Bree turun ke lantai bawah menuju ruang makan. Di sana, semua orang sudah berkumpul. Seperti biasa, mereka terlihat seperti keluarga bahagia tanpa Bree.
Saat melihat Bree, Geraldi seketika berdiri. Ia menghampiri Bree dengan senyum merekah. Ia merentangkan kedua tangannya, memeluk Bree erat.
"Selamat ulang tahun, Brianna. Papa sayang kamu," ujar Geraldi. Bree membeku di tempat. Ia hampir saja meloloskan air matanya, namun ia tahan mati-matian. "Makasih, Pa."
"Papa akan transfer uang sebagai hadiah ulang tahunmu. Habiskan bersama teman-temanmu, sayang. Maaf, Papa nggak bisa temani kamu tahun ini. Papa harus keluar kota."
Ha.
Air mata yang tadi Bree tahan-tahan seolah kembali masuk kedalam tubuh Bree tanpa paksaan. Senyumnya yang lebar digantikan dengan senyuman miris.
Sebenarnya, ingin sekali Bree merayakan ulang tahunnya bersama papanya. Hanya berdua. Menghabiskan waktu bersama pergi ke mall, nonton bioskop, dan melakukan hal-hal menyenangkan layaknya ayah dan anak. Tapi tahun ini, Bree harus mengubur harapannya itu. Sama seperti tahun lalu. Dan tahun lalunya lagi. Dan tahun lalunya lagi.
Dulu, saat Rossa masih hidup, Rossa akan menahan Geraldi untuk pergi ke luar kota saat Bree berulang tahun. Dan Geraldi akan selalu menuruti keinginan istri tercintanya itu.
Kalau sekarang, Nindia? Dia hanya akan melakukan itu untuk Valerie. Geraldi selalu mengusahakan untuk hadir saat Valerie berulang tahun atas permintaan Nindia. Oh ya, jangan lupakan tas mahal atau ponsel baru yang diinginkan gadis tengik itu saat berulang tahun.
Belum lagi kalau Nindia yang berulang tahun. Ia akan meminta mobil baru, tas ratusan juta, atau perhiasan keluaran terbatas yang harganya selangit. Haha, menjijikan.
"Selamat ulang tahun, Brianna sayang," ucap Nindia dengan senyuman palsunya. Ia memeluk Bree entah sejak kapan. Namun pelukan itu begitu erat, bahkan Nindia mencengkram punggung Bree.
"Happy birthday, Kak!" ucap Valerie, juga dengan senyum palsunya. Ibu dan anak sama saja.
"Makasih," ucap Bree singkat. Bahkan Bree enggan tersenyum.
Mereka menghabiskan sarapan mereka, lalu pergi ke sekolah. Valerie dan Bree memiliki supir pribadi sendiri-sendiri, karena mereka bersekolah di tempat yang berbeda. Valerie masih SMP, dan Bree sudah SMA.
Di perjalanan, Bree melihat dirinya di kaca kecil yang dibawanya, memastikan matanya yang bengkak sudah tertutupi dengan sempurna. Bree seolah sudah sangat terlatih melakukan hal itu, saking seringnya ia menangis.
Bree memang terlihat sangat kuat dan menyeramkan di luar, namun sebenarnya, ia adalah gadis paling rapuh sedunia.
***
"Happy birthday, Bree si galak!"
Joan berlari memeluk Bree erat. Bree langsung mendorong Joan untuk menjauh, membuat Joan terkekeh.
"Makasih," jawab Bree dengan senyum simpulnya. Mungkin, senyuman Bree hanya akan muncul bila ia sedang bersama Joan atau Bi Nur.
"Ntar pulang sekolah ikut gue, gue punya kejutan buat lo," kata Joan. Bree mengernyit. "Mau kemana?"
"Udah lah, lo ikut aja," kata Joan, sambil mengedipkan matanya. Bree mengangguk samar. Mereka berdua berjalan beriringan masuk ke dalam kelas, menunggu bel masuk berbunyi.
Seharian itu, Bree tidak melihat Ray sama sekali. Entah, Bree juga tidak terlalu peduli.
