8 . Khawatir

12 2 0
                                    


Orang gila. Nggak waras. Giana tidak percaya kalau Erdi mahasiswa kedokteran. Kok bisa masuk kedokteran kalau otaknya geser, pasti ada kesalahan dari pihak kampus hingga menerima mahasiswa seperti Erdi. Kalau sudah jadi dokter, yang ada malah pasiennya semakin parah. Bagaimana lagi, Giana tidak kenal, baru tahu namanya tadi siang, dengan tegas Erdi mengatakan jika dia ingin melamar Giana . Giana bergidik merinding.

Bahkan Giana belum berpikir sampai ke pernikahan. Memang sebaiknya menikah itu harus disegerakan, takutnya terjadi fitnah. Tapi itu bagi yang sudah siap. Giana tak menampik jika suatu hari nanti akan menikah di usia muda, mungkin sudah takdirnya. Tapi menikah tidak bisa dikatakan siap saja. Menikah menurutnya harus siap secara lahir dan batin, dan juga ilmu untuk bekal rumah tangganya.

Giana menghembuskan napas kasar, mencoba melupakan perkataan Erdi yang terus mengganggu pikirannya. Kata-kata yang dianggapnya tidak penting selalu masuk telinga kanan keluar telinga kiri, namun saat berhubungan dengan Erdi, rasanya sangat mengganjal. Giana merapalkan istighfar, memukul-mukul kepalanya agar kembali sadar.

"Gi!." Giana terjingkat saat mendapat tepukan dipundak oleh Ranti.

"Kamu nggak apa-apa Gi. Sakit?" Ranti bertanya khawatir, sejak memasuki ruang musik sahabatnya ini tidak bicara sama sekali bahkan sering melamun
Giana menggeleng,"Nggak apa-apa." Giana melepas gitarnya dan menaruh ke tempat asal. Meraih ranselnya.

"Aku duluan ya." Belum sempat di jawab dia sudah berlari terlebih dahulu. Dia memilih pergi dari pada nanti akan dapat berbagai pertanyaan dari sahabatnya yang membuat pusing kepala. Giana tidak bisa mengatakan pada Ranti. Bagaimana nanti ekspresinya setelah gadis itu tahu jika Giana didatangi laki-laki yang ingin melamarnya. Giana menggedikan bahu.

Menyadarkan lamunan saat sudah sampai rumah. Dia mengedarkan pandangan

"Assalamualaikum." Giana masuk, meletakkan buku dan ranselnya di sofa rumah tamu, menghempaskan tubuhnya disana.

Namun ada yang membuat berbeda. Biasanya saat dia pulang kampus kakaknya atau Utinya~Rasmi selalu menyambut. Giana menegakkan tubuhnya, mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Sepi.

"Uti." Giana memeriksa kamar Ginanda, kosong. Lalu berjalan ke kamar Rasmi kosong juga. Giana menggaruk kepalanya. Kemana mereka pergi.

Giana mengambil ponselnya di saku yang sempat dia matikan.

Matanya membulat. Rentetan pesan dan belasan kali telepon dari Rasmi yang mengatakan kalau Ginanda masuk rumah sakit. Jantungnya terpacu kencang. Secepat kilat dia menyambar ranselnya lagi dan berlari keluar.

****

28 Mei 2020

Dahlah..aku gak ngomong apa-apa

Jerat Rindu ( Telah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang