"Akhir pekan nanti, Papa ingin mengajak kita semua liburan ke Singapura."
Ucapan Geraldi sukses membuat Bree terkejut. Tak hanya Bree, namun Nindia dan Valerie juga dibuat terkejut dengan ucapan laki-laki paruh baya itu.
"Tumben banget, Pa?" tanya Nindia heran. Geraldi tersenyum.
"Sudah lama, kita tidak pergi bersama. Berhubung pekerjaan Papa sudah berkurang, rasanya pergi liburan tidak ada salahnya. Kalian mau, kan?"
Nindia dan Valerie langsung tersenyum sumringah. Tanpa berpikir dua kali, mereka mengangguk setuju.
"Valerie boleh belanja yang banyak kan, Pa? Valerie denger, katanya ada tas limited edition dari brand favorit Valerie. Katanya baru ada di Singapur, belum masuk Indonesia."
"Aku juga ya, Mas? Aku udah ngincer satu tas dari lama banget. Mumpung temen-temen aku belum ada yang punya."
Bree memutar bola matanya malas. Kapanpun, dimanapun, mereka selalu cari kesempatan untuk memeras uang Geraldi. Bahkan Bree, anak kandungnya sendiri, tidak pernah meminta barang-barang semahal mereka!
"Boleh. Kalian boleh belanja sepuasnya nanti di sana. Jangan khawatir," ucap Geraldi. Pandangannya lalu tertuju pada Bree yang masih sibuk mengaduk makanannya tanpa minat.
"Kamu mau ikut kan, Brianna?"
Bree tersenyum, setengah meringis. Tentu,
Ia akan menolak.
"Bree ada tugas, Pa. Kayaknya Bree bakal nginep di rumah Joan."
Geraldi hanya menatap Bree datar. Tak lama, ia mengangguk. "Terserah."
Bree merasa lega, sekaligus merasa bersalah. Ia lega karena Ayahnya tidak memaksanya, dan merasa bersalah karena ia harus berbohong. Tidak ada tugas yang mengharuskannya menginap di rumah Joan seperti yang ia katakan. Walaupun ia memang akan menginap di rumah sahabatnya itu.
Ia bisa melihat raut kekecewaan di wajah Ayahnya, walaupun sangat sedikit. Merasa tak yakin, Bree memutuskan untuk tidak berharap banyak.
***
"Papa ngajak ke Singapura tiba-tiba, Ray! Aneh banget nggak, sih?"
Bree merebahkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamar. Ia sedang mengobrol dengan Ray melalui sambungan telfon.
"Apanya yang aneh?"
Bree berdecak. "Papa nggak pernah ngajak pergi, tau! Apalagi akhir-akhir ini dia selalu sibuk. Tiba-tiba ngajak ke Singapura ntar weekend!"
Terdengar kekehan dari ujung telfon. "Ya emang pingin aja kali, Bree. Kamu ikut, kan?"
Bree menggeleng, walaupun Ray tak bisa melihatnya. "Nggak. Aku nginep di rumah Joan aja. Aku males pergi bareng mereka."
Walaupun tidak Bree jabarkan dengan jelas, Ray sangat paham siapa yang gadis itu maksud dengan 'mereka'. Tentu Nindia dan Valerie, tidak termasuk Geraldi.
Ray menghela nafas. "Kamu yakin? Kali aja, bisa memperbaiki hubungan kamu sama Papa kamu?"
"Nggak ah," ucap Bree. "Aku pesimis kalo yang itu."
Ray terdiam sebentar, hingga akhirnya kembali bersuara. "Ya udah, terserah kamu. Udah minum obat?"
"Udah," jawab Bree.
"Hmm. Sekarang tidur. See you tomorrow, Princess!"
Bree terkekeh. "Najis!"
Setelah itu, Bree mematikan sambungan telfon. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu mengambil buku hariannya. Seperti biasa, Bree mencurahkan apa yang ia rasakan sepanjang hari ini di buku itu.
Setelah selesai, Bree mengembalikan bukunya ke bawah kasur. Ia membaringkan kembali tubuhnya, mematikan lampu, dan tak lama, Bree sudah terlelap.
***
"MAMA!"
Valerie masuk ke dalam kamar Nindia dengan wajah kesal. Ia berjalan cepat dan duduk di tepi kasur, mengambil majalah yang ada di tangan Nindia, dan membantingnya ke sembarang arah.
"Kenapa sih kamu?!" tanya Nindia heran.
"Kata Mama hubungan mereka bakal renggang! Mana? Mereka malah makin lengket sekarang!" gerutu Valerie.
Nindia menghela nafas, lalu bangkit dan duduk di sebelah Valerie. Ia mengusap puncak kepala Valerie lembut, berusaha menenangkan anak kesayangannya itu.
"Sabar sebentar, Nak. Mama sudah punya rencana yang pasti bakal berhasil. Mama janji."
"Apa rencananya?! Kasih tau aku kalo memang Mama udah punya rencana! Aku juga mau tau!"
Nindia mengambil sebuah botol dari tasnya, membuat Valerie mengernyit bingung.
"Apa itu?" tanyanya.
Nindia mendekatkan dirinya ke Valerie, lalu membisikkan rencananya. Walaupun Geraldi sedang ada di ruang kerja dan pasti tidak mendengar, Nindia tetap tidak ingin kecolongan.
Sebuah senyuman terbit di bibir Valerie. Ia mencium pipi Nindia senang.
"Makasih, Ma! Aku bobok dulu. Bye!"
Valerie tersenyum puas. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar, namun tiba-tiba tubuhnya membeku saat ia melihat sosok Geraldi yang sedang berjalan ke arah kamar.
"Valerie? Ada apa kamu ke kamar Papa?" tanya Geraldi.
"Oh? Ehm--nggak, Pa. Tadi Valerie sama Mama lagi bahas mau bawa baju apa ke Singapura. Sama bahas tas juga."
Geraldi diam sebentar, lalu mengangguk. Melihat tidak ada raut curiga sama sekali di wajah Ayahnya, Valerie merasa lega.
"Valerie tidur dulu ya, Pa."
Setelah itu, Valerie langsung pergi ke kamarnya dengan langkah cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
WITH LOVE, BRIANNA. ✓
Teen FictionMenjadi pribadi yang galak dan emosional adalah sebuah bentuk pertahanan diri seorang Brianna Rossana Geraldi. Alasannya sederhana, ia hanya tak ingin terlihat lemah di depan orang lain. Menjadi putri kandung seorang Geraldi tak membuat dirinya bah...