8

345 15 0
                                    

Rose

Sambil menyandarkan kepalaku ke jendela mobil, aku memandang ke atas langit, bintang-bintang bersinar dengan cerah ketika malam turun seperti tirai tebal, itu indah. Adanya cahaya begitu lengkap bahkan bayangan tidak bisa bertahan.

"Kau baik-baik saja, sayang?" Suara lembut ayahku mengalihkan perhatianku padanya, matanya tertuju padaku dan kemudian kembali ke jalan berliku di depan kami, tangannya mencengkeram erat roda kemudi, buku-buku jarinya memutih karena tekanan.

"Ya, aku hanya lelah." Balasku, memberinya senyum meyakinkan. Keheningan menyelimuti kami lagi, kenyataannya adalah, aku lelah, sangat lelah, bosan dengan hidupku.

"Apa yang terjadi di otakmu itu?" Tanyanya, dengan senyum lebar di wajahnya yang lembut, aku selalu merasa cukup dekat untuk memberi tahu ayah apa saja dan segalanya dan dia menerimanya dan ingin aku mengejar impianku.

"Aku bosan ibu masih memperlakukanku seperti anak kecil, aku tahu ini cuti sebentar, tapi aku terus mengatakan padanya aku ingin pergi dan belajar di London. Dia pikir aku harus tinggal bersamanya dan bekerja di kantor." Jelasku. Genggamannya menegang dan raut wajahnya tenggelam.

"Aku tahu dia hanya menginginkanmu tinggal karena Daniel selalu pergi, tapi dia harus menerima bahwa kau menginginkan kehidupan, tujuan karier; mimpi dan kau harus mengejarnya." Ucap Ayahku, suaranya kuat dan penuh bangga. Aku menggelengkan kepalaku padanya dan menatap jari-jariku, menggosok ibu jari.

"Well, jangan khawatir. Untuk sekarang, kita punya waktu dua tahun untuk memikirkannya." Ucap Ayah lagi, tahu betapa aku sangat ingin bekerja sebagai penerbit buku.

Aku telah mencoba untuk berbicara dengan Ibu tentang hal itu, tapi untuk beberapa alasan dia tidak bisa membiarkanku pergi. Dia bergumul dengan Daniel, tapi dia benci ketika membayangkan aku pergi.

"Aku sangat bangga saat kau mengejar apa yang kau cintai, aku hanya ingin kau memiliki kehidupan terbaik." Jelasnya, raut wajahnya penuh kesedihan, dia semakin mencengkeram kemudi itu. Sambil menahan air mata, aku mengangguk lagi.

"Mungkin kau perlu menceritakannya lagi pada Ibumu, sudahkah kamu berbicara dengan Wayne tentang hal itu? Bisakah dia membantu?" Ujar Ayah.

Aku merasa ngeri memikirkan ayah tiriku yang menjijikkan, kuharap dia membusuk di neraka, tapi aku tidak bisa mengatakannya pada ayahku, jadi aku hanya menggelengkan kepala untuk menghindari percakapan yang tidak diinginkan.

"Kurasa kau memiliki begitu banyak potensi Rose, kau harus percaya pada dirimu sendiri." Ujarnya, lalu mengulurkan tangannya dan mengacak-acak rambutku.

Ayah selalu tahu harus berkata apa, dia membuatku merasa bisa melakukan apapun di seluruh dunia ini. Keheningan menyelimuti kami lagi, aku memandang ke arah jalan yang kosong. Aku melihat cahaya di kejauhan, terang tapi tidak jelas seolah bersembunyi di kabut, ketika semakin dekat, mobil itu mulai terbentuk menjadi dua lampu depan.

Kecepatan kendaraan kami melaju di jalur pedesaan, tidak ada ruang bagi kedua mobil untuk melewatinya tepat waktu. Suara ayahku penuh ketakutan ketika dia meneriakkan namaku. Seketika semuanya menjadi gelap, dan suara jeritan ayahku semakin kencang.

Aroma kuat dari bahan kimia yang menyengat menghantam hidungku, penglihatanku kabur saat aku perlahan membuka mata. Mencoba menggerakkan jari-jariku yang sekarang tidak mungkin dan suara-suara tajam berdenging di telingaku, dengan perlahan-lahan aku berhasil menggerakkan kepalaku ke kanan. Ayahku duduk diam di kursinya dan menghadapku, mata cokelatnya yang hangat kini berlumuran darah dan tak ada suara satu napas pun di bibirnya yang sedikit terbuka.

Delicious Rose (Indonesian Translation)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang