Bab 23: Satu Kecupan Membawa Debaran

5.1K 705 76
                                    

Apa yang baru saja Noura lihat?

Begitu suara menggelegar Devan menabuh gendang telinganya, Noura berlari ke luar kamar dengan kaki gemetar. Dia tidak mau terus-menerus membayangkannya, tetapi wajah memerah Devan membuatnya bertanya-tanya.

Kira-kira, wajah Devan semerah itu karena panas demamnya atau malu terhadap Noura?

Tidak tahu, ah!

Noura tidak mau ambil pusing. Namun, dia tidak bisa berhenti mengutuk diri atas kebodohannya. Kenapa Noura tidak mengetuk pintu lebih dulu? Kenapa Noura tidak bertanya apakah dia diizinkan masuk atau tidak?

Sambil menyandarkan punggung ke dinding luar kamar Devan, Noura seakan bisa mendengar ceramah guru agamanya bertahun-tahun lalu. Tidak boleh memamerkan aurat kepada yang bukan muhrim, begitu seingat Noura.

Cewek itu merasa berlumur dosa karena tidak sengaja mengintip Devan yang sedang berpakaian. Akan tetapi, jika dipikir-pikir lagi, bukannya Noura melihat aurat Devan, kok. Cowok itu sudah memakai piama dan sedang mengancingkan baju. Hanya sebagian dada Devan yang terlihat, mungkin satu jengkal tangan terhitung dari leher, tetapi reaksi cowok itu yang kelewat berlebihan.

Ya, 'kan?

Di tengah pemikiran Noura, Devan membuka pintu kamarnya yang tadi ditutup Noura saat cewek itu berlari keluar. Wajah Devan pucat dan lesu, tetapi cowok itu masih bisa memberikan tatapan sinis khas dirinya yang biasa. "Masuk," katanya.

Noura mengikuti perintah Devan sambil membawa nampan. Kali ini, cowok itu sudah berpakaian rapi dan berdiri di tengah kamar dengan tangan terlipat di depan dada tanda kesal.

"Mau ditaruh di mana nampannya?"

Dagu Devan menunjuk meja belajarnya yang bersih dan rapi. Noura meletakkan papan di tangannya sesuai permintaan Devan. Kemudian, cowok itu menarik kursi beroda dan duduk di depan meja sebelum menyantap makanan. Namun, sebelum satu sendok makan mencapai bibirnya, Devam menoleh.

"Kenapa masih di situ?"

Mata Noura mengerling jengkel. "Jagain lo, dong. Apa lagi?"

"Jagain?" balas Devan dengan nada terkejut yang tidak dibuat-buat.

"Iya. Tante Sri masih pergi, 'kan? Daripada lo sendirian dan kenapa-kenapa, mending gue jagain. Sekalian gue pantau lo minum obat."

Devan mendengus. "Emangnya gue anak kecil?" Namun, Noura pura-pura tidak mendengar dan mengeluarkan selembar kertas kosong dari dalam tas di punggungnya.

"Sambil jagain lo, gue ngerjain tugas kalkulus. Mumpung ada lo. Kalau enggak ngerti, tinggal nanya." Noura menekuk kaki agar bisa duduk di atas lantai yang keras, tetapi Devan segeran menarik tangannya. Jika tidak dipegangi Devan, mungkin Noura akan terjengkang saking kagetnya. Lalu, dia akan mempermalukan diri di depan cowok itu untuk kesejuta kalinya.

"Kerjain di meja belajar aja."

"Terus lo makan di mana?"

Decakan Devan terdengar seakan sangat terganggu. "Di kasur."

Kali ini, giliran Noura yang berdecak. "Kalau Tante Sri tahu lo makan di kasur, bisa abis lo."

Devan tersenyum miring, yang entah kenapa terlihat sedikit lebih keren daripada sebelumnya di mata Noura. Padahal, wajah cowok itu terlihat lesu dan pucat, yang mengingatkan Noura kepada patung tengkorak di laboratorium biologi SMA-nya.

"Kalau dimarahin Mama, tinggal bilang ini semua gara-gara lo. Kalau lo enggak di sini, gue enggak bakal makan di atas kasur."

Ugh ..., kenapa jantung Noura seperti tertohok, ya?

[CAMPUS COUPLE] Hanifah Khairunnisa - Senior from HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang