah dengan syarat setelah itu semua akan kembali seperti biasa.
Tidak ada gunanya untuk bersedih berlarut-larut, semua yang dirinya lalui akan menjadi pembelajaran tersendiri. Sesuatu yang biasa dianggap buruk, terkadang membawa sesuatu yang baik di baliknya.
Chronophile × Ceraunophile
Kulacino hasil dari minuman dingin dalam gelas terlihat menarik di mata seorang pemuda yang kini tengah duduk dengan pipi kiri menempel pada meja belajarnya. Jarinya bergerak acak menyentuh genangan air tersebut, hingga terbentuk gambaran abstrak di meja kayunya. Pikiran sedang terbang ke masa lalu, hanya sekedar mengenang tidak lebih. Namun, mampu membuat dirinya resah sendiri.
"Ck! " decakan keluar dari bibirnya, namun posisinya tidak berubah sedikitpun.
"Rigel, Kamu udah pulang ternyata? " sebuah suara lembut memasuki indra pendengaran sangat pemuda, dirinya menoleh ke arah pintu kamar yang memang sedari tadi tidak ia tutup.
Rigel tersenyum "udah ma, " lalu kembali mengalihkan atensinya pada meja.
"Tumben ngga heboh kaya biasa kamu, " sang ibu pun melangkah memasuki kamar putranya itu.
Merasa tak ditanggapi, sang ibu langsung mengelus bahu tegap pemuda tersebut.
"Kamu sakit sayang? " tanya sang ibu dengan tatapan khawatir. Sang putra yang mendengar nada suara sang ibu langsung mengangkat kepalanya, lalu tersenyum teduh.
"Ngga ma gapapa kok, "
"Kamu kenapa, kamu tau kan kalo kamu ga bakal bisa bohong sama mama, " suara sang ibu melembutmelembut, dan Rigel mengalah, tetap saja dirinya tidak akan bisa menyembunyikan apa pun dari sang ibu.
"Aku kangen ma, " kata Rigel lalu menundukkan kepalanya, sang ibu tersenyum mengerti arah pembicaraan sang anak.
"Gapapa sayang mama paham, kamu boleh kangen kok gaada yang ngelarang, asal kamu tau harus apa setelah itu, masih inget apa yang pernah kita bahas dulu? "
KAMU SEDANG MEMBACA
Chronophile × Ceraunophile [On Going]
Teen FictionStart : [05062020] End : - Dimana caramu mencari kebahagiaan, akan membuat mu terluka. Kisah tentang si pecinta waktu dan si pecinta kilat. Aira, anak tengah yang diperlakukan seperti orang asing oleh ibu dan saudara-saudarinya semenjak sang aya...