Bree dan Joan berjalan beriringan ke kantin saat jam istirahat. Mereka berjalan cepat ke sebuah meja di tengah ruangan yang masih kosong. Mereka harus cepat, sebelum ada orang lain yang mengambil.
BRAK!
Suara tabrakan yang keras, diiringi pecahan gelas dan piring membuat seisi kantin menoleh.
"LO PUNYA MATA NGGAK, SIH?!"
Bree menatap laki-laki di hadapannya dengan pandangan kesal. Laki-laki itu menunduk dalam, sesekali membenarkan letak kacamatanya yang melorot. Bisa dilihat, badan laki-laki itu bergetar ketakutan.
Siapa yang tidak takut? Ia baru saja menabrak senior paling galak seantero sekolah. Tak hanya menabrak, ia bahkan menumpahkan kuah bakso dan es jeruknya di seragam gadis itu.
"HEH! UDAH NGGAK PUNYA MATA, SEKARANG NGGAK PUNYA MULUT?!"
"Bree, udah," ujar Joan menenangkan. Namun seperti biasa, usahanya sia-sia. Padahal anak laki-laki didepannya seolah sudah hampir pingsan saking pucatnya.
"M-maaf, Kak, s-saya nggak s-sengaja."
"GUE NGGAK PEDULI LO SENGAJA ATAU ENGGAK! BEGO BANGET SIH JADI ORANG!"
Joan menarik Bree menuju ke UKS sebelum gadis itu semakin emosi.
"Bisa minta seragam baru, nggak? Ayo cepetan," ujar Joan pada anak PMR yang sedang piket.
Melihat Bree yang datang, gadis itu langsung berlari menuju lemari penyimpanan seragam, dan menyerahkan sebuah seragam ke arah Joan. Ia tak berani menyerahkan langsung kepada Bree yang wajahnya sudah merah padam itu.
Joan menuntun Bree untuk ke toilet. "Nih, lo ganti dulu. Gue tunggu di luar."
Bree menarik seragam dengan kasar, masuk ke dalam toilet untuk mengganti seragamnya. Tak lupa ia membersihkan bagian tubuhnya yang terkena tumpahan kuah bakso dan es jeruk hingga bersih.
Bree keluar dari toilet, menyusul Joan yang sedang mengobrol bersama Daniel. Begitu melihat Bree yang sudah keluar dari toilet, Joan langsung berpamitan pada Bree, dan berjalan menghampiri Bree.
"Ayo balik ke kelas," kata Joan. Bree mengangguk. Mereka melewati Daniel yang masih diam di tempatnya. Joan dan Daniel saling melemparkan senyum, membuat Bree curiga.
"Lo sama Daniel ada hubungan apa?" tanyanya.
Joan menggeleng cepat. "Nggak ada apa-apa," kata Joan. "Kenapa?"
"Terus tadi dia ngapain?"
"Nih, ngasih makanan," kata Joan polos. "Dia beliin buat gue sama lo. Katanya, dia liat kita waktu di kantin tadi. Kita kan nggak jadi makan."
Bree terkekeh pelan. Sahabatnya itu memang sangat polos dan tidak peka. Padahal sudah sangat jelas, Daniel menaruh hati pada Joan.
Banyak orang yang bilang, Bree dan Joan memiliki sifat yang sangat berbeda, seperti air dan api. Bree yang berapi-api dan mudah tersulut emosi, serta tak takut apapun. Sedangkan Joan, memiliki kepribadian yang baik hati dan suka menolong. Ia seperti pemadam bagi amarah Bree.
Mereka sudah sampai di kelas, dan tepat saat itu, bel selesai istirahat berbunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
WITH LOVE, BRIANNA. ✓
Teen FictionMenjadi pribadi yang galak dan emosional adalah sebuah bentuk pertahanan diri seorang Brianna Rossana Geraldi. Alasannya sederhana, ia hanya tak ingin terlihat lemah di depan orang lain. Menjadi putri kandung seorang Geraldi tak membuat dirinya bah...