WLB | 18

4.2K 415 4
                                    

Geraldi sedang berkutat dengan berkas-berkasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Geraldi sedang berkutat dengan berkas-berkasnya. Ia sangat sibuk akhir-akhir ini. Terdapat beberapa masalah di perusahaannya, yang membuatnya harus turun tangan sendiri.

Geraldi menghentikan kegiatannya saat mendengar pintunya terbuka. Windy muncul disana, diikuti oleh sekretaris Geraldi yang menunduk takut-takut.

"Maaf, Pak. Saya sudah cegah Ibu ini untuk tidak masuk, tapi Ibu ini memaksa."

Geraldi mengangguk. "Tidak apa-apa, dia adik saya. Kamu boleh keluar."

Sekretaris itu menunduk pada Geraldi dan Windy, lalu keluar dari ruangan. Setelah pintu tertutup, Windy berjalan mendekati meja Geraldi, meletakkan tasnya di atas meja kakaknya itu.

"Ada apa?" tanya Geraldi.

"Aku dengar, Bree pergi dari rumah. Benar?" tanya Windy, tanpa berbasa-basi.

Geraldi melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya. Ia mengangguk pelan. Laki-laki itu melonggarkan dasinya yang terasa sesak.

Windy menggeram kesal. "Apa yang ada di pikiran kamu? Aku yakin, semua ini ada hubungannya dengan mantan sekretaris kamu itu. Dari awal aku tidak pernah setuju kamu menikah sama dia!"

"Ini tidak ada hubungannya dengan Nindia!" ucap Geraldi kesal. "Kenapa kamu harus sebenci itu dengan dia? Dia orang yang baik, ibu yang baik! Dia menyayangi Brianna selayaknya anak sendiri!"

Windy terkekeh. "Aku lebih percaya keponakan kandungku, daripada istrimu itu. Walaupun Bree tidak pernah menceritakan apapun, tapi aku tahu. Dia pasti mengalami masalah di rumah."

"Cukup. Kamu tidak usah lagi ikut campur," ucap Geraldi. "Ini rumah tanggaku, biar aku yang urus."

Windy menatap Kakaknya tak percaya. "Dulu, aku menerima semua bantuanmu dengan senang hati waktu aku cerai dengan Mas Ervano. Sekarang, aku ingin melakukan hal yang sama. Aku tidak ingin semuanya terlambat, Kak."

"Aku bisa mengurusnya, Windy," ucap Geraldi. "Kamu tidak usah khawatir."

"Kakak sudah berusaha untuk mencari Bree?" tanya Windy.

"Anak itu akan pulang segera. Dia sudah besar. Setelah menyadari kesalahannya, ia akan kembali."

Windy benar-benar tak habis pikir dengan Kakak satu-satunya itu. Ia bahkan tak khawatir saat anaknya hilang tanpa jejak selama satu minggu!

"Lagipula, Brianna masih pergi ke sekolah. Semua akan baik-baik saja. Aku sudah suruh anak buahku untuk memeriksa ke sekolahnya."

Windy mengambil tasnya. Sudah tak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan Kakaknya yang tidak masuk akal itu. "Aku kembali ke butik dulu. Jangan sampai kamu menyesal, karena lebih mempercayai istri barumu daripada anakmu sendiri."

Wanita itu berjalan keluar dari ruangan Geraldi dengan cepat. Langkahnya sangat mantap dan tegak, padahal umurnya sudah tak muda lagi. Gaya pakaiannya sangat menunjukkan bahwa ia memang seorang fashion designer terkenal.

"Ehm, maaf Bu Windy," panggil sekretaris Geraldi yang tadi mencegahnya untuk masuk. Windy menghentikan langkahnya, menatap gadis tiga puluhan yang menunduk dalam itu.

"Ada apa?"

"Saya mau minta maaf, Bu, dengan perlakuan saya yang kurang menyenangkan tadi. Saya tidak tahu kalau Ibu adalah adik Pak Geraldi."

Windy mengangguk. "Tidak masalah. Lagipula, pasti dia yang menyuruh kamu untuk mencegah siapapun yang masuk tanpa izin. Saya mengerti."

Sekretaris itu mendongak, lalu tersenyum sopan. "Terima kasih, Bu."

Windy tersenyum singkat, lalu berjalan menuju lift. Tak ia pedulikan orang-orang yang berbisik-bisik saat melihatnya. Dari beberapa yang ia dengar, ada beberapa yang ingin minta tanda tangan, ada yang mempertanyakan keperluan Windy ke kantor Geraldi, namun tidak sedikit juga yang tahu, bahwa Windy adalah adik Geraldi. Sepertinya mereka adalah karyawan lama.

Di ruangannya, Geraldi menatap keluar jendela besar yang ada di belakang meja kerjanya, mempertimbangkan kalimat-kalimat yang dilontarkan Windy, adiknya. Ya, seharusnya Bree tidak pergi dari rumah. Namun amarah masih meliputi Geraldi, membuatnya tak bisa berpikir jernih terhadap anaknya itu.

Bukan merasa bersalah, ia malah semakin emosi akan tingkah laku Bree.

Ia mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang.

"Kamu jemput Bree disekolah sekarang. Kalau dia tidak mau, paksa. Saya mau, hari ini anak saya sudah ada dirumah!" ucapnya penuh emosi.

"Dan satu lagi. Cari tahu dimana ia tinggal selama ini."

WITH LOVE, BRIANNA. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang