32 . New Normal

7 2 0
                                    

Selamat dan semangat membaca!

****

Sayup-sayup Giana mendengar adzan berkumandang, ia perlahan membuka mata dengan berat melirik jam di nakas sampingnya. 04:25, sudah subuh. Rasanya baru beberapa jam ia tertidur dan sekarang sudah pagi, bahkan ngantuknya belum hilang.

Giana segera bangun untuk bersiap-siap. Namun ada hal yang mengganjal perutnya, terasa berat. Ia menunduk mendapati tangan kekar yang memeluknya. Jantung Giana berdesir, dia melirik ke arah Erdi dengan ekor matanya. Tampak lelap dan tenang. Ia bahkan lupa jika mulai hari ini dia tidur tidak sendiri.

Ia mencoba melepas pelukan itu, namun bukannya terlepas malah semakin mengerat.

"Sebentar saja, Gi." Bisik Erdi dengan suara serak tepat di telinganya. Giana tertegun, "Sudah subuh."
Tapi Erdi tak menggubris, dia semakin menyamankan wajahnya di ceruk leher Giana. Bahkan hembusan napas Erdi terasa menerpa kulitnya, Giana semakin tak bisa mengendalikan detak jantungnya.

Dengan sekuat tenaga Giana melepas rengkuhan itu dan berjalan ke arah kamar mandi. Ia tak perduli dengan reaksi Erdi.

Giana terkejut saat membuka pintu kamar mandi, Erdi sudah berdiri di sana dengan handuk yang menyampir di pundaknya, Erdi tersenyum.

"Tunggu aku Gi, kita sholat subuh berjamaah." Ucap Erdi dan langsung masuk melewati Giana begitu saja.

Giana berkedip beberapa kali.

Rasanya canggung sekali, bingung akan bicara apa dan berbuat apa. Sepertinya ia harus menghafal dan membuat kebisaan baru bersama ... Erdi.

Sambil menunggu Erdi, Giana menyiapkan pakaian untuk pria itu. Tak lupa dua sajadah juga sudah ia gamparkan. Giana duduk di pinggir petiduran sambil membaca Alquran. Tak lama Erdi keluar, dan bersiap-siap.

Mereka melakukan sholat subuh berjamaah. Ini kali pertama ia melakukan sholat berjamaah bersama imam halalnya. Dan semoga menjadi pertama dan terakhir, meski rasa cinta belum tumbuh dengan sempurna di hati Giana namun ia yakin seiring berjalannya waktu rasa itu akan dan perlahan tumbuh.

****

Mereka semua sudah duduk di tempatnya masing-masing. Giana menghadap Rasmi dengan Erdi di sampingnya yang berhadapan dengan Ginanda.

Mereka mulai sarapan dengan tenang, sesekali mengobrol.

"Nek, saya sama Giana mau izin ke rumah mama." Giana berhenti mengunyah sesaat, dia menoleh ke arah Erdi. Dia tidak tahu soal itu. Kenapa mendadak sekali?

"Iya, nggak apa-apa. Tapi kalian libur kan?" Tanya Rasmi di sela makannya.

Erdi mengangguk, "Hanya tiga hari. Setelah itu saya akan melanjutkan pendidikan kedokteran saya." Ucap Erdi lagi. Rasmi hanya mengangguk.
Erdi tersenyum ke arah Giana, cepat-cepat gadis itu membuang muka.

Rasmi yang melihat gelagat cucunya pun menegur, "Giana, nggak boleh gitu. Erdi itu suami kamu."

Giana menggelang cepat, "Bukan begitu Uti."

"Giana selalu kalau bicara nggak pernah tatap aku nek, terus kalau di tanya jawabnya cuma deheman." Giana melotot ke arah Erdi. Pria itu, kenapa mengadu pada neneknya?

"Benar itu Giana." Suara Rasmi menginterupsi.

Giana menggeleng, "Enggak."

"Bohong nek!" Erdi mengelak, tampak senang saat melihat wajah Giana yang tampak pias.

"Enggak!" Giana meletakkan sendoknya kesal, bisa-bisanya Erdi mengadu kepada neneknya, di depan kakaknya juga lagi. Mau tidak mau Giana harus menahan malu.

"Enggak salah, berarti benar iya 'kan?"

"Hish."

"Kalau gitu lihat aku." Perintah Erdi, pria itu memiringkan badannya yang nghadap Giana. Giana acuh, dia tetap melanjutkan makannya.

"Tatap aku Gi!" Erdi menangkup wajah Giana dan memaksa untuk melihatnya, dan jadilah mereka saling menatap. Netra mereka beradu, Giana bisa melihat iris coklat itu yang menyorotnya tajam.

"Erdi." Pekik Giana saat jari Erdi mulai membelai pipinya. Ia sadar perbuatannya ini masih di meja makan apalagi di depan keluarganya. Erdi melepaskan tangannya perlahan.

"Gi, panggil Erdi yang bagus. Dia itu suamimu, masa panggilnya masih nama. Yang sopan." Perintah Rasmi.

"Hah?" Giana baru sadar betapa hebatnya sihir Erdi yang mampu mempengaruhi neneknya, sebenarnya cucunya itu dia atau Erdi?

"Panggil dengan panggilan romantis, apapun itu yang penting jangan nama." Rasmi sengaja menggoda cucunya, ekspresinya sangat lucu.

"Apa?" Giana cengo.

" 'Mas' misalnya." Kali ini Ginanda yang menyahut.

Giana melirik ke arah Erdi sebentar, pria itu masih lanjut makan dengan senyum yang tertahan.

"M-mas.. Erdi?" Itukah panggilan yang dimaksud?

Erdi menoleh sepenuhnya ke arah Giana, ia tersenyum manis. "Iya sayang."

****

16 Juli 2020

Jerat Rindu ( Telah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang