46 . Takdir Allah

5 2 0
                                    

Selamat dan semangat membaca!

****

Rindu. Mungkin kata itu cocok untuk menggambarkan keadaan Giana sekarang. Keberadaan sosok pria yang belakangan mengganggu pikirannya seolah menjadi candu. Yang semakin hari semakin menguat kala hati berusaha keras melupakannya.

Tak dapat di elak, setiap detik Giana melewati hari yang menuntunnya dalam kehampaan. Perlakuan pria itu benar-benar berhasil memporak-porandakan hatinya.
Namun kala ia mengingat perkataan kakaknya tiba-tiba dadanya sesak, sakit yang semakin menghunus hatinya terus menggerogoti pikirannya untuk membenci. Meski ada satu pertanyaan di benaknya, bagaimana keadaan Ginanda?

Selepas memasak dan mencuci baju Giana mendudukkan dirinya di kursi kayu depan rumah, sambil mengamati anak-anak yang bermain dengan ceria.

Giana menghembuskan napas perlahan. Ia berada di panti asuhan tempat dimana ia dan Erdi pernah datangi. Dengan Bu Ima, dia berbagi semua kesahnya. Berharap mampu memberi waktu untuk hati dan pikirannya menerima keputusan yang ia buat.

"Nak Giana, ibu cari ternyata di sini?" ucap Bu Ima dari dalam rumah, langkahnya tergopoh.

"Iya Bu."

Bu Ima duduk di samping Giana, "Ponsel kamu bunyi, kamu nggak mau angkat dulu?" Bu Ima menyodorkan benda pipih itu pada Giana.

Giana membuang napas sejenak, "Biarkan saja Bu." tolaknya. Ia mengalihkan wajah, matanya sudah berkaca-kaca. Ia tahu semua panggilan itu berasal dari Erdi, tapi tak sekalipun ia berniat untuk menjawabnya. Ia juga tak berniat mengganti atau membuangnya nomornya. Ia benar-benar ingin sendiri sekarang.

"Dilihat dulu, siapa tahu penting." bujuk Bu Ima namun Giana masih bergeming. Bu Ima menaruh ponsel itu di meja lalu menghadap Giana.

"Ibu tahu perasaan kamu, bukannya mau ikut campur tapi alangkah baiknya di dengar dulu. Nggak ada salahnya kan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin." ucapnya pada gadis yang terus menunduk di depannya. 

Sedetik kemudian Giana langsung berhambur ke pelukan Bu Ima, ia menangis di sana menumpahkan sesak yang selama ini di pendam seorang diri. Setiap malam ia tak bisa tidur terus memikirkan masalah yang sedang ia hadapi. Setiap akan menangis Giana mensugesti dirinya untuk tetap tegar.

Bu Ima mengelus kepala Giana yang kian terisak. "Pikirkan baik-baik, jangan sampai kamu menyesal nak."

"Giana kecewa Bu." jawabnya dengan masih terisak.

"Kamu hanya kecewa, kamu belum tahu kan penjelasan yang sebenarnya?" Giana menggeleng lemah. Ia tidak sanggup mendengar penjelasan lagi yang pada akhirnya akan membuatnya semakin sakit.

"Jadi tunggu apa lagi? Kesempatan tidak datang dua kali. Kamu lihat, betapa beruntungnya kamu di banding anak-anak itu," tunjuk Bu Ima pada anak-anak yang sedang bermain, Giana melepas pelukan."Setidaknya kamu masih mempunyai keluarga, lihat mereka sejak kecil tidak tahu orang tua mereka. Namun apa kamu pernah melihat mereka menangis?" Giana menggeleng lagi.

"Ibu hanya manusia biasa, tidak tahu apapun tentang hati seseorang. Namun dari tatapan Erdi ke kamu, ibu tidak melihat kebohongan disana. Yang ibu lihat.. tatapan ketulusan."

Giana tertegun, air matanya sudah tak turun namun kenapa hatinya berdesir saat Bu Ima menyebut nama pria itu.

"Setiap orang pernah berbuat salah, entah itu sadar ataupun tidak. Namun tak bisa di pungkiri kalau orang itu menyesal. Karena orang bisa saja berubah atas kehendak-Nya. Kamu nggak tahu kan? Mungkin Erdi di sana menyesal. Jangan buat penyesalan yang pada akhirnya akan menjerumuskan dirimu dalam kedendaman. Kalau menurut ibu, kamu juga ikut andil dalam masalah ini, tidak seharusnya kamu pergi. Dengan kamu lari dari masalah itu akan membuatmu semakin hancur."

Giana tertegun mendengar penuturan dari Bu Ima, yang berhasil menyentil hatinya. Perkataan Bu Ima benar, tak seharusnya ia pergi. Masalah tidak akan pernah hilang jika manusia tidak menghadapi masalah itu.

"Giana harus bagaimana Bu?"

Bu Ima tersenyum manis, "Pulang, jelaskan apa yang ingin kau dengar dari dia, jangan kau kurung dirimu dengan penjara yang buat sendiri."

Drrtt.. drrtt..

Giana dan Bu Ima langsung terfokus pada ponsel yang berbunyi, tertera nama Erdi di sana. Bu Ima tersenyum.

"Masya Allah, baru saja kita membicarakannya ya?" Bu Ima terkekeh, mengambil posel itu dan menyerahkan pada Giana.

"Giana angkat ya?" Giana menggeleng, ia belum siap jika harus bicara dengan pria itu.

Akhirnya Bu Ima yang mengangkatnya. "Assalamualaikum, hallo."

"Wa'alaikum salam. Bu Ima?" jawab Erdi di seberang sana dengan nada heran. Giana masih mendengarkan.

"Bu Ima, Giana di sana?" tanya Erdi.

"Iya."

"Alhamdulillah, bagaimana keadaannya, dia dimana Bu, saya ingin bicara."

"Alhamdulillah, baik."

Bu Ima menyodorkan posel pada Giana namun gadis itu tetap tidak mau. Akhirnya Bu Ima me-loudspeaker suara agar terdengar oleh Giana.

"Nak Erdi, mungkin Giana butuh waktu. Dia ada bersama ibu, kalau kamu ingin bicara silahkan."

Tidak ada suara beberapa lama. Giana menunduk. Ia sadar memang disini ai juga salah.

"Giana, maafkan aku. Aku menyesal. Aku paham jika kamu masih kecewa. Pulanglah Gi, kalau bukan demi aku pikirkan bagaimana perasaan nenekmu, kakakmu."

Giana mendongak seketika, air bening lolos dari matanya begitu saja. Terlalu larut dalam kesedihan ia melupakan dua orang keluarganya yang masih ada.

"Aku tidak ingin kamu menyesal. Lihat dia untuk yang terakhir kalinya."

Giana melotot seketika. Perkataan Erdi sangat ambigu.

"Apa maksudnya?" pertanyaan Bu Ima mewakili rasa penasarannya.

"Ginanda.. meninggal."

****

30 Juli 2020

Selamat hari Raya Idul Adha 🙏

Jerat Rindu ( Telah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang