"Belum pulang?"
Nindia yang daritadi berjalan mondar-mandir di ruang tamu, menggeleng lemah. Raut wajahnya terlihat sangat khawatir, matanya juga berkaca-kaca. Ia sedari tadi memegang ponselnya, berkali-kali memeriksa kalau ada pesan atau telfon yang masuk.
"Aku khawatir, Mas," ujar Nindia. Ia memeluk Geraldi erat, menangis di pelukan laki-laki paruh baya itu.
Geraldi berusaha menenangkan Nindia, dengan mengusap punggung Nindia pelan. "Tenang aja, Brianna sudah besar. Mungkin dia masih menginap di rumah Windy."
"Aku sudah telfon Windy. Brianna nggak kembali sejak berangkat sekolah."
Geraldi menghela nafas kasar. "Kemana anak itu," lirihnya.
"Ma, Kak Bree nggak pulang lagi?" tanya Valerie yang baru saja keluar dari kamar. Sedetik kemudian, ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, seolah menyadari kesalahannya.
Pertanyaan Valerie sukses membuat kening Geraldi berkerut. "Lagi?" tanyanya heran. Ia mengalihkan pandangannya, menatap Nindia heran. "Apa ini sudah terjadi berkali-kali?"
Nindia mengangguk pelan. "Aku akan jelasin, tapi Mas janji, nggak akan marah ke Brianna."
Geraldi yang tak sabaran, langsung menyetujui. "Ada apa sebenarnya?"
"Sebenarnya Brianna jarang pulang kalau Mas nggak ada," kata Nindia. Suaranya terdengar parau karena habis menangis. "Kalau pulang pun, pasti tengah malam. Setiap aku tanya, dia akan marah-marah, sampai bentak aku dan Valerie."
Geraldi mengepalkan kedua tangannya. "Betul itu, Valerie?"
Valerie menunduk, menganggukkan kepalanya pelan. "Tapi Papa jangan marah ke Kakak. Valerie takut Kakak tau kalau Mama dan Valerie lapor ke Papa. Nanti dia marah-marah lagi."
Geraldi menggeram kesal. "Kurang ajar anak itu! Apalagi yang ia inginkan? Semuanya aku turuti! Bagaimana aku bisa membesarkan anak dengan perilaku seperti itu!"
Nindia menggenggam tangan Geraldi. "Maafin aku, Mas. Aku nggak bisa jadi mama yang baik untuk Brianna. Dia mungkin masih belum bisa menerima aku dan Valerie sebagai bagian dari keluarga ini. Aku belum bisa jadi ibu yang baik untuk Brianna."
Geraldi mengusap tangan Nindia. "Bukan salah kamu. Bukan salah Valerie. Memang Brianna saja yang nggak tahu terima kasih! Sudah, mulai sekarang, aku akan mendidiknya dengan keras! Biar dia menjadi urusanku. Setiap aku menghajar atau memarahi dia, kalian berdua jangan ikut campur!"
Nindia dan Valerie mengangguk paham. Geraldi bangkit dari kursinya, berjalan kembali ke ruang kerjanya. Ia tak menyadari, sebuah senyum kemenangan tercetak jelas di bibir ibu dan anak itu.
"Gimana acting Mama?" tanya Nindia.
Valerie mengacungkan kedua jempolnya. "Top!"
Nindia terkekeh. "Kayaknya kita berhasil buat Papa makin benci sama Brianna."
Valerie mengangguk. "Mama yakin, Valerie bisa dapetin Kak Ray dengan cara ini?"
"Jelas," kata Nindia. "Percaya sama Mama. Pokoknya, kamu cuma perlu mengambil hati Papa. Kamu harus jadi anak kesayangan dia. Buat dia makin benci sama Brianna, terus makin sayang sama kamu. Mama yakin, Papa bakal nurutin semua keinginan kamu. Termasuk dapetin Ray."
Valerie mengangguk senang. "Mama terbaik!"
***
"Kanker otak, Dok?"
Bree menatap Rania dengan pandangan terkejut.
Rania mengangguk. "Bree, kamu harus bilang ke orang tuamu. Kalau kamu nggak berani bilang, Ray bisa bantu kamu."
Bree menggeleng tegas. "Jangan. Bree nggak mau nyusahin Papa lagi. Lagipula, Papa nggak akan percaya."
Rania menghembuskan nafas kasar. Sedari tadi, Bree terus-terusan mendesaknya untuk memberitahu penyakit apa yang membuatnya terus merasa pusing dan sakit kepala. Akhirnya, Rania menyerah. Sekarang, ia harus berusaha membujuk Bree untuk memberitahu orang tuanya.
"Mereka orang tua kamu. Mana mungkin nggak percaya? Ayolah, Bree. Mereka berhak tau. Kamu harus segera dirawat."
Bree kembali menggeleng. "Bree bakal bayar semua dengan tabungan Bree. Tapi Bree mohon Dok, jangan kasih tau Papa. Bree nggak mau nambah beban Papa."
Ray mendengus melihat betapa keras kepalanya Bree. "Lo mau, liat Bokap lo mati jantungan karena ngeliat anaknya mati kanker?"
"Ray!" panggil Rania tegas. Ia melemparkan tatapan menusuknya pada Ray. "Tante yakin papa mama kamu nggak pernah ngajarin kamu ngomong gitu!"
Ray tersenyum tipis, mengalihkan wajahnya. Ia sudah tak tahu lagi, dengan cara apa ia bisa membujuk Bree untuk mengatakan semua pada orang tuanya.
"Lagipula masih stadium awal kan, Dok? Nggak masalah. Sebenernya, Bree meninggal pun juga nggak papa. Nggak bakal ada yang sedih. Paling cuma Joan, sama Bi Nur. Sisanya bakal cepet lupa."
Rania menatap prihatin Bree yang sedang menunduk sembari memilin jari-jarinya. Berapa banyak luka yang sudah gadis itu dapatkan, sehingga ia harus merasakan putus asa yang sebegitu besarnya?
"Gue nggak lo itung?" tanya Ray. "Gue juga sayang sama lo, Bree!"
"Hubungan kita cuma bohongan, Ray! Lo nggak boleh punya perasaan sama gue!" ujar Bree kesal.
"Tapi-"
"Ray," sela Rania. "Kamu keluar dulu. Tante mau bicara dengan Bree berdua."
Ray menatap Rania dan Bree bergantian, lalu mengangguk. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar Bree.
KAMU SEDANG MEMBACA
WITH LOVE, BRIANNA. ✓
Teen FictionMenjadi pribadi yang galak dan emosional adalah sebuah bentuk pertahanan diri seorang Brianna Rossana Geraldi. Alasannya sederhana, ia hanya tak ingin terlihat lemah di depan orang lain. Menjadi putri kandung seorang Geraldi tak membuat dirinya bah...