11 . Magnet

13 2 0
                                    


Karena orang yang kau benci bisa saja dia yang menyelamatkanmu

•Jerat Rindu•
Ig @windanur_halizah

***

Semangat membaca!

Melupakan sejenak hiruk pikuk kota metropolitan.

Angin yang berhembus melewati wajah gadis yang tengah menikmati sejuknya udara yang menerba, menyibakkan jilbabnya. Di bawah pohon beringin, Giana duduk dengan buku ditangannya dan mata yang tertuju pada setiap lembar yang menjadi daya tarik seorang Giana Rasfi.
Mengabaikan suara yang dianggapnya tidak perlu untuk dipermasalahkan.

Selesai kelas Giana tak langsung pulang dia memilih membaca buku di tempat yang sudah dua tahun ini menjadi favoritnya. Hanya tiga puluh menit, untuk melupakan sejenak stress dan pusingnya perkuliahan.

Disampingnya beberapa tumpukkan buku turut menemaninya.

"Minum." Giana mengalihkan pandangan pada orang yang ada didepannya.

Giana menghela napas, enggan menanggapi laki-laki menyebalkan didepannya ini. Giana membenarkan posisi kacamata yang bertengger di hidungnya lalu menatap bukunya lagi.

"Udah lama pakai kacamata?" Erdi mengambil duduk de depannya.

"Kenapa?" Bukannya menjawab Giana malah balik bertanya dengan suara datar. Erdi menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal. Salah tingkah.
"Ng.. nggak apa-apa."

"Sekitar satu tahun lalu."

Erdi membulat. Diluar dugaan gadis es di depannya ini menanggapi pertanyaannya. Bahkan Erdi tak sungguh-sungguh bertanya. Erdi mengulum senyum simpul memalingkan wajahnya.

Setelahnya tidak ada lagi obrolan.

Untuk mengusir kekosongan, Erdi mengeluarkan laptop dari ranselnya, memeriksa beberapa tugas yang belum selesai. Sesekali melirik Giana yang tak mengalihkan pandangannya pada buku itu.

Bosan. Erdi menutup laptopnya gusar. Mengembuskan napas kasar.

"Gi, kamu nggak pulang. Sebentar lagi hujan."

Giana menatap Erdi sebentar lalu mendongak. Entah sejak kapan langit berubah menjadi gelap, mungkin saking asyiknya Giana membaca buku sampai tak ingat waktu saat jam dipergelangan tangannya menunjukkan pukul 15:12.

Giana menutup bukunya, dan memasukkan ke ransel miliknya, sisanya akan dia pegang.

"Pulang sekarang?" Tanya Erdi saat Giana sudah berdiri.

"Pakai payung ini. Nanti kehujanan." Erdi menyodorkan payung biru pada Giana.

"Nggak perlu. Kamu aja yang pakai." Tolak Giana.

"Aku bawa mobil. Kamu pasti nggak bakal mau kalau aku anterin. Makanya kamu pakai payung ini."

"Nggak usah."

"Gi-"

"Kamu kenapa sih ganggu aku. Ngikutin aku, sebenernya niat kamu itu apa?. Bahkan kita nggak saling kenal."

"Aku ingin melamar kamu."

"Jangan bercanda."

"Aku serius. Aku ingin menikahi kamu."

"Lebih baik kamu pulang!"

"Kenapa?. Kamu nggak lihat kesungguhan aku kah? Aku mengajakmu menikah, bukan pacaran. Kamu pasti paham itu kan?"

"Giana!"

Giana dan Erdi kompak menoleh pada seseorang yang berjalan kearah mereka dengan senyum yang mengembang.

"Saya cari kamu, ternyata disini." Dosen Radit tampak membuka ranselnya.
Giana tersenyum sambil mengangguk .

"Saya mau balikin flashdisk, terimakasih mau meminjamkan." Ucap dosen Radit tulus sambil menyodorkan pada Giana, Giana menerima,"Sama-sama pak."

"Giana, kamu pulang sama siapa? Mau bareng saya?" Tawar dosen Radit.
Giana menggeleng,"Maaf pak saya bisa pulang sendiri."

"Nggak apa-apa, saya pakai mobil. Kayaknya sebentar lagi hujan."

Giana menyambar payung yang dipegang Erdi."Saya bisa pakai payung."

"Sekali ini aja Giana, saya mau balas kebaikan kamu. Saya juga mau ngomong sama kamu."

Giana tampak gusar. Dia tidak ingin pulang bersama dosen Radit. Bukan apa, hanya saja Giana tidak ingin jika nantinya hanya berdua saja. Kalaupun ingin menolak Giana tak punya banyak nyali. Apa yang harus dia lakukan?

"Giana pulang sama saya."

Erdi berucap. Giana membulatkan mata sempurna.

Dosen Radit menoleh ke arah Erdi, sepertinya baru mengetahui keberadaannya, "Erdi.. kamu kenal sama Giana?"

"Saya sepupunya Giana," Giana menatap Erdi tanpa mengatakan apapun.

"Maaf pak, Giana tidak bisa pulang dengan bapak, apalagi hanya berdua. Saya harap bapak bisa mengerti." Dosen Radit mengangguk paham, meski wajahnya menyiratkan kekecewaan.

"Kalau begitu kami pamit  duluan pak. Assalamualaikum." Tanpa pikir panjang Erdi menarik lengan kanan Giana untuk menjauhi tempat itu.

Giana menatap lengan yang digenggam Erdi dan Erdi bergantian. Aneh. Biasanya Giana tak mau disentuh oleh laki-laki manapun. Baru akan mendekat saja Giana akan menepis, bahkan Rizki dan Aldo pun tak pernah bersentuhan langsung dengan Giana padahal mereka sudah saling kenal cukup lama. Tapi kini, Giana tak berontak saat laki-laki yang baru dia ketahui namanya menggenggam lengannya. Giana ingin menepis tapi pikiran dan hatinya tak selaras.

Giana cepat-cepat mengalihkan pandangan saat Erdi menoleh kebelakang sambil tersenyum.

"Maaf."  Erdi melepaskan genggamannya saat mereka sampai didepan gerbang. Tahu kalau saat ini Gimana tampak salah tingkah, Erdi tersenyum jail.
"Giana, kamu kenapa?"

"Kenapa?"

"Kok pipi kamu merah." Giana melotot, segera dia menangkup kedua pipinya.

"E-enggak apa-apa." Giana harus tampak biasa saja, jangan sampai Erdi melihatnya tengah blushing. Giana juga bingung kenapa hanya dengan hal sepele seperti itu dia bisa sampai blushing. Dan ini tidak bisa dibiarkan, bahkan suara Giana ikut tercekat mendukung kegugupannya.

"Ya udah, sana pulang." Perintah Erdi.

"Ck..kok ngusir."

Erdi terkekeh,"Enggak. Tapi ini udah gerimis." Giana mendongak, Giana tak sadar saat teteasan air mulai turun.
"Jangan lupa dipakai payungnya." Giana membuka payungnya dan berjalan melewati Erdi.

"Giana!"

Giana mendengus sebal, ada apa lagi? Dia menoleh kebelakang. Dengan ogah-ogahan dia bertanya.

"Apa lagi?"

Erdi tersenyum,
"Assalamualaikum." Giana membulat, dia lupa mengucapkan salam.

"Assalamualaikum." Ucap Giana kemudian

"Wa'alaikum salam."

****

18 Juni 2020

Salam

Winda

Jerat Rindu ( Telah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang