34 . Rival

6 2 0
                                    

Selamat dan semangat membaca!




****

"Kamu cuma bawa satu koper, Er?" Linlin menunjuk ke arah koper yang tengah di seret Erdi.

"Iya, ini isinya udah banyak kok. Nanti bisa beli baru lagi kalau bosen." Erdi mengangkatnya dan menaruh di jok belakang mobil. Hari ini ia dan Giana akan kembali ke rumah Giana.

"Hmm.. sultan mah bebas ya? Kalau bosen tinggal beli, kalau mau tinggal ambil." Celetuk Linlin pada kembarannya itu.

"Iri bilang boss." Erdi bicara bernada menyindir.

Linlin mencebik. Selalu saudara kembarnya ini senang sekali membuatnya kesal.

"Nggak ada yang ketinggalan?" Herlina menginterupsi dari dalam rumah menghampiri putranya yang bersiap-siap di teras.

Erdi berpikir sejenak, "Ada, Giana." Jawabnya asal.

Herlina langsung mencubit pipi putranya. "Maksud mama barangnya, bukan orangnya. Lagian Giana itu istri kamu, kalau kamu mau tinggal dia disini, mama nggak masalah malahan senang. Tapi apa iya kamu pulang sendirian?"

"Nggak. Kalau Giana disini, terus siapa yang mau aku peluk kalau tidur?"

Linlin memutar bola matanya malas, ucapan Erdi itu selalu berlebihan jika di depan Herlina. "Lebay, manja. Biasanya juga tidur sendiri."

Erdi melirik Linlin tajam, "Jomblo sirik aja."

Herlina geleng-geleng kepala melihat interaksi keduanya, selalu ribut jika bertemu tapi jika salah satunya pergi dengan waktu yang lumayan lama, pasti bertanya.

"Coba lihat tangannya." Perintah Erdi, Linlin menurut saja menjulurkan kedua tangannya. Erdi menelisik sejenak lalu mendongak.

"Beneran jomblo. Nggak ada cincinnya." Ejek erdi sambil menunjukkan cincin di jari manisnya. Linlin mencak-mencak mendapat ejekan dari Erdi.

"Ma.. lihat Erdi ngejek Lin." Lin mengadu pada sang mama berharap mamanya membelanya.

"Emang iya, jomblo kan?"

"Nggak."

"Lah itu buktinya."

"Belum ada yang ngisi aja." Lin gak mau kalah.

"Erdi, lebih baik kamu panggil istrimu. Katanya kamu ada urusan." Herlina mencoba menengahi.

Erdi mengangguk, dia berjalan memasuki rumah dengan masih terus menggoda Linlin. Mereka itu, selalu bertengkar jika bertemu.

Erdi melewati ruangan yang tampak sepi. Papanya sudah dari pagi ke rumah sakit, adiknya sudah pasti berangkat sekolah.

Erdi menaiki tangga dan menuju kamarnya.

Cklek!

Giana masih tak bergeming. Duduk di depan cermin. Tangan kirinya memegang kertas dan tangan kanannya memegang ponsel.

Pandangannya lurus, menyorot sebuah surat yang dia temukan saat tadi merapikan seprai.

Siapa lagi kalau bukan milik Erdi?. Hatinya sedikit ngilu. Erdi masih menyimpan surat cinta dari seseorang yang Giana tidak tahu. Apa dia cemburu?

Giana menggelengkan kepala. Namun ada hal yang mengganjal pikirannya. Dari tulisan di kertas itu, sangat mirip dengan tulisan ... Ginanda, kakaknya.

"Giana." Giana terjingkat saat seseorang menepuk pundaknya, dia menoleh.

"Erdi."
Erdi tersenyum manis, sesaat kemudian pandangannya teralih ke benda yang sedang di pegang Giana, segera Erdi mengambilnya dan meletakkannya di laci. Giana hanya diam memandangi gerak Erdi.

"Gi, kamu nggak usah khawatir. Itu hanya masa lalu." Erdi menggenggam tangan Giana.

Giana perlahan mengangguk, "Setiap orang mempunyai masa lalu."

Tulisan manusia mungkin sama, namun itu tidak mungkin milik kakaknya. Tidak mungkin Ginanda punya hubungan Erdi.

"Kita pulang." Ajak Erdi, Giana hanya mengangguk.

****

18 Juli 2020

Jerat Rindu ( Telah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang