WLB | 31

5.5K 422 17
                                    

Bree melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bree melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyuman. Namun tiba-tiba, senyumnya lenyap saat mendengar suara Nindia.

"Seneng banget kamu hari ini? Habis ngapain? Main sama pacar kamu itu?" sindirnya. Seperti biasa, Valerie yang ada di sebelahnya, ikut tersenyum sinis.

"Bukan urusan lo. Dan gue, nggak semurahan lo!" ucap Bree kesal. Hal itu tentu menyulut amarah Nindia. Wanita itu mendekati Bree, dan seperti yang Bree duga, Nindia melayangkan sebuah tamparan keras.

PLAK!

Bree memegang pipinya yang memanas. Nafasnya tersenggal, emosinya memuncak. Tiba-tiba, ucapan Ray terlintas di benaknya.

Lawan.

Bree mengangkat tangannya, membalas tamparan Nindia dengan kekuatan dua kali lebih besar, membuat wanita itu terhuyung ke samping. Melihat itu, Valerie langsung maju dan menopang Ibunya agar tidak terjatuh.

"ANAK KURANG AJAR! UDAH BERANI KAMU SAMA SAYA! LIHAT AJA, SAYA LAPORIN KAMU KE TUA BANGKA ITU!"

Bree berdecih. "Setelah semua yang Bokap gue kasih ke kalian, ini balesan kalian?!"

Nindia tertawa sinis. "Kamu pikir saya cinta sama Papa kamu? Nggak! Saya cuma mau menikmati hartanya aja. Dan yang pasti, saya akan memastikan semua hartanya jatuh ke tangan saya dan Valerie. Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa!"

Bree kembali melayangkan tamparannya di pipi Nindia. "Dasar wanita ular!"

Valerie yang melihat itu, tak tinggal diam. Ia menampar pipi Bree.

"Lo udah jadi anak tiri disini. Jangan belagu, deh! Kalo gue sama Mama lapor ke Papa, lo nggak bakal selamat!"

Bree tiba-tiba merasa kepalanya sakit. Sangat sakit. Ia memegangi kepalanya, berusaha untuk tetap berdiri tegak. Hal itu membuat Nindia dan Valerie tertawa sinis.

"Kenapa? Sakit kepala? Kanker otak kamu semakin parah? Atau sekarang, penyakit kamu bertambah?"

Bree terkejut mendengar ucapan Nindia. Ternyata ia tahu tentang penyakit Bree. Namun Bree tak mampu menatap Nindia lagi. Kepalanya sudah semakin sakit sekarang.

"L-lo..."

Nindia bergerak maju mendekati Bree.

"Ya, saya tahu semuanya. Saya tahu penyakit kamu, saya tahu. Dan saya juga sudah menukar obat kamu. Sepertinya obat yang saya berikan sudah bekerja. Setelah ini, mungkin kamu tidak bisa melihat wajah papa tersayangmu itu lagi. Oh, atau wajah Ray? Tenang, Sayang. Valerie akan menggantikan posisi kamu."

Bree akhirnya luruh. Ia berlutut, mengerang sambil memegangi kepalanya yang sangat sakit sekarang. Bi Nur tiba-tiba datang, berniat membantu Bree.

"DIAM DISANA! SELANGKAH LAGI KAMU MAJU, SAYA PECAT KAMU!"

Bi Nur sudah tidak peduli lagi dengan ancaman Nindia. Ia tak bisa tinggal diam melihat Bree kesakitan seperti ini. Ia tetap menghampiri Bree, membawa kepala gadis itu ke dalam pangkuannya.

"Kenapa Nyonya tega seperti ini? Non Bree salah apa, Nyonya?" tanya Bi Nur, sambil terisak.

Nindia berdecih. "Bukan urusan kamu. Yang jelas, setelah ini, kamu harus angkat kaki dari rumah ini!"

BRAK!

"Ini kelakuan kamu selama ini, Nindia?!"

Bree tak bisa mendengar apa-apa lagi. Telinganya berdengung, sakit kepalanya semakin menjadi. Yang ia ingat terakhir, ia merasa tubuhnya terangkat, sebelum kegelapan menyelimuti.

***

Bree terbangun di tempat yang berbeda. Tempat itu begitu asing. Bree yakin, ia tak pernah melihat tempat ini sebelumnya.

Hamparan padang rumput luas, dan kabut tipis menyelimuti Bree. Ia mengernyit heran. Tempat apa ini?

Bree menunduk. Ia tidak lagi memakai seragam sekolah. Terakhir ia ingat, ia sedang bertengkar dengan Nindia dan Valerie, lalu jatuh pingsan.

"Bree sayang."

Bree menoleh. Ia terkejut saat mendapati Rossa, mamanya sedang berdiri di hadapannya. Bree langsung memeluk Rossa erat.

"Maaa, Bree kangen."

Rossa membalas pelukan Bree. "Mama juga. Gimana kabar kamu?"

"Nggak baik," ucap Bree. "Bree tersiksa, Ma."

Rossa mengusap punggung Bree lembut. Seketika, Bree merasa hangat.

"Apapun yang terjadi, Bree harus kuat. Bree percaya sama Mama. Setelah ini, semua penderitaan yang kamu rasakan, akan berubah menjadi kebahagiaan. Pulanglah, Nak. Banyak orang yang masih menginginkan kehadiranmu."

Bree menggeleng tegas. "Bree mau ikut Mama. Boleh, ya? Please."

Rossa menguraikan pelukannya, lalu menangkup kedua pipi Bree. "Bree harus pulang. Belum waktunya kita kembali bersama. Tenang, Mama akan selalu ada untuk Bree. Mama sayang Bree."

Setelah mengatakan itu, Rossa berjalan menjauh. Bree ingin mengejarnya, tapi tubuhnya serasa membeku di tempat. Ia hanya bisa berteriak memanggil mamanya yang hilang ditelan kabut.

WITH LOVE, BRIANNA. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang