Teruntuk Najla
Weekend, waktu emas bagi para budak corporate seperti Najla. Akhir pekan kali ingin ia habiskan hanya dengan bersantai di rumah. Duduk di gazebo taman belakang, sambil mendengar gemercik air kolam ikan milik papanya, namun tetap tidak lupa dengan laptop dan beberapa buku bacaan. Marisa sangat senang melihat anak gadisnya itu menghabiskan waktu di rumah, perasaannya selalu tenang. Ia ikut bergabung dengan Najla, datang membawa beberapa potong kue yang di beli oleh Ayu, serta beberapa camilan untuk menemani santai mereka hari ini.
"Seneng banget Mama lihat kamu di rumah kayak gini, Mama jadi tenang, nggak banyak kepikiran kamu terus, kalau aja kamu kerjaannya balik ke kantor lagi, jadi konsultan pariwisata aja, nggak harus travelling sendirian, mama kan jadi senang," ucap Marissa yang membuat Najla merasa tidak nyaman.
Najla menghela nafasnya berat, pembahasaan soal itu lagi membuat mood weekend nya menjadi berantakan.
"Nggak ada pembahasan lain, Ma?" tanya Najla.
"Kenapa emang kalau bahas pekerjaan?" justru Marisa tanya balik.
"Hm, okey, Nana tau kok, Mama sekarang udah nggak lagi dukung Nana untuk travelling lagi, padahal Mama tau kalau menjadi seorang travel writer itu adalah pekerjaan yang Nana seneng lakuin," ucap Najla.
"Bukan Mama nggak dukung Na, cuma Mama tuh selalu khawatir setiap kamu pergi sendiri, takut terjadi apa-apa sama kamu. Mama nggak ngelarang kamu kerja, cuma kalau bisa milih, Mama pengen kamu kerja kantoran lagi kayak dulu," bantah Marissa.
"Selama ini Mama nggak pernah melarang kamu kan? kamu udah dewasa Na, kamu sudah bisa menentukan pilihan kamu sendiri, cuma yang belum Mama lihat dari kamu adalah persiapan masa depan kamu. Kamu boleh kerja, tapi jangan pernah lupain masa depan kamu, kamu nggak pengen nikah?" tanya Marissa.
Najla hanya diam tidak memberikan jawaban, satu persoalan pekerjaan yang dipermasalahkan sama Mamanya belum selesai. Sekarang Marisa melebarkan permasalahannya ke arah pernikahan. Saat ini Najla masih sangat menikmati pekerjaannya, kenapa harus ada pertanyaan mengenai pernikahan, calon aja belum ada.
"Ma, boleh nggak sih, Nana selesain satu permasalahan dulu, soal pekerjaan, baru nanti Mama tanya soal jodoh Nana, sekarang Nana masih baru dua lima, Ma, kenapa harus buru-buru sih?" tanya Najla pada akhirnya.
"Nana masih mau nikmatin hidup Nana, menjadi travel writer yang punya privilege jalan-jalan menyusuri Indonesia tanpa bayar, justru Nana di bayar. Nggak semua orang punya kesempatan itu Ma, tapi Nana punya, masa iya harus Nana sia-sia in sih?" tambah Najla.
Marisa bingung harus menggunakan kata-kata apa lagi agar anak perempuannya itu bisa meninggalkan pekerjaan travelling nya. Ia hanya memikirkan masa depan Najla, suatu saat nanti kalau sudah menikah. Ia tidak mau kalau putrinya itu masih mementingkan pekerjaan dibandingkan keluarganya, tapi susah sekali Marisa menyampaikan itu kepada Najla.
"Nanti kalau kamu udah nikah? Apa kamu masuh mau travelling," tanya Marisa.
"Kalau bisa, kenapa enggak?" tanya Najla balik.
"Kalau suami kamu nggak izinin?" tanya Marisa lagi.
Najla diam, dia tidak mau menjawab pertanyaan Mamanya yang satu itu. Pertanyaan itu belum ada jawabannya, karena dia belum merasakan posisi itu. Kalaupun ia menjawab, pasti sesuai keinginannya, dan pasti selalu bertentangan dengan Mamanya. Sepertinya pembahasan itu tidak akan ada habisnya ia bahas dengan Mamanya.
"Mama cuma mau pesan satu sama kamu, kehidupan setelah menikah itu nggak cuma tentang kamu aja, tapi keduanya, dan peran perempuan dalam keluarga adalah kunci dari rumah tangga itu sendiri. Kalau kamu masih kekeuh untuk tetap memilih travelling, Mama harap kamu ingat pesan Mama itu," ucap Marisa kemudian meninggalkan Najla di tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh Agamaku ✔ [TAMAT]
Spiritual[SELESAI || Romance - Spiritual - Travelling] Bandara, menjadi salah satu tempat bersejarah untuk seorang Najla Hilyah Mumtazah. Meski hampir tiap bulan sekali mengunjungi bandara, tapi untuk saat itu sangat berbeda. Dimana dipertemukanya dia dengan...