Akhirnya, Noura bisa bergerak.
Setelah dua puluh menit terpaku seperti patung, Noura bisa menggerakkan tubuh. Kepalanya yang direbahkan di atas meja belajar terasa kaku. Sisi kepala cewek itu yang dikecup Devan terasa panas. Jika mungkin, rasanya api neraka baru disulut di tempat Devan mendaratkan bibirnya.
Noura adalah manusia berlumur dosa yang terbakar oleh api itu.
Dengan kaki berjinjit, Noura mendekati Devan di atas kasur. Cowok itu tidur pulas dan tenang seperti bayi. Alisnya yang biasa mengerut tampak rileks. Mata tajam cowok itu tertutup. Bayangan hidung mancung Devan di pipinya menambah kekerenan cowok itu. Lalu, bibirnya ....
Noura berjengit. Dia tidak boleh mengulang adegan beberapa menit lalu di kepalanya!
Tangan Noura melambai-lambai di depan wajah Devan dengan jantung berdegup sangat, sangat cepat. Dia menahan napas saat Devan menggerakkan kepalanya sedikit. Apakah ... apakah Devan terbangun? Atau, yang lebih buruk, apakah cowok itu pura-pura tidur?
Noura menunggu selama satu detik. Dua detik. Hingga detik keenam puluh. Ketika Devan kembali pulas seolah memang tertidur, barulah Noura bisa bernapas lega. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana jika Devan memang bangun. Untungnya Tuhan mendengarkan rapalan doanya di dalam hati. Devan tidak bergerak-gerak mencurigakan seperti orang sadar.
Cewek itu merapikan tugas kuliahnya di atas meja belajar Devan. Awalnya, dia memang berkata ingin menemani Devan hingga orangtua cowok itu pulang. Namun, sekarang ... apakah Noura terdengar egois jika dia ingin pulang karena sang jantung tidak bisa memelankan detaknya?
Setelah memasukkan seluruh tugas dan peralatan menulisnya ke tas, Noura kembali mendekati ranjang Devan. Kali ini, posisi tidur cowok itu sedikit berubah. Dia memiringkan tubuhnya ke samping dan memeluk guling. Alisnya kembali mengerut, seolah dirinya menolak Noura yang tidak konsisten dengan perkataannya.
"Gue pulang dulu," bisik Noura di tengah kamar Devan yang sunyi. Tentu saja cowok itu tidak membalas.
"Lo udah membaik, 'kan?"
Sekali lagi pertanyaan Noura dijawab dengan keheningan. Dia memang bodoh, ya? Untuk apa bertanya jika orangnya sedang tidur?
Entah karena rasa penasaran atau sedikit kepedulian yang tersisa, Noura meletakkan tangannya di kening Devan. Suhu tubuhnya sudah normal. Setidaknya, Noura meninggalkan Devan saat kondisi cowok itu tidak lagi seburuk sebelumnya.
"Kalau ada apa-apa, lo boleh telepon gue. Nanti gue dateng," kata Noura lagi. Namun, cewek itu langsung mengernyit saat tersadar akan ucapannya. "Gue bakal dateng sama Mas Dika. Atau Mama. Atau Papa," tambahnya.
Noura mengangkat tangannya dari kening Devan. Lalu, dia merapikan selimut cowok itu. "Bye, Van. Get well soon."
Perlahan, kaki Noura menjauhi ranjang dan keluar dari kamar. Noura menutup pintu perlahan agar suaranya tidak terlalu kencang, tetapi sebelum pintu benar-benar menutup, Noura seakan mendengar sesuatu yang janggal.
Ada suara geraman tertahan dari dalam kamar Devan.
***
Sejak tadi pagi, Noura selalu menghindari Devan.
Pertama, saat seluruh mahasiswa tingkat pertama Teknik Elektro diminta berkumpul oleh para senior. Noura sebisa mungkin menghindari tatapan Devan. Kedua, saat mereka tidak sengaja bertemu di depan gedung fakultas. Noura langsung lari terbirit-birit seperti orang kebelet. Ketiga, siang ini, saat Noura sedang membeli sate ayam sebagai menu makan siangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[CAMPUS COUPLE] Hanifah Khairunnisa - Senior from Hell
RomanceNoura Tsabita menginginkan kehidupan normal di dunia perkuliahan, tetapi gagal mewujudkannya karena kehadiran teman masa kecil yang dia benci, Devan Putra Pratama, yang merupakan senior kejam saat OSPEK dan tidak segan-segan menyiksanya.